War Of Hormones | 34

1.4K 157 8
                                    

Tandai bagian yang typo ....

“Kamu kenapa senyum-senyum?” Tanya Ali yang membuatnya menggeleng dan memeluk lengan lelaki itu. Dia tak memeluk perut Ali karena khawatir jika luka di perut Ali yang belum kering semakin parah. Dia tak mau terjadi sesuatu pada Ali.

“Aku lagi bahagia,” jawabnya sembari menatap wajah tampan Ali.

“Karena kita resmi menjadi suami istri?”

Prilly menggeleng membuat Ali mengerut kening.

“Terus?” Tanya Ali penasaran.

Prilly mengarahkan satu tangannya ke bibir Ali dan jari telunjuknya dengan pelan mengusap pelan bibir Ali.

“Aku bahagia karena kamu gak pake ‘lo-gue’ lagi,” jawabnya.

Ali manggut-manggut dan mengacak pelan puncak kepalanya sebelum akhirnya mengecup lama keningnya.

“Sudah seharusnya seperti ini karena status kita bukan lagi status yang main-main. Tapi, masalah kata sebutan, menurutku itu tidak penting. Karena yang terpenting adalah, kamu menjadi milikku seutuhnya. Aku lega dan bahagia karena setelah ini, tidak ada yang akan berani ambil kamu dari aku.”

Prilly mengangguk dan tersenyum lega. Ya, setidaknya tidak ada lelaki yang berani mengganggunya karena kini dia telah berlabel milik Ali. Dia sudah menjadi tanggung jawab Ali dan semua yang berhubungan dengannya itu sama saja berhubungan dengan Ali. Setidaknya dengan bergantinya statusnya dengan Ali, tidak ada yang tersakiti, termasuk Devon yang sempat kecewa mengetahui jika dia hamil anak Ali.

Jauh dari itu semua, setidaknya Devon mulai menerima kenyataan. Bahkan, lelaki itu datang ke acara pernikahannya dan itu pun dia diberitahu ibunya jika Devon datang dan titip bingkisan untuknya serta Ali. Bicara tentang bingkisan dari Devon, dia mencolek pelan dada bidang Ali membuat Ali yang hampir terlelap kembali membuka mata dan menatapnya penuh tanya.

“Apa?”

“Boleh minta tolong ambilkan tasku di sofa?”

Tanpa menjawab, Ali beranjak dan mengambilkan tasnya di sofa yang dia jadikan bantal sebelum Ali membopongnya ke bangsal.

“Ini.”

Dia menerima ketika Ali menyodorkan tasnya. Dia duduk diikuti Ali di sampingnya yang mengerut kening melihatnya mengeluarkan bingkisan yang berukuran sedang.

“Dari siapa?” Tanya Ali membuatnya menatap lelaki itu.

Tersenyum, dia pun menjawab, “Dari Devon.”

Dia terkekeh ketika respon Ali jauh dari yang dia bayangkan. Suaminya itu
mendengkus dan berkata, “Buang!”

Dia mengabaikan titahan Ali. Dia justru membuka bingkisan dari Devon dan ketika bingkisan itu terbuka, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat isi bingkiran dari Devon.

“Sialan!”

Dia kontan menoleh ke arah Ali yang langsung merampas bingkisan dari Devon dan membuangnya ke tempat sampah.

“Ali, kenapa dibuang?!” Protesnya kesal karena Ali tidak menghargai pemberian Devon.

Mendengkus, Ali menatapnya kesal.

“Gak penting.”

Menghela nafas panjang, dia menggenggam kedua tangan Ali dan meletakkannya di pangkuan.

“Sayang, Devon turut senang dengan pernikahan kita. Tanpa kita undang pun,
Devon datang dan ikhlas memberikan bingkisan. Meskipun bingkisannya diluar ekspetasi, setidaknya Devon tidak lagi benci aku dan kamu.”

“Bingkisan apa namanya kalo isinya lingerie sama kondom?!”

Dia meringis mendengar sentakan Ali. Menatap sekitar, dia bersyukur dan baru
sadar jika di ruang rawat Ali hanya dirinya dan Ali. Padahal, sebelum Ali siuman, di ruang rawat Ali ini ada orang tuanya, orang tua Ali dan kakaknya. Ah, mungkin mereka mendapat suruhan dari Ali meninggalkan ruang rawat Ali, mengingat suaminya ini maunya sendiri.

Dia mengusap pelan bahu Ali dan meringis pelan melihat raut kesal suaminya gara-gara isi bingkisan dari Devon.

“Isi bingkisan Devon emang keterlaluan, tapi barusan aku baca kertas kecil di
dalamnya, katanya ini sebagai bentuk menghormati pernikahan kita.”

“Menghormati tidak harus memberi lingerie sama kondom, sayang. Tanpa kamu berpakain seksi, aku udah tergoda,” jawab Ali dengan kesalnya.

“Tapi ....”

“Udah, mending kita tidur. Aku capek baru siuman udah dibikin naik darah gara-gara si cicak.”

Akhirnya, dia pasrah ketika Ali menariknya untuk berbaring di samping lelaki itu. Namun sebelum benar-benar memejamkan matanya, dia menatap suaminya yang terlelap itu dan bertanya, “Aku lupa nanya, sejak kapan kamu siuman?”

Masih dengan mata terpejam, Ali menjawab pertanyaan istrinya karena jika tidak dijawab maka istrinya itu akan terus bertanya sampai mendapat jawaban.

“Satu jam lalu,” jawabnya.

“Kamu ....”

“Tidur, sayang!”

Menarik nafas panjang, dia akhirnya terlelap mengikuti suaminya.

...




Setelah satu minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya hari ini Ali diperbolehkan
pulang karena luka tembak di perutnya yang mulai mengering. Hanya saja dokter berpesan agar Ali tidak banyak melakukan aktivitas yang berat, khawatir
jika lukanya kembali sobek.

Sebagai seorang istri, Prilly dengan telaten mengemasi barang-barang Ali yang dibawa ke rumah sakit ke dalam tas berukuran sedang milik Ali. Tak hanya itu, dia juga membantu Ali mengganti pakaian karena masih khawatir jika Ali membungkuk atau terlalu bergerak berlebihan bisa berdampak buruk bagi perutnya.

Meski Ali melarangnya untuk mengemasi barang-barang Ali karena dirinya yang berbadan dua, dia mengabaikan larangan suaminya itu karena menurutnya, ini salah satu bentuk pengabdiannya sebagai seorang istri kepada suami. Dan sekarang, dia dan Ali berada di rumah Irna berhadapan dengan orang tua Rita serta Irham yang sedari tadi menunduk. Seolah enggan menatapnya dan Ali. Sedangkan Ali sendiri memasang raut biasa saja, seolah kedatangan tiga orang itu tidak berdampak sesuatu pada dirinya.

Lama terjadi keheningan, akhirnya orang tua Rita membuka suara. Orang tua Rita serta Irham mengucapkan maaf yang begitu dalam dan khusus orang tua
Rita, dua orang itu merasa sangat bersalah karena kelakuan mereka di masa lalu
yang membuat Ali bertindak sejauh ini.
Irham sendiri menyesal karena telah menembak Ali dan mengacaukan acara
pernikahan. Lelaki itu frustasi karena orang tua Rita tidak juga memberikan anaknya pada Irham sehingga Irham mengambil pikiran pendek dengan
menceritakan semuanya, tentang kematian Rita. Sehingga orang tua Rita setuju
dengan Rencana Irham untuk menembak Ali. Sayangnya, pada dasarnya Irham tak bernasib baik. Sampai saat ini pun, orang
tua Rita tidak memberikan anak Rita pada Irham karena mereka tidak mau cucu
mereka turut hanyut ke dalam kehidupan gelap Irham. Sehingga pada akhirnya
Irham pasrah ketika mendengar keputusan orang tua Rita untuk menitipkan cucu mereka padanya dan Ali.

Dia terkejut dan takut dengan respon Ali.
Sebelum-sebelumnya, Ali memang tidak mau merawat anak Rita tapi kali ini ....

“Baiklah, kami akan merawat anak Rita dan menganggapnya seperti anak kami
sendiri. Anggap saja ini sebagai bentuk rasa bersalah saya.”

Dia tidak bisa berkata-kata mendengar respon suaminya yang mengejutkan ini.
Semakin ke sini, pikiran suaminya semakin maju. Tak lagi mengutamakan ego. Dia menerima anak Rita yang diberikan oleh Mama Rita. Matanya berkaca-kaca melihat rupa tanpa dosa itu terlelap dengan tenang.

Hingga tak lama setelah itu, tiga orang itu berpamitan pulang dengan perasaan lega karena telah mendapatkan maaf. Namun sebelum itu, Ali berkata pada Irham jika anak yang menjadi anak angkatnya ini tetaplah darah daging Irham.

...

Mau lanjut? Ramaikan dong!🤭

Jangan lupa tinggalkan jejak!💜

Salam,
Istrinya Park Jimin.

War Of HormonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang