Albie tidak menduga kalau ternyata Hunter tanpa senjata yang berada dalam bahaya itu adalah Jaiden. Tidak ada perlawanan yang dilakukan, justru Jaiden seperti sedang menantang tanpa pelingdung wajah.
“Sialan, apa yang kamu lakukan!” Albie memacu Eageleon yang ditunggangi untuk mendekat, lalu melemparkan dagger sekuat tenanga sampai blatta tumbang setelah menyemprotkan cairan kuning pekat yang menjijikan.
“Jangan bergerak atau kamu akan terkena racun blatta,” ujar Albie. Jaiden patuh, aroma yang begitu menyengat dan pedih di mata dirasakan oleh Jaiden.
Ada dorongan kuat dari rongga dada dan membuat tenggorokan begitu sesak. Jaiden sedikit mengeluh seolah-olah udara di sekitarnya sudah direnggut paksa. Lelaki itu hampir kehilangan kesadaran saat Albie membawanya naik ke atas eageleon yang sama dengannya.
“Bertahanlah sebentar,” pinta Albie, berkali-kali dia melihat Jaiden yang lemas tidak berdaya, seluruh wajahnya berwarna keunguan dan menegang sempurna, pembuluh darahnya seperti cacing-cacing yang bersarang tepat di bawah permukaan kulit.
“Akkhhh ....” Jaiden seperti tercekik, dia terlihat sangat tersiksa dan membuat Albie semakin putus asa. Jika itu Hunter lain, Albie hanya akan meminta sesama Hunter untuk menyelamatkannya, tetapi ini berbeda. Sejak pertama kali Albie melihat senyum Jaiden di trauma center dia merasa tidak pernah melepaskan Jaiden dari pikirannya.
Racun yang dihasilkan blatta menempel di baju Jaiden, satu-satunya cara cepat menghilangkan afek dari racun itu adalah dengan membuka baju itu dan membuang racunnya. Mengingat jarak dari tempatnya sekarang sangat jauh ke trauma center dia hanya membawa lelaki itu ke pos Hunter yang ada di sektor B.
“Tolong ambilkan pakaian bersih untuknya, oksigen dan juga serum antiracun blatta.” Diletakkannya Jaiden di salah satu sofa yang ada di pos tersebut. Lebih tepatnya bukan sofa melainkan sebuah kursi usang yang dilapisi oleh foam.
Albie menggunting pakaian Jaiden, salah satu Hunter di sana membantunya dan membuang semua sisa kekacauan. Serum antiracun blatta disuntikkan, kemudian oxygen mask dipasangkan agar Jaiden bisa bernapas dengan leluasa.
“Handuk dan juga air bersih, tolong.”
Seluruh hidupnya, seorang prodigi selalu dilayani, seluruh kebutuhannya dipersiapkan dengan baik. Dan ini adalah kali pertama Albie membantu seseorang yang nyatanya bukan siapa-siapa, hanya seorang Hunter yang kehilangan kartu identitas.
Kesadaran Jaiden sudah sepenuhnya hilang, hanya dadanya yang naik turun seiring dengan napasnya yang mulai normal. Bohong jika Albie tidak merasakan apa-apa saat ini, perempuan itu tidak pernah memutuskan pandangannya dari wajah tenang dengan bulu mata lentik.
“Kenapa ada Hunter yang begitu keras kepala seperti dirimu?” gumam Albie. Dengan gugup Albi mengusap wajah Jaiden.
“Khan, biar saya yang tangani.” Seorang Hunter berusaha mengambil alih pekerjaan Albie, entah mengapa Albie tidak rela melakukannya. Dia suka melakukannya sendiri, dia menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa kepada Hunter itu.
Perasaan sesak yang sangat mencekik kini berangsur lega. Sakit kepala yang menyiksa hanya tersisa perasaan tidak nyaman yang bertahan tepat di atas alis. Perlahan Jaiden membuka matanya, hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit putih. Tangannya meraih oxygen mask dan membukanya. Sementara tangan satunya tidak bisa digerakkan karena ada seseorang yang menggenggam tangannya, perempuan yang sudah menyelamatkan nyawa Jaiden kini tertidur dengan pulas.
Jaiden menyentuh kepala Albie, dia mengelus rambutnya dan mengambil sesuatu berbentuk heksagon yang tergeletak di tempat tidur. Perlahan Jaiden melihatnya, itu adalahbsebuah hologram ada Albie dengan gambarnya yang terlihat lebih cantik dan segar. Serta tertulis nama dan juga status perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fighter's Prejudice (Tamat, Proses Revisi)
Science FictionPasca kehancuran bumi 150 tahun silam, tatanan baru kehidupan dimulai di Prexogalla. Namun kemunculan Blatta dan perebutan kekuasaan antara dua wilayah Greamor dan Eqouya membuat kekacauan kembali terjadi. Tidak seperti keturunan Prodigi dari Greamo...