Yang terlihat oleh mata, kadang tak seirama dengan yang dirasa. Jadi terakhir ku kata, jangan terlalu mudah untuk bicara.
°°°
"Geral sialan!"
Galih mengumpat lirih di depan dua makhluk yang tengah menatapnya serius. Drama sudah dimulai sejak pintu terbuka, disusul oleh teriakan Rey dan Agler. Sejak saat itu Galih merasa ketenangannya melebur berkat mereka yang memeriksa dan banyak bertanya tentang kondisinya. Demi tuhan, Galih akan lebih baik-baik saja jika mereka tidak tahu apa-apa.
"Adik lu itu!" Peringatan itu keluar dari mulut penuh Rey yang sibuk mengunyah apel. Apel milik Galih yang dia dapat dari atas nakas. "Lagian anak kecil emang gak pernah bohong. Beda sama lo. Diri sendiri aja lo bohongin. Pantesan keliatan pro banget waktu bohongin kita, ya, Gler?" Tanyanya meminta persetujuan.
Agler mengangguk saja, sembari berusaha mengupas mangga untuk Galih makan. "Bilangnya bolos urusan negara, taunya cuci darah bareng cewek."
Urusan negara yang mereka maksud adalah menghabiskan waktu dengan perempuan. Biasanya Agler yang lebih sering menggunakan kalimat ini untuk dijadikan alasan saat dia tidak ikut nongkrong. Tapi akhir-akhir ini, Galih yang lebih sering menggunakannya. Dan cewek yang mereka maksud adalah Gadis.
"Tapi gue gak bohong, gue beneran spend time sama cewek kan?" Alibi Galih mengemis pembelaan.
"Heh, Maemunah! Yang jadi poin penting di sini tuh cuci darahnya, bukan masalah lo cuci darah sama ceweknya!"
Ah, semuanya gara-gara Geral. Mulut ember anak itu memang sama sekali tidak bisa dipercaya. Seandainya tadi saat Rey dan Agler datang ke rumah tapi bukan anak itu yang membukakan gerbang dan mengatakan Galih sedang tidak ada di rumah, keduanya mungkin tidak akan berakhir di sini. Dengan apa-apa yang tak lagi sama.
"Eh, yang tadi itu kan, ya?" Binar mata Rey tiba-tiba berubah. Lebih bersinar setelah mengingat seseorang yang baru saja keluar dari ruangan ini saat mereka masuk. "Kakak lo cantik banget njir."
"Heh!" Agler memberi peringatan dengan pisau di tangannya. Hampir saja mata Rey tercolok jika saja cowok itu tidak cepat menghindar. "Punya mata tuh dijaga! Ada cewek juga. Yang ini bagian gue." Sambungnya santai sembari menyantap potongan mangga.
"Mau aja lo sama nenek lampir."
"Yang penting casing!"
"Najis!"
Rey baru akan sadar jika kepalanya sudah ditimpuk oleh Agler. Meski mereka sama-sama tahu, Rey tidak sedang serius. Jadi, setelah terkekeh, ketiganya berhenti untuk membahasnya.
"Seberapa parah penyakit lo?" Rey yang lebih dulu memulainya, tapi malah Agler yang terhenyak oleh pertanyaan mendadak itu. Dia hanya belum siap.
Seharusnya Galih biasa mendapatkan tanya-tanya semacam itu. Seperti yang biasa dia tanyakan pada dokter. Tapi mendengarnya langsung dari Rey, membuatnya sedikit takut.
"Gue masih bisa sembuh-"
"Gue gak butuh kalimat kayak gitu!" Potong Rey cepat. Sedangkan Agler masih mematung, tak lagi melanjutkan potongan-potongan berikutnya. "Gue mau denger yang pasti. Separah apa?"
Galih meneguk salivanya sendiri setelah susah payah menelan gumpalan asing di tenggorokan. Separah apa? Dia bahkan tidak tahu apakah masih ada hari esok untuknya atau tidak.
"Gak usah dijawab! Asu! Kenapa lo nanya kayak gitu?!" Protes Agler tidak terima. Tapi matanya tidak bisa berbohong tentang apa-apa yang dia rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionKata orang, Alinea punya segalanya. Dia cantik, pandai bermain musik, juga dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Mulanya mungkin begitu. Hingga Alin terbangun dari mimpi buruknya yang panjang. Dan dia kehilangan semuanya. °°° Tidak perlu panjan...