War Of Hormones | 7

4.5K 463 52
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Ketika bel istirahat berbunyi, Prilly tak keluar dari kelas. Meski Ali mendatangi kelasnya dan mengajaknya ke resto sekolah, gelengan kepala yang dia berikan pada tunangannya itu. Dia tahu tunangannya kesal dengannya yang tak mau diajak ke resto. Tapi, kekesalan yang dirasakan oleh tunangannya belum seberapa dengan sakit yang dia rasakan.

Dia memang melakukan kesalahan karena telah pura-pura pingsan agar tidak mengikuti praktik. Tapi, apa harus dengan seperti itu tindakan tunangannya? Kalau boleh jujur, kepalanya pusing dan tubuhnya lemas karena semalam kurang tidur. Setidaknya, dia pura-pura pingsan untuk dua hal, agar tidak mengikuti praktik dan untuk mengistirahatkan matanya yang memanas karena kurang tidur.

Menghela nafas panjang, dia menatap sekitar dimana hanya ada lima orang teman sekelasnya yang tengah membersihkan kelas --yang memiliki jadwal piket besok. Sekarang memang waktunya pulang dan bel pulang telah berbunyi dua menit yang lalu dan dia masih berada di kelas untuk memperlambat kepulangannya. Atau, lebih tepatnya, mempersiapkan diri bertemu dengan Ali yang tanpa henti menatapnya tajam dan raut wajah yang tak bersahabat.

Kakinya sakit dan gemetar karena jalan jongkok keliling lapangan sebanyak sepuluh kali. Ketika berjalan rasanya kakinya tak memiliki tenaga apalagi kelasnya yang terletak di lantai teratas membuatnya benar-benar tak kuat untuk berjalan.

Menatap jam dinding, dia sedikit gemetar karena biasanya ketika bel pulang berbunyi, Ali sudah keluar kelas dan langsung menuju parkiran diikuti olehnya. Tunangannya itu tidak suka menunggu dan paling suka ditunggu. Dan bodohnya, dia mau-mau saja menunggu tunangannya yang terkadang suka lama keluar kelas saat istirahat. Mungkin bisa dikatakan, kejadian hari ini merupakan kejadian yang menyesakkan namun mengejutkan karena untuk pertama kalinya tunangannya datang ke kelasnya untuk mengajaknya istirahat.

Sayangnya, itu sama sekali tak mampu membuat suasana hatinya membaik. Justru semakin keruh. Dia kecewa namun masih saja ada kekaguman yang tertanam di hatinya.

"Gue bukan orang sabar yang kuat nungguin lo yang ngelamunin hal yang gak penting."

Ketenangannya direnggut paksa ketika tatapan sayunya bertemu dengan tatapan tajam dibalik iris hitam yang terlihat indah di matanya itu. Menetralkan degup jantungnya yang sedari berdegup kencang, dia mencoba tersenyum tipis dan berdiri dari duduknya. Dia berdiri di samping tunangannya yang mendelik tajam. Seolah tak terjadi apa-apa, dia menggenggam tangan Ali dan menariknya keluar dari kelasnya sebelum pertengkaran terjadi disaksikan oleh lima orang temannya yang sedari tadi mencuri pandang ke arahnya dan Ali.

"Ayo, pulang. Aku nungguin kamu di kelas," ujarnya diikuti senyum lebarnya sambil terus menarik tangan kekar itu menuruni tangga hingga sampai di parkiran yang mulai sepi.

"Kenapa lo lakuin itu?"

Prilly menghentikan gerakannya yang hendak memasangkan helm pada kepalanya. Memeluk helmnya, dia menatap Ali dengan raut bingung.

"Maksud kamu?"

"Kenapa lo pura-pura pingsan? Dimana otak lo sampai berbuat seperti itu?"

Menusuk dan...tajam. Menormalkan ekspresi wajahnya, dia tetap tersenyum meski senyumnya tak selebar sebelumnya, terkesan hambar dan dipaksakan.

Dia berusaha untuk melupakan kejadian menyakitkan itu. Tapi, tiba-tiba tunangannya itu kembali mengungkit kejadian itu yang membuatnya sebisa mungkin menahan tangisnya dan mengerjapkan mata berulang kali untuk menyamarkan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Jangan jadi pengecut. Lo itu cewek dan cewek harus bersikap baik, bukan licik."

Memejamkan mata sejenak sebelum pada akhirnya menatap wajah tampan lelaki yang mengisi hatinya itu.

War Of HormonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang