Sesaat yang tak pasti, kamu hadir saat ku memejam mengiris sakit. Sejenak yang membuatku berandai, mengharap kamu agar kembali.
°°°
Di bawah terik yang membakar kulit, seorang gadis kecil berlari dengan seragam putih merahnya. Napasnya memburu dan wajahnya merah padam. Kemarahan jelas di sorotnya.
Gadis tersebut menghentikan langkahnya di bawah pohon rindang yang tidak jauh dari sekolah. Dia menjatuhkan tubuhnya di sana. Memeluk lutut, lalu menunduk dalam sekali. Tangannya mencoba menyeka pipi yang entah sejak kapan sudah basa oleh air mata. Tetapi tidak lama, dia kembali menangis.
"Alin benci sama diri Alin sendiri. Alin gak suka sama diri Alin. Alin bodoh. Gak bisa apa-apa. Makannya temen-temen juga benci sama Alin." Gadis yang menyebut dirinya dengan nama Alin terus meruntuki.
Perlakuan kasar serta ucapan tajam yang teman-temannya layangkan yang membuatnya seperti itu. Katanya, kehadirannya adalah kesialan. Tak ada yang mampu dia kuasai, selain mengacaukan tugas teman-teman karena kecerobohan dan ketidakmampuannya menyelesaikan soal.
Alin kecil yang belum mengerti merasa sedih saat dikatai tak bisa apa-apa. Dia juga malu saat dilempari gulungan kertas. Dan dia marah karena tak berani melawan.
Dia marah pada dirinya sendiri karena bodoh.
Bahu Alin bergetar hebat saat kembali mengingat. Rintihannya turut mengencang tak dapat dia cegah.
Namun seketika dia menghentikan tangisan saat merasa seseorang melepas ikatan rambutnya. Alin mendongak untuk kemudian menoleh ke belakang, dan mendapati cowok asing seusianya bersama ukulele yang dia bawa. Cowok itu tengah berdiri seraya menatap Alin dengan binar hangat.
"Ikat rambut kamu jatuh nih." Lelaki berlesung pipi tersebut duduk di samping Alin tanpa merasa canggung sama sekali.
Sesaat dia melayangkan sorot agar tenggelam dalam iris gelap lawannya, kemudian mengambil ikat rambut miliknya dari tangan orang tersebut. Dia menatapnya dengan tatapan sendu karena habis menangis.
"Mau denger aku nyanyi gak?" Tanya cowok itu sambil bersiap memainkan alat yang dia pegang.
Tapi Alin tak mengindahkan pertanyaannya. Dia masih menatap nanar yang ada di tangan, dan menggubris rambut panjangnya yang terurai. "Kenapa dilepas sih? Ini kan buatan mama. Nanti kalau mama gak mau ikatin rambut aku lagi gimana?"
Anak lelaki tersebut malah tersenyum lantas bangkit. Ada sedikit rasa bersalah sebenarnya. "Ya udah sini aku pakai-in lagi. Boleh tolong pegangin ini?"
Dia meraih ikat rambut yang Alin genggam, menitipkan sesaat benda kesayangannya pada gadis itu, bahkan sebelum dia mengiyakan. Lalu berupaya kembali mengikat rambut Alin seperti semula.
"Sebenernya aku juga gak pernah ngikat rambut cewek. Tapi kalau aku berhasil, berarti kamu harus mau jadi temen aku."
Alin terdiam menatap benda di pangkuannya, sedihnya hilang seketika setelah mendengarnya berkata. Sementara cowok tersebut tak menghentikan pergerakannya. Berusaha meraih helaian rambut yang belum tergenggam.
"Kalau gagal?"
Pertanyaan Alin berhasil membuat cowok itu berpikir sesaat. "Kalau gagal, gak papa, aku aja yang jadi temen kamu."
Tidak mudah untuknya mencerna kalimat tersebut. Tapi begitu memahaminya, Alin mendengus, memilih menyerah pada ucapan cowok menyebalkan ini. Dia tidak mampu lagi berucap untuk menyahuti perkataannya.
"Udah selesai."
Cowok itu kembali duduk di samping Alin. Sedangkan Alin meraba rambutnya ragu. Dia merasa kalau anak itu tidak mengikat rambutnya dengan benar. Rupanya memang begitu.
"Kok ngikatnya di pinggir sih? Aaaaa.. nyebelin."
Cowok itu malah terkekeh, lantas kembali menjatuhkan tubuhnya di samping Alin. "Tapi kalau di pinggir jadi cantik tau. Haha.."
"Emang asalnya aku jelek?"
"Makin cantik." Cowok itu memukul mulutnya gemas. Sedikit menyesali keteledoran bicaranya.
"Beneran cantik?"
Dia mengangguk yakin. "Iya, mirip boneka kakak aku."
Pipi Alin bersemu merah. Alin merasakan yang asing kala detaknya bertaluh dua kali lebih cepat. Pandangannya tak dibiarkan beralih sedikitpun dari cowok itu. Hingga ketika tatap mereka kembali bertemu, Alin membidiknya tak terdefinisi.
"Boneka Barbie?"
Anak lelaki itu menggeleng seraya merapatkan bibirnya. Membuat lesung di pipinya semakin terlihat jelas.
"Boneka monyet."
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionKata orang, Alinea punya segalanya. Dia cantik, pandai bermain musik, juga dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Mulanya mungkin begitu. Hingga Alin terbangun dari mimpi buruknya yang panjang. Dan dia kehilangan semuanya. °°° Tidak perlu panjan...