4 | Sebuah kesalahan

34 2 0
                                    

Kita adalah sama, setumpuk luka yang dibalut ribuan pura-pura. Setara, dan banyak lara. Berdusta, dengan harap segalanya tak ketara. Karena itu, kita sama.

°°°

Alin belum sepenuhnya paham, mengapa setiap dia memejam tanya itu selalu muncul menghantui. Dia datang dalam bentuk yang tak tergapai. Mungkin teraih, namun tak tergenggam jawabnya, tentang,

"Kalau hidup adalah permainan, kira-kira siapa yang akan menjadi pemenangnya?"

Hingga saat Alin sudah mulai muak dengan pikirannya sendiri, dia memanggil Galih untuk ditanyai. Mereka duduk di bangku taman yang tidak jauh dari rumah oma. Matanya menerawang menyaksikan tiap tawa manusia-manusia kecil yang sempat saling berebut ayunan. Tapi sekali lagi, Galih tetaplah Galih. Alin menyesali keputusannya kalau ternyata tanya itu malah membuat Galih menepuk dadanya bangga.

"Gue pemenangnya!"

Alin diam tak membantah, seolah membiarkan cowok itu mengatakan segala yang dia percayai. Mungkin diamnya Alin sedikit mengganggu. Karena setelah itu, dia meralat lagi bicaranya.

"Gue juga gak tahu." Suara beratnya seakan menghipnotis Alin untuk menoleh. Menjadikan iris gelap itu satu-satunya objek yang boleh ditatap. "Mungkin, pemenangnya adalah orang yang lebih dulu menyelesaikan hidup?"

Ada tanya di akhir kalimatnya. Cowok itu kemudian meneguk kembali minumannya tanpa beban. Sementara Alin masih memandanginya tidak percaya.

"Lagian ngapain sih lo nanya yang begituan? Kayak yang gak ada pertanyaan lain aja."

Saat itu Alin berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat. Membiarkan Galih untuk menikmati tiap detiknya tanpa penyiksaan. Bisa-bisanya dia mencibir seperti itu padahal pertanyaan dia kadang lebih tidak masuk akal lagi.

Lupakan soal itu, mari kita berfokus pada hari ini. Tadi di awal jam istirahat kedua, Abel menarik paksa Alin untuk pergi ke kantin. Bukan semata-mata untuk mengisi perut seperti yang mereka lakukan di istirahat yang pertama. Melainkan karena sosok yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Namanya Raga, dia anak kelas dua belas yang namanya dikenal banyak orang. Kapten futsal kebanggaan Baskara. Bintang lapangan yang tampangnya dibangga-banggakan para pemuja visual. Sekaligus peraih piala National School Debating Competition dua tahun berturut-turut.

Mungkin jika hanya dilihat sekilas, Raga terlihat seperti orang yang serius, bodoamatan, dan egois. Tapi demi apapun, dia lebih dari parah dari tiga kata itu. Dia adalah orang tercuek yang pernah Alin temui seumur hidupnya. Selama hampir dua tahun Alin mengenal dia sebagai kakak kelas, Alin tidak pernah melihat dia tertawa atau paling minimal senyum lah. Dia itu benar-benar definisi orang yang gak punya hati lahir batin. Tapi aneh, Abel malah menyukainya.

"Hai, kak Raga!"

Tidak ada kapok-kapoknya. Abel masih mau berteriak seperti itu padahal yang diteriaki jelas tampak risih. Masa bodo dengan pandangan orang-orang tentangnya. Mungkin kebanyakan dari mereka juga tahu kalau Abel adalah budak cinta yang tak pernah putus asa.

Tidak jauh dari sana, Raga bahkan tak menyempatkan dirinya untuk menoleh, tapi malah teman-temannya yang melakukan itu.

"Hai juga, Bel!"

Cewek berambut sebahu itu tak mengindahkan lambaian yang lain. Pandangannya masih tidak dibiarkan mendelik ke selain Raga, hanya cowok itu satu-satunya sosok yang diperbolehkan jatuh di retina. Sementara Alin yang sudah kepalang malu, berusaha menyeret tubuh Abel yang kakinya seperti dipaku langsung ke lantai. Berat.

AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang