War Of Hormones | 11

4.6K 411 72
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan Ali ketika bel pulang berbunyi dan berjalan beriringan menuju parkiran. Tak ada percakapan antara dirinya dan Ali. Dia dan Ali sama-sama bungkam dan larut dalam pikiran masing-masing.

Kata maaf yang Ali ucapkan membuatnya seperti orang linglung. Sulit mencerna baik kata maaf itu dan sulit untuk mempercayai jika tunangan tampannya itu mengucap kata maaf padanya. Namun tak urung, rasa hangat itu menjalar di sekujur tubuhnya. Bahagia, namun tak sampai di hatinya karena Ali belum sepenuhnya menerimanya. Lelaki itu masih mengharapkan Rita dan dia...merasa tak mampu menandingi Rita karena dia rasa, Rita jauh lebih unggul darinya.

Menahan gejolak yang membuncah di dada, dia menghela nafas panjang dan berusaha mengontrol diri untuk tidak terus memikirkan Rita yang justru membuatnya yang buruk semakin buruk. Seharusnya yang dia lakukan adalah, berusaha agar bisa menyaingi Rita dan memenangkan hati Ali. Rita memang cantik dan mahir dalam memasak. Seharusnya dia harus berusaha berada di atas Rita dan menginjak-injaknya hingga hilang dalam ingatan dan hati tunangannya. Dia cemburu, namun tak mampu untuk mengekang karena dia sadar diri, posisinya tak diharapkan.

Menghentikan langkah, dia mendongak menatap dada bidang yang tak sengaja dia tabrak. Meringis, dia mengusap pelan keningnya dan seketika terdiam ketika sadar Ali justru sengaja menghentikan langkahnya secara tiba-tiba lalu membalikan badannya sehingga membuatnya yang melamun kontan menabrak dada bidang itu. Dan kini, tatapan tajam itu seolah mengulitinya membuatnya mengalihkan tatapan ke arah yang sekiranya tatapannya tak bertemu dengan tatapan tajam itu.

"Lo ngelamunin apa?" nada datar itu membuatnya meringis dan rasanya ingin bersembunyi dari lelaki tampan di hadapannya ini.

Menggaruk lengannya dengan senyum yang dipaksakan, dia mendongak menatap wajah datar itu.

"Ng---nggak, kok. Aku gak ngelamun," kilahnya yang tiba-tiba mendapat tepukan di pucuk kepalanya membuat tubuhnya panas dingin.

Ali membungkuk dan mensejajarkan wajahnya dengan Prilly dan menatap tepat ke iris matanya sebelum berkata, "Nanti malam, temenin gue ke acara ulang tahun temen gue."

Setelah itu, belum sempat dia membuka suara sebagai bentuk persetujuan, tiba-tiba lelaki itu langsung menarik lembut tangannya menuju sepeda motor.

Satu yang pasti, jantungnya berdebar dan melupakan kenyataan jika lelaki itu terlalu banyak memberinya duka. Benar, cinta memang buta sehingga membuat setiap orang bersikap bodoh meski banyak luka yang diterima. Terkadang, hidup perlu ditertawakan.

***

Ali tak bohong. Pulang sekolah, dia membawa Prilly ke salah satu toko yang menjual berbagai macam kosmetik yang menjadi langganan mamanya. Menuruni sepeda motornya, dia menyeret Prilly memasuki toko. Ya, dia menyeret Prilly karena gadis itu yang bersikeras tidak mau dibelikan cream jerawat. Keras kepala dan entah kenapa dia tidak suka ketika gadis itu menolak kebaikannya.

"Ali, aku gak butuh cream jerawat. Jerawat aku udah membandel dan sulit diilangin," untuk kesekian kalinya Prilly melontarkan kalimat tersebut karena dia benar-benar tak mau Ali membelikan cream jerawat dan paket skincare yang harganya setara dengan satu albumnya BTS. Dia tak mau berhutang budi pada Ali, cukup pada keluarganya saja dia berhutang budi.

"Yang ini beda. Lo belum nyoba mana tahu hasilnya. Gue yang bayar, lo cukup pake rutin cream dan skincare yang gue beliin," Ali kembali menarik tangan Prilly meninggalkan toko setelah membayar tagihan cream jerawat dan sepaket skincare yang cocok untuk kulit berjerawat.

Menyerahkan bungkusan yang berada di tangannya pada Prilly, lagi-lagi dia dibuat geram karena bungkusan yang disodorkannya tak diterima oleh Prilly. Gadis itu justru menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya membuatnya yang sudah menaiki sepeda motor langsung turun dan memeluk gadis itu.

War Of HormonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang