Eleventh

2K 322 16
                                    


🥀__🥀

"ASTAGA ANAK AKU" Reiya tertawa pelan ketika bundanya terkejut dengan kehadiran Reiya didapur padahal ini masih sangat pagi. Ekspresi bundanya benar-benar lucu, mungkin wanita itu tidak menyangka atau menolak percaya.

"Ini yang masak nasi, kakak?" Reiya mengangguk, masih fokus mencuci piring bekas mereka makan tadi malam. Bundanya berjalan cepat kearah Reiya, padahal tadi niatnya setelah pulang dari pasar akan segera tidur, tapi ada kejanggalan didiri Reiya yang membuatnya tak tahan.

"Kakak diapain aja selama disana?? Kakak disuruh kerja berat?? Kakak diospek ya?? Kaka ngerjain semua kerjaan rumah?? Sendiri????" Bunda meraih bahu Reiya, memperhatikan wanita itu, memastikan tidak ada lecet ditubuhnya. Reiya menghembuskan nafas pelan.

"Bunda ospek apaan sih?? Justru disana aku banyak ngerepotin mereka. Untung ada kak Hani yang mau ngajarin aku kerjaan-kerjaan dapur kayak gini, kalo enggak mungkin aku udah jadi orang bego kali disana" Reiya pusing, niatnya pulang kerumah biar menghindari Dania yang masih uring-uringan perihal tamu pulang tanpa pamit. Minggu-minggu ini juga ia merasa badannya begitu lelah, jadi ia memutuskan pulang beberapa hari untuk istirahat. Eh dirumah malah harus ngehadapin bunda dengan seribu pertanyaannya. "Aku perempuan yang udah menikah bunda. Masak itu basic life. Aku juga nanti kalo tinggal sendiri gimana?? Masa tiap hari order mulu bareng Janesh"

"Kan bisa pake pembantu?? Bunda bisa nyariin kok" Helaan nafas Reiya semakij terdengar, dibilasnya piring terakhir dan ia simpan dirak pengering. "Bunda, gaji Janesh itu gak sebesar ayah, biaya hidup makin hari makin mahal. Kami aja belum punya rumah. Belum lagi nanti biaya ngurus anak, biaya pendidikan. Kalau aku bisa ngerjain pekerjaan rumah kenapa harus pake pembantu sih??" Reiya kira bundanya akan mengeluarkan kalimat lain untuk membantahnya. Tapi ternyata tidak, wanita itu malah membawa Reiya kepelukkannya.

"Bunda seneng anak bunda udah dewasa, anak bunda bisa punya pemikiran sematang itu. Kalo kakak sama Janesh perlu biaya, bilang ya kak?? Jangan ragu. Kalian emang udah membentuk keluarga kecil, tapi kakak tetep anak bunda"

"Yuk jam makan siang kita belanja, bunda mau beliin Hani hadiah. Soalnya dia udah bantu anak bunda ini" Bunda mengecup pipi Reiya. Reiya hanya tertawa, ia senang orangtuanya tidak terlalu ikut campur tentang kehidupan pernikahannya.




🥀__🥀





Semenjak memasuki bulan ketujuh kehamilan, Hani kesulitan mengontrol emosinya. Wanita yang kemana-mana membawa perut besarnya itu akan mudah terpancing, tidak perduli dimana pun dan dengan siapapun. Hani akan marah dengan apapun yang tidak sesuai keinginannya atau sesuatu yang sekiranya mengganggu pandangannya. Seperti sekarang, Januar tengah mengelus punggung Hani yang sedang menangis. Menangia karena emosi, amarah yang tidak bisa dikeluarkan.

Sejak kemarin, orang-orang disekitar mereka mulai membelikan peralatan bayi. Mulai dari pakaian, stroller, kasur bayi, bak mandi, dan barang-barang besar lainnya. Hani faham kok kalau untuk anak pertama itu memang ribet karena ini benar-benar pertama dan Hani harus membeli semuanya. Tapi tidak dengan kondisi yang seperti ini. Ia masih menumpang dirumah mertuanya, satu-satunya tempat penyimpanan mereka hanya kamar yang mereka tempati. Meskipun minggu lalu mereka sudah bertukar kamar dengan Cecil, karena ukuran kamar Cecil lebih besar tapi tetap saja tidak muat dan jatuhnya terlihat berantakan.



"Kita tuh masih numpang Nu, gue punya rencana sendiri. Niat gue beli yang kecil aja, gue gak niat nih pake bak kayak gini. Gak guna, gak bakal lama juga makenya" Januar mengangguk, sejujurnya ia juga kesal. Tapi mau diapakan lagi, namanya juga pemberian, lebih gak etis kalo mereka nolak.

"Iyaa, udah dong. Jangan nangis. Nanti kamu setres trus dedek bayinya ikutan setres. Bumil harus Happy" Diusapnya kedua bahu Hani, mood Hani adalah yang terpenting dimasa seperti ini. Wanita itu tengah hamil tua, akan bahaya kalau setres panjang. "Nanti aku atur lagi ya?? Biar agak rapih, biar gak berantakan kayak gini. Nanti aku naikin disana juga separuhnya" Lanjut Januar, kebetulan atap kamar mandi tidak langsung keatas, jadi mereka punya tempat untuk menyimpan barang-barang tidak terpakai.

Pintu kamar diketuk pelan, setelahnya muncul kepala Wina. Gadis itu sepertinya baru datang. "Aku boleh masuk gak??" Hani dan Januar kompak mengangguk, menundang senyum lebar Wina. Tapi baru satu langkah ia masuk, senyumnya sudah menghilang karena Hani melemparnya dengan boneka.


"KELUAR AJA LO!!!" Emosi Hani kembali ketika melihat Wina masuk dengan kantung merah besar ditangannya :)






🥀__🥀

ˈfam(ə)lēTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang