13 | Kenangan ubur-ubur

25 2 0
                                    

Pelan-pelan kamu mulai melemah. Bak istana pasirku, kamu mudah rapuh dalam sekali sentuh.

Tak apa, seorang panglima pun boleh merasa lelah. Peluk aku jika perlu. Setelah ini kita harus tertawa lagi bersama.

•••

Ada ruang yang khusus diciptakan Tuhan sebagai petunjuk jalan pulang, jalan keluar dari penjara pikiran masing-masing. Dia hadir untuk melepaskan beban secara utuh, maupun menegakkan bahu yang sebelumnya rapuh.

Jika bukan karena Abel yang menarik paksa tubuhnya dari kasur, Alin mungkin tidak akan ada di sini. Di tempat dengan debur ombak kecil, bersama dua orang lainnya.

"Bel, lo gak ngomong mau ada Galih juga lho." Sebenarnya bukan sepenuhnya salah Abel. Lagipula memangnya siapa yang cepat-cepat menyetujui padahal belum tahu Galih adalah orang yang akan Abel ajak?

"Gue kan udah bilang. Gue ajak juga yang lain."

"Pret.. yang lo ajak malah cuma dia."

"Kan biar double date." Nadanya terlalu santai untuk seorang yang berhasil membuat Alinea terdiam, membiarkan pasir-pasir yang sudah mereka tumpuk tak lagi disentuh.

Alin hanya tidak ingin semakin terjatuh sendirian. Terjebak dalam harapan-harapan yang mereka buat, yang seolah menggelapkan matanya pada nyata bahwa mereka hanya sekadar teman. "Namanya harus double date, ya?"

"Iya. Kan ada dua pasang cewek cowok."

Alin mencebikkan bibirnya jengkel. Meski terus mengoceh dari awal pemberangkatan di mobil Raga, Alin ingin tetap mencoba menikmati hari ini. Terlepas dari; dengan siapa yang bersamanya, Alin sebenarnya tak acuh. Lihat saja, bagaimana sekarang dia tengah asik membuat istana pasir bersama Abel, tanpa menghiraukan cowok itu yang sedang bermain bola bersama sekumpulan orang yang baru dia kenali.

"Dari sekian banyak tempat, kenapa harus pantai sih, Bel?" Alin protes lagi. Dengan penuh kesabaran, Abel menghela napasnya panjang.

"Karena ini yang paling deket dan gratis. Udah! Alasan gue udah kuat. Lo jangan protes apa-apa lagi!"

"Tapi, kan, gue gak suka pantai." Alin menghentikan gerakan menyekrupnya. Gadis itu menatap Abel dengan alis yang bertaut.

Abel pun sama. Dia juga menghentikan aktivitasnya hanya demi membalas tatap Alin yang memelas. "Ada yang belum lo lihat di sini, Lin."

"Apaan? Dari ujung sana sampe ujung sana-" jari telunjuknya mengarah pada sebuah tebing lalu berpindah sampai jalanan di atas laut menuju pelabuhan. "Gak ada sama sekali yang bikin gue tertarik-OY!"

Semula gadis itu duduk dengan kaki disilang, tapi begitu istana yang dia bangun bersama Abel hancur dalam sekali tembakan bola plastik, dalam sekejap Alin berdecak pinggang.

"Makannya gue bilang, jangan kebanyakan protes! Jadinya kecolongan, kan, kita." Abel memarahi Alin yang sudah menggebu-gebu. Gadis yang siap menyembur pada dia yang telah berbuat, harus membela dirinya terlebih dahulu.

"Jangan salahin gue dong! Mereka itu yang salah!" Tunjuknya pada Galih, dengan niat menyalahkannya.

"Bukan gue, Lin!" Galih mengangkat kedua tangannya dengan wajah polos. Padahal jelas sekali mereka lihat apa yang baru saja dia lakukan.

"Lempar sini bolanya!" Pintanya yang sudah mengode dengan kedua tangannya. Cowok itu beralih kepada Abel yang sekarang memegang kuasa bola "Bel, siniin, Bel!"

Sialnya, Abel malah patuh pada titahnya. Bola itu kembali dilayangkannya pada tuan.

"Ini siapa yang mau tanggungjawab?" Lagi-lagi Alin menunjuk istana pastinya yang tampak mengenaskan.

AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang