Bab 21(End)

15 3 1
                                    


Langit cerah di Eqoya sama cerahnya dengan hati para ilmuwan yang penuh kegembiraan. Jaiden, Laura, Marvell dan Judith merayakan keberhasilan mereka dengan cara menikmati indahnya sinar matahari di sore hari. Ditemani dengan semilir angin dan juga teh ekstrak bunga dan rempah-rempah yang mereka racik sendiri.

"Tanpa bantuan kamu, saya tidak akan berhasil, merterina, Laura." Jaiden memberikan satu cup teh yang masih mengepulkan asap kepada Laura, sebagai ungkapan terima kasih.

"Hanya bantuan kecil, lagipula semua ilmu yang saya dapatkan itu semua dari kamu. Merterina," ucapnya sambil menerima teh hangat dan perlahan menyeruputnya.

"Saya juga harus memberikan penghargaan kepada Albie, tanpa dia semua rencana kita tidak akan berjalan lancar."

Raut wajah Laura berubah keruh kala mendengar nama prodigi dari Greamor disebut oleh Jaiden. Sekeras apa pun perempuan itu menyangkal bahwa Albie bukanlah orang spesial Jaiden, tetapi kenyataan semakin terbuka.

Mata Jaiden selalu berseri-seri kala menyebut namanya. Senyumnya juga terlihat begitu lepas dan penuh dengan kebahagiaan. Laura tidak pernah melihat ekspresi wajah yang seperti itu dari Jaiden kala masih memiliki hubungan dengan dirinya. Di titik ini, Laura sadar diri tidak ada sedikit pun celah bagi dirinya untuk kembali kepada Jaiden. Apalagi saat Jaiden dengan jelas memploklamirkan bahwa Laura tidak lebih dari adik perempuan baginya.

"Diminum," ujar Jaiden. Laura tersenyum, dia sekarang meyakini bahwa cinta sejati tidak harus selalu saling memiliki. Selama dirinya masih bisa melihat senyum Jaiden yang indah bagai sinar matahari di sore hari itu sudah lebih dari cukup.

Saat hari mulai gelap, Jaiden dikagetkan dengan kedatangan Albie bersama dengan dua prodigi. Mereka panik, tampak sekali wajah Albie sangat kacau menandakan kalau perempuan itu tidak baik-baik saja.

"Ada apa?" tanya Jaiden.

Albie turun dari eageleon dan mengabaikan pertanyaan Jaiden. Lelaki itu sama sekali tidak tahu kalau Albie dan seluruh penduduk Greamor kesusahan karena ternyata rencana mereka gagal. Blatta tidak terkurung di sarangnya, dan entah mengapa kekuatan mereka bertambah banyak. Seakan kebal dengan insektisida yang diberikan kepada mereka.

Satu pukulan mendarat pada wajah Jaiden, lelaki itu tersungkur sampai Laura dan juga Judith refleks membantu Jaiden untuk bangun.

"Kenapa? Ceritakan jika memang ada yang salah."

Bukannya bercerita, perempuan itu malah semakin murka. Dia kembali melayangkan pukulan sampai Laura kesal dan berusaha mencegah Albie melakukan hal yang lebih buruk lagi.

"Diam kamu! Jangan ikut campur. Oh ... atau kalian memang sama merencanakan hal ini untuk kami?" murka Albie.

"Hey, tenang. Coba jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kiranya semua sudah selesai, apalagi yang jadi masalah?" Nada suara Jaiden masih sama, tidak meninggi meski dia merasakan sakit pada rahang dan juga perut yang dipukul oleh Albie.

"Apa yang kalian beri sampai blatta bisa keluar dari sarang yang kami buat. Sudah puluhan kali kami cek sarang itu aman, tidak akan bisa dibuka dari dalam. Tapi nyatanya mereka semua lepas dan menjadi lebih kuat."

"Tidak mungkin!" bantah Laura. "Ayo ikut saya."

Laura terlanjur kesal. Dia menyeret Albie dan membawanya untuk memeriksa kandang besar buatan Greamor yang ada di Eqouya. Dari jarak beberapa meter Albie dapat melihat bagaimana semua hewan itu berada dalam kandang besar dan berdesakan.

"Apa kamu yakin sudah memeriksa kandangnya dengan benar? Lihat, kami melakukan sesuai dengan yang kalian intruksikan. Itu aman, blatta yang mulai bereaksi di dalam saling memakan dan mati. Kami hanya harus membereskan sisanya, membakarnya sesuai prosedur."

Fighter's Prejudice (Tamat, Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang