25 | Tiga minus satu

29 3 0
                                    

Sesuatu yang dapat ku tangkap dalam sekali tatap, membuatku terperangkap. Sejauh ku berlari, sekeras ku menghindari, sebanyak ku membenci, keluarga tetap menjadi pulang yang paling ku nanti.

°°°

Katanya, omongan orang jangan terlalu dipikirkan. Sudah tugas mereka untuk menilai, tapi bukan kuasa mereka untuk menghakimi. Yang benar akan menemukan jalannya sendiri, dan salah tak akan bertahan selama itu. Yang perlu dilakukan, hanya tetap menjadi bahagia dengan apa yang diinginkan, bukan yang orang pilihkan.

Tapi terkadang, semesta tak mengaminkan semudah yang dikira. Sulit yang dilalui sendiri, kecewa dari dengar yang tidak dibagi, dan sakit karena rasa yang tidak divalidasi, bukan definisi bahagia yang Alin ingin. Mereka sudah terlalu banyak merebut bagiannya, dan mengantarkannya pada titik di mana dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain duduk tertunduk, dengan napas tak beraturan, sambil meremas ujung roknya, seperti saat ini.

Tak seperti isi kepalanya yang selalu bising, Alin sama sekali tak mendapati suara di sini, selain suara cekrukan knop yang ditutup setelah dia masuk tadi. Pendingin ruangan ternyata belum cukup puas menyiksanya dengan dekap paling dingin. Jarak beberapa ubin yang terhalang meja berisi papan nama headmaster, seseorang duduk di singgasananya, menatap Alin di balik lensa bening dengan tatapan membidik.

"Jadi, apa yang bisa kamu jelaskan kepada saya, Alinea?"

Satu detik.

Dua detik.

Dibiarkan berlalu tanpa suara. Kuatnya belum mampu meraih kembali kuasa. Terlalu banyak kata kusut yang melintas di pikirannya, hingga tak ada satupun yang mampu menjelaskan atau hanya untuk sekadar menyangkal.

"Alinea?" Panggil Bu Tyas yang ke sekian kalinya. "Benar itu kamu?"

Alin membisu, menggigiti bibir bawahnya. Otaknya memerintah untuk menyangkal, tapi alam bawah sadarnya menolak. Katanya, menjelaskan pada orang yang tidak akan mempercayai bukan pilihan tepat.

Meski pada akhirnya Alin menggeleng pelan seraya merapatkan mulut. Sedangkan tangannya terus meremas rok yang sudah lusuh. "Itu bukan saya, bu."

Bu Tyas menghembuskan napasnya berat. Dia kemudian menatap Alin lebih dalam lagi, berusaha menangkap sesuatu dari matanya. "Video itu sudah terposting di akun sosial media kamu. Buktinya terlalu kuat. Apa yang akan kamu katakan agar saya percaya bahwa itu bukan kamu?"

"Saya memang ada di sana, mabuk bersama orang yang tidak dikenali, bertingkah seperti orang gila." Sulit, Alin memberi jeda. "Tapi saya tidak melakukannya. Saya tidak melakukan yang seperti orang pikirkan. Dan bukan saya yang posting video itu."

"Saya mengerti maksud kamu. Saya juga tidak bisa menyimpulkan jika hanya melihat video yang tersebar-"

"Itu bukan Alin, bu!" Potong Alin cepat. "Kalau ibu memanggil saya karena saya mabuk, silahkan hukum saya. Tapi kalau ibu menghukum saya dengan berpikiran sama seperti orang-orang, maaf Bu, saya menolak."

Tyas tidak melanjutkan perkataannya lagi. Dia memilih diam dan menunggu kalimat Alin selanjutnya.

"Tidak ada bukti yang menunjukan bahwa saya melakukan seks dengan laki-laki itu, tidak ada yang membayar saya. Hanya karena mama saya, bukan berarti saya juga seperti itu."

Tyas melepaskan sandarannya pada kursi lantas mencondongkan tubuhnya ke atas meja. Memperpendek jaraknya dengan gadis penuh ketakutan itu.

"Kalau bukan kamu, lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas rusaknya image sekolah kali ini?"

AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang