Seseorang pernah bilang, "Ketika Lo merasa benci sama diri sendiri, ya udah tinggal bunuh aja, bunuh karakter yang gak lo suka dari diri lo itu."
°°°
Katanya, tidak ada perempuan dan laki-laki yang bisa berteman secara utuh. Alin pikir kalimat itu tidak akan berlaku padanya. Tetapi kenyataannya, Alin tak mampu menyangkal kebenarannya lagi.
Gadis itu tertunduk lesu di depan cermin yang menampakkan bayangan maya dirinya. Entah kenapa, di tempatnya berdiri sekarang, Alin selalu merasa menjadi manusia paling bodoh. Dan anehnya, kebodohannya itu tak pelak membuatnya berkembang.
Dari benda datar di depannya, Alin seolah melihat sesosok manusia yang tak pernah tumbuh dengan baik.
Setelah merasa cukup menyalahkan dirinya di depan cermin, Alin menjatuhkan tubuhnya begitu saja ke atas tempat tidur. Matanya yang semula terpejam, kini terbuka menatap langit-langit kamar yang dinaungi sinar LED 25 watt. Namun, cahaya yang seharusnya terang itu seolah meredup lalu padam di mata sendu miliknya.
Alin tidak tahu sejak kapan Dito menyimpan rasanya. Tapi tetap saja. Seharusnya Dito tidak melakukan ini agar mereka bisa tetap berteman. Kalau sudah begini, apa yang harus Alin katakan saat bertemu dengan Dito lagi? Apa mereka masih biasa?
Dia belum memberi jawaban. Gadis itu meminta waktu untuk berpikir. Namun yang sebenarnya Alin minta adalah waktu untuk memikirkan bagaimana cara menolaknya tanpa menyakiti perasaan Dito, meski dia tahu dia tidak bisa. Karena penolakan bukanlah suatu hal yang menyenangkan.
Baru saja matanya hendak terpejam, tiba-tiba suara gebrakan orang jatuh terdengar dari balkon kamarnya. Alin tersentak, dia bangkit lantas terbirit-birit membuka akses ke sana. Namun yang dia dapati di luar, rupanya tidak jauh berbeda dengan yang dia terka. Pikirnya maling, ternyata Galih.
Sementara anak itu mengaduh, Alin hanya bisa berdecak pinggang padanya yang tersungkur di lantai. "Manjat pohon lagi?!"
Dia membalasnya dengan cengiran.
"Rumah gue masih punya pintu utama."
"Tolongin dulu kek. Sakit ini."
Kepalanya menggeleng seakan mengatakan yang tak terucap, bahwa dia tidak habis pikir dengan anak ini. Alin berjongkok menyamakan tingginya dengan Galih yang kini terduduk, hendak meraba dengkul yang tampak memiliki sedikit ruam. Namun niat baiknya malah menjadi bumerang buat dirinya sendiri karena Galih langsung menarik tangan Alin agar duduk di sampingnya.
"Mulai malam ini gue gak tinggal sama oma lagi."
Dari sekian banyak alasan untuk marah, Alin tidak membesarkannya saat itu. Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat ketika Galih mulai mengucap kalimat pertamanya yang seperti tidak ingin disangkal.
"Tapi gue gak yakin, Lin." Bersamaan dengan terkatanya, Galih mengatur pandangannya untuk lurus. Membiarkan Alin yang menatapnya penuh tanya.
"Kenapa?"
Memilih untuk tidak melanjutkan isi kepalanya, Galih menggeleng seraya mengulum senyum pilu. Seberapa dalam rasa yang berusaha disembunyikannya, tetap muncul sebagian dan terjabar di rautnya. Siapapun dapat membaca ketidakpastian di sana.
"Gue bawa inii! Ayo kita coffee date!" Ditengtengnya sudah ada dua cup ice coffee. Yang satu diserahkan pada wanitanya dan yang lainnya dia sendiri yang mencicipi.
Binar yang mengalihkan keresahannya tak memberi efek apa-apa bagi kejengkelannya. Galih selalu seperti itu. Laranya tak pernah diperlihatkan secara transparan. Walau banyak kalimat yang terkata dalam seharinya, rata-rata isinya bukan sebuah keluhan. Sesakit apapun, dia lebih menyukai saat orang lain menatapnya baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionKata orang, Alinea punya segalanya. Dia cantik, pandai bermain musik, juga dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Mulanya mungkin begitu. Hingga Alin terbangun dari mimpi buruknya yang panjang. Dan dia kehilangan semuanya. °°° Tidak perlu panjan...