Lo tahu apa yang lebih menyedihkan dari banyaknya masalah dalam hidup?
Kenyataan bahwa lo gak bisa menghindarinya
°°°
"Manusia bego!"
Galih memejam pasrah kala cercaan itu terdengar lagi. Sakit di kepalanya belum sepenuhnya hilang, tapi Gadis sudah banyak merutuk sejak Galih membuka matanya tadi pagi.
"Ndis, pliss, mending lo dzikir aja deh daripada maki-maki gue terus." Galih mulai bosan. Telinganya sudah sangat panas mendengar kata-kata mutiara keluar dari mulut cewek itu.
"Abis gedeg banget gue sama lo." Akunya tanpa menatap lawan bicara. Dia masih menyibukkan diri pada barang-barang di atas nakas. "Di mana-mana, ya, orang sakit tuh ngomong!"
"Gue sakit, Ndis." Rengeknya seraya mengubah posisi tidur menjadi duduk.
"Lo gak pernah ngerti, Lih." Gadis menoleh, lantas melenggang menghampiri bed, lalu duduk di kursi kosong dekat sana. Yang dia lihat, senyuman anak itu tak lagi punya arti. Dia bahkan sudah kehilangan kepercayaan pada binar cerianya yang seperti anak kecil. Galih sudah membohongi semua orang menggunakan itu. "Kalau lo terus-terusan nyembunyiin penyakit lo, gimana bisa sembuh?"
Tak ada jawab lagi setelah tanyanya. Gadis membiarkan adiknya memejam menenggelamkan pikiran.
Tapi Gadis juga tidak mengerti. Meskipun Galih diijinkan untuk mengatakan sakitnya yang ditahan, menyuarakan rintihannya yang tiap malam, dia tidak akan pernah melakukannya. Sekuat yang dia bisa, dia akan bertahan sendirian. Meski pada akhirnya tuhan tidak membiarkan dia sendiri, Galih menyesal telah menciptakan banyak ketakutan buat mereka. Tinggal di rumah oma ternyata tak membuat persembunyiannya tetap terjaga. Meminta oma bungkam, menjalani hari-hari sulitnya dengan hemodialisa, dan permohonan untuk tetap hidup dari dirinya sendiri, tak menjamin semuanya baik-baik saja. Karena endingnya, dia tetap jadi orang jahat kerena telah menghancurkan dirinya dan orang-orang di sekitar.
Bukan maunya untuk tinggal di pikiran orang sebagai beban. Beban buat papi, bunda, dan semua orang yang terlanjur tahu tentang rasa sakitnya, termasuk oma yang sejak lama telah menemaninya.
Tidak ada suara lain yang dapat mereka dengar selain bunyi keran dari dalam toilet, juga detak jarum jam yang seperti berlalu lebih lambat. Walau lambatnya tak cukup untuk menghentikan waktu, tapi dia berhasil melenyapkan hangat di ruang itu. Galih rasa, sakit di tubuhnya bukan apa-apa dibanding dengan tatap menyedihkan yang orang-orang layangkan. Namun yang membuatnya semakin terlihat menyedihkan adalah, dia sumber sakit orang yang paling dicintai. "Bunda gimana?"
Ada jeda antara kalimatnya. Getar bicara Gadis setelah itu berhasil mematahkan senyumnya. Bohongnya tampak terlalu jelas saat matanya lebih banyak berbicara. Bunda tidak baik-baik saja. Kabar mengenai kondisi Galih tadi malam sangat mengejutkannya. Hana sempat drop berkali-kali merasakan sakit di perut, hingga satu nyawa di rahimnya tidak terselamatkan. Mereka baru saja kehilangan calon adik kecilnya.
Tapi Gadis tidak mau mengatakannya, "bunda baik-baik aja. Dokter bilang bunda harus banyak istirahat-"
"Gara-gara gue bunda drop! Gara-gara gue bunda harus kehilangan bayinya. Kita semua kehilangan dia. Gue yang bunuh dia, Dis!!"
Gadis terdiam seketika.
45 tahun, sebenarnya bukan usia yang pas untuk mengandung lagi. Dokter kandungannya meminta bunda agar tidak stress, cemas berlebihan, bahkan kelelahan. That's why, pekerjaan rumah lebih sering dilakukan oleh Gadis dan Galih, Adi yang tidak pernah lagi bercerita banyak tentang pekerjaannya, dan Geral yang lebih mudah menurut setidaknya sejak bunda hamil. Tapi itu juga yang menjadi alasan mengapa Galih lebih memilih merahasiakan penyakitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionKata orang, Alinea punya segalanya. Dia cantik, pandai bermain musik, juga dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Mulanya mungkin begitu. Hingga Alin terbangun dari mimpi buruknya yang panjang. Dan dia kehilangan semuanya. °°° Tidak perlu panjan...