"Percayalah kepadaku, maka akan kuceritakan seluruhnya kepadamu."
Apa yang dikatakan Jaiden selalu terngiang di kepala Albie. Jika Dokter Morgan tidak datang untuk memeriksa keadaan Jaiden, Albie sudah memberikan jawaban.
Secara keseluruhan kondisi fisik Jaiden terlihat baik, tetapi untuk pemulihan dibutuhkan waktu beberapa hari lagi sampai benar-benar bisa pulih dan sehat seperti sedia kala.
"Semua baik. Oh iya, temui Logan, berkali-kali dia mendatangi saya untuk bertanya tentang Anda, Khan."
Albie mendesah, dia sama sekali tidak ada niatan dan pikiran untuk menemui Logan. Rasa kecewa yang dia rasakan lebih besar dari sekadar keinginan bertemu.
"Saya pikirkan lagi, merterina Dokter. Tolong jangan katakan kalau Jaiden ada di sini."
Dokter Morgan mengangguk patuh, dia segera pamit meninggalkan kediaman Albie.
Ketika masuk ke kamar, Jaiden sudah duduk karena dibantu oleh Dokter Morgan sebelumnya.
"Kata dokter aku bisa makan apa pun," ujar Jaiden tanpa melihat ke arah Albie. Albie tersenyum, sebagai jawaban.
Buku bersampul cokelat ada di pangkuan Jaiden, dengan sangat serius lelaki itu membuka setiap halamannya.
"Jika aku tidak percaya kepadamu, tidak akan aku biarkan kamu selamat. Mungkin sekarang kamu sudah mati membusuk di Museum. Sini makan dulu," perintah Albie.
"Aku percaya kamu orang baik, sejak pertama kali mendengar bahwa Greamor menuding Eqouya yang mengirimkan blatta, di situ aku yakin kalau kalian adalah orang baik. Kamu, juga Khan Damian." Jaiden membuka mulutnya ketika satu sendok makanan di dekatkan ke arahnya.
"Sejak kapan kamu tahu kalau aku prodigi?" tanya Albie penasaran.
"Tidak sejak awal, semula aku takut karena Hunter perempuan membantingku tanpa belas kasihan," ungkap Jaiden dengan suara rendah. Dia menunduk matanya tertuju pada buku di pangkuannya, tetapi tidak difokuskan.
"Maaf, aku hanya kesal ada Hunter yang bodoh, bukannya membunuh blatta, malah bengong seperti manusia kurang asupan." Albie bertingkah lucu, bibirnya maju matanya menyipit, ekspresi wajah seperti ini hanya diperlihatkan kepada Jaiden.
Tawa rendah Jaiden menggetarkan hati Albie. Tanpa berani menatap langsung mata Jaiden, Albie terus menyuapi lelaki itu hingga piringnya kosong.
"Rasanya sudah lama sekali enggak makan," seloroh Jaiden. Dia menepuk perutnya karena kekenyangan.
"Masih mau nambah?" tanya Albie.
"Tidak, aku mau kamu duduk dan dengarkan ceritaku." Jaiden menarik tangan Albie, membiarkan perempuan itu untuk mendekat.
Siap tidak siap, Albie memang harus mendengarkan perkataan Jaiden. Dia tahu ada alasan yang bisa dipercaya sampai pewaris dari keluarga Wells rela menjelajah sendiri negeri yang dianggap musuh.
"Ayo, aku siap." Albie mantap mendengarkan.
Bergulirlah seluruh cerita dari awal sampai akhir, Jaiden sama sekali tidak menambah atau mengurangi isi dari cerita tersebut. Mulai dari ketidaksetujuan dirinya untuk menyelinap ke Greamor. Sampai dia rela mengorbankan diri agar Hunter tidak jadi korban.
Ekspresi wajah Albie terlihat serius, sesekali mengerutkan kening, atau tersenyum. Dia juga sempat terlihat marah, tetapi masih bisa bertahan dengan mengepalkan tangannya.
Jaiden terus bercerita, bagaimana dia bertahan di Greamor, bagaimana rencana ilmuwan di Laboratorium Darurat dan bagaimana Logan memperlakukan dirinya.
"Berkali-kali aku ingin mengungkapkan identitas dan tujuan. Namun aku harus bersabar, mungkin sampai menemukan formula yang tepat setelah mendapatkan buku ini. Aku berencana pulang dan kembali ke sini untuk memperbaiki semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fighter's Prejudice (Tamat, Proses Revisi)
Science FictionPasca kehancuran bumi 150 tahun silam, tatanan baru kehidupan dimulai di Prexogalla. Namun kemunculan Blatta dan perebutan kekuasaan antara dua wilayah Greamor dan Eqouya membuat kekacauan kembali terjadi. Tidak seperti keturunan Prodigi dari Greamo...