Hidup adalah pilihan.
Dicintai atau tidak, tergantung cara kamu memperlakukan mereka
°°°
Alin pernah mengira, bahwa selamanya dia akan sendiri. Berpikir bahwa segala sulit yang dilalui tak akan ada yang mau menemaninya melangkah. Kala semua orang menolak kehadirannya, semesta juga membiarkannya terpuruk.
Namun rupanya, takdir tak sepenuhnya kejam pada hidup. Sampai Alin mengenal Galih dan bersamanya dalam waktu yang lebih lama dari yang dia sangka, membuat Alin banyak menjumpai perasaan baru. Pada hangat, pada cinta, pada musik yang kini telah menjadi dunianya.
Galih itu sederhana, meski kadang tingkah ajaibnya yang di luar nalar membuat Alin memijat kepalanya klenger. Tapi dia menyenangkan, tak pernah gagal membuat orang-orang di sekitarnya tertawa. Ibaratkan mentari yang hadirnya merupakan hangat dan cahaya. Dia adalah sosok yang penuh dengan energi. Seakan Tuhan menciptakannya semata-mata hanya untuk menjadi sumber kebahagiaan saja.
Alin tatap lagi binar ceria di sekelilingnya, pada empat sosok yang tampak pas berada pada bingkai matanya. Saat Rey memainkan drum, Abel dengan bass-nya, Galih dengan akustiknya, dan Agler yang jarinya selalu menari di atas keyboard dan kertas untuk lagu-lagu miliknya, membuat Alin yakin bahwa musik adalah dunia yang tepat untuk dia tinggali.
"Coba naikin satu nada lagi!" Pinta Agler yang kesekian kalinya. Begitu mereka mencoba beralih kunci, Agler memejam, menyeimbangkan suara Alin dengan musiknya. "Nah, segitu. Coba sekali lagi!"
Alin masih menggelutkan jari-jari di antara rambut puncak Galih. Cowok itu sendiri yang memintanya untuk dibuatkan ikatan di atas kepala agar poninya tidak lagi menghalangi pemandangan. Sedangkan tuan masih menyibukkan dirinya pada lembar kertas yang tengah dilipat-lipat.
"Ayo, Galih!"
"Bentar!" Belum sempat Agler menyelesaikan panggilannya, Galih sudah lebih dulu memotong. Cowok itu menahan mulut Agler dari jauh, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Lagi ngapain sih?" Tanya Agler penasaran.
Alih-alih Galih, malah Abel yang menjawab. "Bikin pesawat kertas."
"Ya Allah, Galih. Taruh dulu itunya!"
"Ayo mulai!" Tiba-tiba cowok itu berhenti, beralih kembali pada gitar, bersamaan dengan Alin yang telah menyelesaikan ikatannya.
"Dari mana chordnya?"
"C!" Galih sempat mencoba-coba petikan tanpa pick menggunakan jarinya. Setelah irama nada terbayang, barulah dia meminta Alin untuk memulai.
"Coba bagian chorus!"
Alin kembali menjatuhkan tubuhnya pada sofa dekat pintu. Petikan nadanya kembali dimulai sebentar. Agler yang bernyanyi.
"I'm sorry if I say-"
Musik tiba-tiba berhenti berkat cowok itu yg mengacungkan tangan, memberi kode. Dia tidak berkata apa-apa, tapi mereka dapat mengerti arti jempol Agler kala itu. "Ayo, Lin, coba!"
Alin mengangguk sekali.
"I'm sorry if I say I need you
But I don't care, I'm not scared of love
'Cause when I'm not with you, I'm weaker
Is that so wrong? Is it so wrong
That you make me strong?"Ruangan itu hampir tidak pernah dihuni oleh lebih dari lima orang, tapi suasana di sana tidak pernah sepi sekalipun mereka tengah tertidur-karena akan selalu ada dengkuran Agler dan Rey yang saling bersahutan. Studio milik Abel ini selalu menjadi destinasi favorit kelimanya setiap pulang sekolah. Ruangan yang disisakan khusus di rumah kakak laki-laki Abel yang saat ini tengah bekerja di luar pulau. Yang merupakan hadiah terindah yang Abel dapat saat ulang tahunnya yang ke enam belas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Fiksi RemajaKata orang, Alinea punya segalanya. Dia cantik, pandai bermain musik, juga dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Mulanya mungkin begitu. Hingga Alin terbangun dari mimpi buruknya yang panjang. Dan dia kehilangan semuanya. °°° Tidak perlu panjan...