23. Effort

170 19 4
                                    

Alena bisa merasakan pipinya memanas ditengah butiran salju yang menerpa. Jika pencahayaan nya lebih bagus atau mungkin Anthony telah menyadari wajah gadis itu memerah saat ini.

"Kau tahu kita hanya punya minggu ini sebelum malam Natal. Kalau kau mungkin sudah punya pasangan, lupakan saja ini. Anggaplah kau menolak ku lalu kita bisa segera makan malam di Great Hall," Kata Anthony mengutarakan isi kepalanya sebab Alena tak kunjung memberi jawaban.

Yang ditanya masih menahan napas, berusaha merilekskan diri. Jelas Anthony merupakan tipe yang tak suka basa basi. Tapi bisakah dia mengerti mereka sama gugupnya?

"Lestrange?" tegur Anthony ragu.

Alena lalu memberikan gestur, menganggukan kepalanya sambil menarik napas dalam. Kemudian berpaling pada Anthony membuatnya sedikit mendongak akibat perbedaan tinggi mereka.

"Anthony, kau adalah orang pertama yang bertanya padaku." Alena akhirnya berkata sesuatu.

Terpancar perasaan senang pada mimik wajahnya. Namun Anthony tidak mengatakan apapun, ia lebih ingin mendengar keputusan Alena selanjutnya.

"Apa menurutmu kau pantas menerima penolakan? Karena aku tidak berpikir begitu," Ucap Alena tersenyum tipis.

Anthony tersenyum lega. Ia kemudian melingkarkan lengannya pada bahu Alena seraya berkata, "besok kita minum butterbeer lagi ya? Aku yg traktir." senyumnya merekah lebar.

Sama halnya Alena masih dengan senyum lebar mengangguk setuju. "Baiklah," jawabnya girang.

Dengan rangkulan Anthony di bahu Al, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri lapangan menuju Great Hall untuk ikut serta makan malam bersama murid Hogwarts lainnya.

●○●○●○●○

"Apa menurutmu kau pantas menerima penolakan?" Suara blaise menggema di udara kosong.

Draco kehilangan keberaniannya mendatangi Alena mendengar penuturan yang dibuat gadis itu untuk pria Ravenclaw entah siapa namanya.

Draco mengajak Blaise segera kembali ke asrama setelah menyaksikan kejadian dramatis ditengah lapangan utama. Pria itu mendadak kehilangan selera makannya ditengah perjalanan menuju Great Hall, maka ia berputar arah dengan langkah penuh emosi.

Sementara Blaise yang menjadi tumbal, mau tak mau harus rela kehilangan pie coklatnya malam ini.

"Sejujurnya Drake, kau bahkan belum mengajaknya. Tidak pantas kusebut kau korban disini," Blaise berkomentar, tangannya menggapai tatakan cookies diatas meja.

"Hanya jika kau ingin mendengarkan, saranku, jangan mengulur waktu dengan wanita. Langsung saja ke intinya." Ia mulai mengigit cookies nya.

"Rasanya enak, kau beli dimana?" Blaise bertanya mengenai chocolate cookies yang sejak tadi Draco buka tapi sedikitpun tidak terlihat rasa minatnya mencicipi.

"Itu pemberiannya," jawab Draco ketus. "Rhea hanya mengirimkan dua kotak tapi katanya terlalu banyak. Maka dia membaginya denganku," jelasnya.

"Pengertian sekali," Puji Blaise menyunggingkan senyum, beberapa serpihan cookies tampak berserakan di bibirnya. "Dan kau baru saja menyia-nyiakan kesempatan pergi ke acara bergengsi se Hogwarts bersamanya-"

"Jangan melebih lebih kan, Zabini. Ini Hanya Yule ball," Selak Draco kesal.

Draco menjatuhkan kepalanya ke sofa, menghadap langit langit dorm. Perlahan ia memejamkan mata mencari kedamaian, berusaha berbaur dengan kenyataan.

"Hanya Yule ball? Kau mau tahu kapan terakhir kali Triwizard diadakan? Turnamen ini terkenal karena sangat berbahaya dan dihentikan setelah 1792 karena jumlah kematian yang tinggi!" ucap Blaise antusias seakan mengatakan betapa Draco telah membuang momen berharga seumur hidupnya.

It's me,not another | slow-upTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang