War Of Hormones | 33

1.3K 158 10
                                    

Tandai bagian yang typo ....

Ditatapnya orang tua Rita yang menatapnya iba. Firasatnya benar, mereka mengetahui kebenarannya dan itu semua bersumber dari Irham. Lelaki itu yang
memberitahu orang tua Rita. Dia menggeleng ketika Mama Rita menekuk lutut di depannya dan membelai
pipinya. Wanita itu menatapnya iba dan sesal.

“Maafkan kami, Nak. Kami melakukan ini karena kami marah, kecewa dan tidak
terima putri kami meninggal dengan cara tak wajar. Kami hanya ingin
memberikan Ali pelajaran jika perbuatannya salah dan berdampak buruk bagi orang sekitarnya.”

Dia meraih satu tangan Mama Rita dan menggenggamnya erat. Tatapannya
lurus ke iris mata sendu Mama Rita.

“Ali memiliki alasan kenapa bisa membunuh Rita. Alasan yang Ali miliki
tentunya sama dengan apa yang kalian rasakan saat ini.”

“Alasan?” kali ini Papa Rita membuka suara dan menatapnya ingin tahu.
Dia mengalihkan tatapannya dan menatap Papa Rita.

“Apa kalian lupa jika di masa lalu kalian melakukan hal yang sama pada rekan
bisnis kalian? Memanipulasi keadaan seolah-olah semua terjadi karena
kecelakan, sama seperti yang Ali lakukan.”

Dia sesegukan menatap raut tegang orang tua Rita. Lalu, tatapannya beralih
pada Irham yang menunduk dalam dengan kedua tangan yang dipegang erat
oleh saudara Ibunya. Perlahan, dia berdiri dibantu Irna. Dia menatap sekitar
yang mulai sepi karena saudara Ibunya membubarkan tamu undangan agar aib
ini tidak diketahui banyak oleh tetangganya. Dia mendekati Irham dan berdiri tepat di depan lelaki itu.

“Kamu telah jujur dan itu merupakan sebuah perlakuan terpuji. Sayangnya,
kamu juga melakukan kesalahan. Kamu telah mengacaukan acara pernikahanku
dengan Ali. Dan lihat, sekarang Ali dilarikan ke rumah sakit dengan luka
tembak yang aku sendiri tahu jika luka tembak itu begitu dalam. Asal kamu
tahu, Ali memiliki tanggung jawab besar. Sebentar lagi, Ali akan menjadi
seorang Ayah dan kamu ... kamu telah membuat semua harapanku hancur!"

Dia menyeka air matanya ketika Irham menatapnya penuh tanya dan terkejut
menjadi satu.

“Aku hamil, itu sebabnya kami melangsungkan pernikahan yang begitu cepat,” imbuhnya yang membuat Irham menatapnya tak percaya diikuti orang tua Rita yang sama terkejutnya.

Dia menatap orang tua Rita dan Irham bergantian dengan tatapan pedih. Dadanya sesak, membayangkan banyak kemungkinan buruk terjadi pada Ali,
mengingat darah yang keluar dari tubuh lelaki itu begitu banyak.

“Terima kasih, kalian telah berhasil mengacaukan segalanya. Sampai di sini,
apakah kalian masih belum puas? Apa kalian ingin Ali sama seperti Rita? Jika
iya, apa tante dan om tidak ingat dosa apa yang kalian lakukan pada orang tua
Ali?”

“Orang tua Ali?” tanya Papa Rita.

Dia terkekeh melihat wajah lugu Papa Rita. Seolah tidak pernah melakukan perbuatan keji yang menimbulkan dendam dalam diri Ali.

“Rekan bisnis yang kalian bunuh, mereka adaah orang tua Ali. Awal dimana Ali
memiliki dendam dan akhirnya membunuh Rita. Ali ingin membalas apa yang kalian lakukan dan sekarang, kalian kembali membalas. Apa kalian sudah
puas?”

Dia menatap nyalang orang tua Rita yang membeku.

“Kamu ....”

“Kalian boleh meninggalkan tempat ini. Kalian telah mengetahui semuanya.”

Dia memberi isyarat pada Oomnya untuk melepaskan Irham dan enggan
menatap wajah orang-orang yang telah membuat kekacauan di acara spesialnya
ini. Dia menyuruh keluarganya untuk mengusir orang tua Rita dan Irham. Dia
sudah muak dengan semuanya dan satu yang menjadi pusat perhatiannya, Ali
suaminya yang kini berada di rumah sakit.

Masalah penembakan Ali, untuk sementara---tidak untuk saat ini, dia memberikan Irham kesempatan untuk bebas sebelum pada saatnya, Irham merasakan yang namanya pertanggung jawaban. Dia melepaskan Irham bukan berarti lepas tangan begitu saja. Irham bebas namun hidupnya diawasi. Jika sampai lelaki itu kembali berulah atau pergi, maka detik itu juga Irham diseret untuk bertekuk lutut di kaki Ali, memohon maaf atas perbuatannya.

...

Berada di ruangan yang menjadi tempat Ali dirawat, tidak ada hentinya dia menangis. Meski Ibunya memperingatinya untuk tidak menangis karena
khawatir terjadi sesuatu pada kandugannya, dia tak mengindahkan itu. Dia tetap menangis sembari menggenggam erat tangan lelaki yang menjadi suaminya itu.

Hatinya diliputi rasa tak tenang ketika kedua mata yang menatapnya penuh
cinta itu terpejam erat. Seharusnya malam ini menjadi malam pertama untuknya dan Ali. Sayangnya, takdir berkata lain. Takdir mempermainkannya.

Ali tertembak dan semua yang selama ini dirahasiakan terbuka lebar. Orang tuanya dan orang tua Ali kecewa pada Ali. Namun melihat kondisi Ali saat ini, mereka memilih melupakan kekecewaannya dan mencoba berpikir jernih jika yang Ali lakukan adalah sebuah kerugian dari dendam. Mereka tak kalah kalutnya dengannya. Kata dokter, Ali kekurangan darah dan syukurnya, kondisi lelaki itu tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Hanya saja, lelaki itu akan lama sadarnya mengingat luka tembak itu yang begitu dalam. Mengusap infus yang menancap di punggung tangan suaminya itu, perlahan tapi pasti dia mendekatkan bibirnya pada punggung tangan suaminya dan mengecupnya lama. Air matanya tiada henti mengalir hingga mengaliri punggung tangan Ali.

Dia kembali terisak. Tak peduli jika matanya sembab dan memerah karena
terlalu lama menangis. Yang jelas, saat ini dia ingin suaminya siuman dan menatapnya penuh cinta sepeti biasanya.
Sayangnya, usapan di kedua bahunya yang berasal dari ibunya membuatnya menghentikan tangisnya.

“Kamu sedang hamil. Kamu boleh menangisi keadaan Ali, tapi jangan sampai mengabaikan kebutuhan anakmu. Anakmu butuh asupan.”

Menatap Ibunya, mau tidak mau akhirnya dia menurut ketika Ibunya membawanya ke sofa yang berada di ruang rawat Ali untuk makan nasi bungkus dan susu hamil.

...

Tengah malam, Prilly mengerjap ketika merasakan tubuhnya melayang. Panik,
akhirnya dia membuka matanya dan alangkah terkejutnya dia melihat siapa
yang kini membaringkan tubuhnya di atas bangsal.

“Ali,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
Dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya melihat lelaki yang beberapa jam lalu dia tangisi kini berbaring di sampingnya dan menenggelamkan wajahnya di lekukan lehernya. Satu tangan lelaki itu melingkari perutnya dan mengusap lembut perutnya.

“Ali ....”

“Aku baik-baik saja. Maaf, telah membuatmu menangis,” bisik lelaki itu yang kini menatapnya lekat dan mengecup singkat bibirnya.

Dia bungkam. Bungkam bukan karena kata maaf yang lelaki itu ucapkan. Namun panggilan ‘aku’ dan ‘kamu’ yang lelaki itu lontarkan. Panggilan yang begitu dia nantikan dan kini terjadi. Lelaki itu mengubah kosa katanya dari ‘lo-gue’ ke ‘aku-kamu’.

“Ali ....”

Lelaki itu masih menatapnya lekat dan mengusap air matanya.

“Apa, sayang?”

“Kamu ....”

“Kenapa?”

“Ini kamu, kan?”

Lelaki itu mengangguk. “Iya, ini aku. Ali, suami kamu.”

Kali ini, bibirnya tertarik ke atas. Dia tidak salah dengar, Ali benar mengubah kata ‘lo-gue’ menjadi ‘aku-kamu’.

...

Bisa yok ramaikan lapak ini🤭 Yang lupa alur bisa baca dari awal ya, biar gak bingung😂

Jangan lupa tinggalkan jejak!💜

Salam,
Istrinya Park Jimin.

War Of HormonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang