14 | Cerita dia yang akan pergi

29 2 0
                                    

Where you go I follow
No matter how far
If life is a movie
Oh you're the best part

Best part - Daniel Caesar

°°°

"Ga, lo ngapain berdiri di situ?"

Alin yang mendengar pertanyaan Galih, kontan menoleh ke arah Raga yang berjalan menghampiri mereka. Alin mengerutkan kening, sedikit heran. Karena tak biasanya Raga memberi tatapan seperti itu untuknya.

Seperti ada yang aneh.

Sementara tidak jauh dari tempat Raga berdiri, Abel berlari menyusul sosok yang namanya dia teriaki dengan lantang. "Kak Ragaa.."

Sang pemilik nama menghentikan langkahnya. Sambil tersengal-sengal dia berseru. "Ayo pulang, ke rumah gue!"

Alin membagi tatapan pada Raga dan Galih, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui.

°°°

Alin tahu dunia selalu punya cara untuk membuatnya jatuh terpuruk seolah tak ada lagi uluran tangan yang mau menggapainya. Lalu tiba-tiba dia dijadikan orang yang paling bahagia, melupakan sakit yang pernah membuat detaknya berdesir ngilu, seakan dia telah memaafkannya. Tapi Alin masih tidak tahu, dari sekian banyak cara untuk bahagia, kenapa dia harus terjebak dalam perasaannya sendiri, dengan orang yang jelas-jelas tidak bisa dimiliki?

"Nih, dengerin! Bagus gak?"

Seseorang dari belakang yang tiba-tiba memasangkan earpod di telinganya, seketika membubarkan lamunan Alin. Fokus gadis itu seakan ditarik kembali kepada irisan daging-daging tipis di atas pemanggang.

"Bagus."

"Enak, kan?" Galih mempertanyakan rekaman suaranya sendiri yang diperdengarkan pada Alin.

Alin mengangguk ringan, tangannya berusaha membalikkan daging yang dia capit. "Iya."

Lantas tanpa mengambil kembali benda kecil yang terselip di telinga Alin, cowok itu hanyut dalam musiknya. Tubuhnya tidak bisa diam barang sejenak. Sambil memperagakan dance ala-ala sendiri, Galih menyanyikan penggalan lirik yang sama dengan penuh penghayatan. Lagu perfect dari One Direction, mengalun indah bersama bass dan drum yang dimainkannya bersama Abel tadi.

Sejauh manapun mereka pergi, rumah kakak laki-laki Abel tetap menjadi pilihan untuk disinggahi. Di halaman belakang yang tidak terlalu luas, mereka menutup harinya dengan memanggang beberapa daging, duduk di bangku putih bawah pohon mangga yang belum berbuah lagi. Sudah ada Abel dan Raga di sana. Bersama gitar berukir namanya, Abel memeluknya setelah memainkan satu lagu untuk Raga.

"Kak Raga sukanya apa?"

Tanpa menatap lawan bicaranya, Raga menjawab. "Gue juga gak tahu."

"Gak suka aku?"

Raga menghentikan aktivitas memotong buah-buahan, kemudian beralih menatap Abel di sampingnya. Nadanya lugas, jelas, dan cukup membuat perasaan Abel tak karuan. "Suka sama cinta emangnya sama?"

Padahal matahari sore itu tidak terlalu panas, tapi entah kenapa mendengar Raga mengatakan itu berhasil membuat pipinya memerah. Abel bahkan tidak bisa menyembunyikan senyuman di balik lipatan tangannya di atas gitar.

Dari tempatnya berdiri Alin tersenyum kecil. Meski tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, dia hanya ingin seperti itu. Kedekatan Abel dan Raga selalu berhasil membuat dadanya menghangat.

AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang