15 | Pertahanan yang diruntuhkan

23 2 0
                                    

Untuk sembuh, luka gak boleh terus-terusan ditutup.

°°°

"Eh, serius deh. Itu anak OSIS yang kebagian ngurusin properti gak tanggungjawab banget. Jadi gedeg sendiri gue."

Itu bukan keluhan pertamanya. Sejak mereka menyelesaikan gladi, dan keluar dari ruangan musik, Abel lebih banyak mendumel daripada mengapresiasi performnya sendiri. Berkat seseorang yang bolos dan meninggalkan tugasnya, hingga membuat acara mereka jadi tidak berjalan dengan baik.

"Yang mana sih si Yori Yori itu?" Nadanya masih belum tenang. Alin dapat melihat seberapa kesalnya Abel dengan melihat kerutan tipis di antara alisnya.

"Gue juga gak tahu."

Abel mencebikkan bibirnya tidak percaya. Lantas menaruh silangan tangannya di depan dada. Namun sedetik kemudian dia menoleh, menatap Alin curiga. Tepat di detik itu juga, kecurigaannya tiba-tiba hilang saat Alin memainkan rambut panjangnya ke belakang.

Abel melongo, lipatan tangannya meluru dan tak sadar menyentuh goresan bekas luka di leher Alin yang baru saja dilihatnya.

"Lin.."

Mengerti arti tatapan Abel yang tiba-tiba berubah, cepat-cepat Alin menjauhkan tangan gadis itu dari yang dapat dia gapai. Sungguh, Alin melupa.

Tapi Abel tak hanya sampai di sana. Dia meraih tangan kiri Alin yang tertutup kemeja untuk menemukan jejak lain. Lantas, gadis itu hanya bisa menghela napas berat saat melihat banyak baretan tipis di sana.

"Lo jahat banget sama diri sendiri, sumpah." Pungkir Abel yang membuat Alin menatapnya. "Coba bayangin, deh. Gak ada orang yang bisa ngertiin lo lebih dalam lagi selain diri sendiri. Sedangkan kalo lo aja sering nyakitin diri lo sendiri, apalagi orang lain."

Alin terdiam cukup lama seakan semua kata lenyap dari benaknya. Otaknya mengirim sinyal untuk mencerna, karena hatinya juga sejalan dengan pemikiran Abel.

Alin juga sempat berpikiran begitu, bahkan menganggap dirinya aneh. Dia begitu ingin orang-orang mencintai sosok yang sebenarnya tidak dia cintai.

"Mau sampai kapan?" Pertanyaan Abel berhasil mengukir senyuman miris.

Kaki Alin terus melangkah, tapi entah kenapa dia seolah tak merasa sedang berjalan. Dia seperti tengah beraktivitas dengan pikiran kosong. Karena hatinya terus-menerus membenarkan perkataan Abel.

Sejak tahun pertama sekolah menengah, saat Abel baru mengenal Alin, dia pikir Alin adalah gadis yang penuh dengan kasih sayang. Sosok penyelamat yang tak gagal kembali menghangatkan kehidupannya. Namun rupanya Abel salah. Dia, Alinea, adalah gadis rapuh, yang tumbuh bersama rasa sakit.

"Alin, lihat gue!"

Alin benar-benar menatap Abel tepat di iris matanya.

"Lo tahu, kenapa lo sulit memaafkan orang lain?" Alin diam. "Karena lo belum memaafkan diri lo sendiri."

Satu detik, dua detik, lalu lalang orang di koridor kelas tak mereka hiraukan. Satu-satunya yang terlintas di pikiran keduanya hanyalah sama, berusaha saling mengobati.

Tapi Alin terlalu takut. Takut lukanya terbaca, takut segalanya berubah menjadi semakin sulit, takut Abel menjadi bagian dari mereka yang menolaknya. Karena itu, dia hanya ingin melaluinya sendirian. Dia pikir dia bisa.

"Lo ngomong apaan, sih? Gaya ngomong lo itu udah kayak psikolog tau, gak?!" Alin mengalihkan pandangannya ke arah yang berlainan. Sebisa mungkin dirinya tidak terpengaruh oleh perkataan ngaco sahabatnya.

"Yeuh, dibilangin." Abel yang tadinya berjalan di samping Alin, kini melompat ke depan, memaksa Alin untuk menatap wajahnya. Dan otomatis langkah Alin berhenti karena terhalang olehnya. "Tunggu dulu!"

AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang