War Of Hormones | 17

4.8K 490 88
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Prilly masih diam sekalipun para pengunjung kantin berbondong-bondong mengangkat tubuh Ali dan membawa tubuh tak sadarkan diri itu ke UKS. Dia masih tetap pada posisinya, duduk di atas lantai dengan tatapan kosong. Menunduk, dia menatap kedua tangannya yang bergetar hebat.

Air matanya jatuh ketika sadar jika di kedua tangannya ada percikan cairan merah kental. Sadar darimana dia mendapat cairan merah kental itu, kontan dia menjerit diikuti air mata yang mengalir deras. Devon menahan tubuhnya yang terus bergetar dengan jeritan histeris yang mengundang banyak perhatian.

Dia tidak phobia darah. Tapi entah kenapa setelah tahu darimana darah yang ada di tangannya berasal, dia justru ketakutan. Bukan takut, mungkin lebih tepatnya cemas yang diikuti perasaan ingin tahu. Ingin tahu apa yang terjadi pada Ali namun enggan untuk mendekat karena luka yang masih menganga lebar.

Devon berusaha menenangkannya, bukannya tenang, dia justru semakin histeris hingga tanpa sadar Devon membentaknya. Dia diam ketika bentakan Devon mengejutkannya. Bibirnya bergetar menahan tangis yang hendak kembali pecah.

Dia menarik baju bagian lengan milik Devon dan menyembunyikan wajahnya di dada Devon. Tubuhnya masih bergetar sehingga membuat Devon berinisiatif menggendongnya ala bridal dan membawanya ke kelas.

Tiba di kelas, Devon memekik dan langsung menangkup wajahnya yang katanya pucat pasi. Tatapan Devon lurus ke iris matanya membuat dia bisa melihat jelas sorot kekhawatiran di manik mata Devon. Dia merasa bersalah karena telah merepotkan Devon, namun harus bagaimana lagi jika secara tiba-tiba tubuhnya menjadi selemah ini hanya karena darah di tangannya yang berasal dari Ali.

Menunduk, dia memilin ujung bajunya dengan sudut mata mengarah pada Devon yang masih menatapnya khawatir.

"Maaf. Aku udah ngerepotin kamu. Seharusnya kamu isi perut kamu, bukan malah ngurusin aku yang tiba-tiba kayak orang gila."

Ada nada getir dibalik nada bicaranya. Rasa bersalah begitu menusuk hatinya, melihat betapa baik dan perhatiannya Devon padanya. Sayangnya, dia belum juga membalas perasaan Devon. Padahal sudah jelas jika dia dan Ali tak ada status yang berarti. Pertanda jika dia dan Devon sedang tidak melakukan sebuah alasan.

Dia menahan nafas ketika tangan Devon mengusap rambutnya. Percayalah, perlakuan Devon yang seperti ini membuatnya dirundung rasa bersalah. Bersalah karena selama ini dia menggantungkan perasaan Devon. Tak ada kepastian dan membiarkan semuanya mengambang. Katakan saja dia jahat, tapi apa boleh buat jika patah hati membuatnya meragu untuk kembali jatuh cinta.

Sebelumnya, dia tak pernah sesakit ini. Namun, kali ini efeknya begitu dahsyat dan nyaris membunuhnya secara perlahan. Ali memang lihai dalam menyakitinya.

"Menurut gue, rasa lapar gue gak penting ketika melihat orang yang mengisi hati gue terpuruk. Apa lo pikir gue bakal tenang setelah melihat keadaan lo sekarang? Nggak, Prill! Gue khawatir sama lo dan lo gak usah khawatir karena gue tahu kalau lo masih belum siap membuka kembali hati lo. Gue gak tahu pasti ada apa dengan lo dan Ali, tapi gue lega karena lo dan Ali putus hubungan. Setidaknya, gue masih memiliki banyak kesempatan buat dapetin lo."

"Devon...."

"Gue gak butuh belas kasihan lo, gue cuma butuh hati lo terbuka untuk gue. Lo boleh mikirin Ali, tapi ada gue yang akan selalu buat lo lupain Ali."

"Maaf..."

"Jangan minta maaf, lo gak salah. Gue justru yang minta maaf ke lo karena perasaan gue bikin lo tertekan kayak gini."

Prilly menggeleng. Menyangkal ucapan Devon.

"Kamu gak bikin aku tertekan."

"Gue gak bodoh. Gue gak apa-apa kalau lo nyuruh gue buat mundur. Tapi, untuk sekarang, setelah lo dan Ali putus hubungan, sekalipun lo nyuruh gue mundur, maaf banget gue gak bisa. Gue gak mungkin sia-siain kesempatan yang ada."

War Of HormonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang