9. Pisau, Serangan, Berhadapan

34 15 9
                                    

Teriakan Jaydon jadi semacam 'pembuka' untuk iringan teriakan-teriakan lain yang lebih nyaring, suara-suara tinggi bersahutan dari mana-mana di luar pondok batu Jocelyn. Gadis itu mendekati jendela dan mengintip, terbelalak saat melihat belasan--mungkin bahkan puluhan--ekor serigala berlarian di jalanan desa seperti sekumpulan anjing mengejar-ngejar manusia.

Para warga yang terkejut, tidak terlatih dan kalang kabut, tidak bisa mengarahkan senjata mereka dengan benar, gagal melukai seekor serigala yang kini sudah berada di atas tubuh atau menggigit kaki dan lengan. Seorang prajurit tampak kesulitan dikelilingi tiga sampai empat ekor bintang berkaki empat tersebut, sementara makhluk-makhluk lain mulai menyerbu masuk ke dalam rumah-rumah melalui kaca jendela atau pintu yang dipaksa terbuka.

Jocelyn bisa merasakan napasnya memburu, dia berusaha berpikir cepat dan langsung mengunci pintu depan. Memindahkan perabotan yang bisa digeser ke belakang pintu reyot tersebut. Gadis itu kemudian berlari ke arah dapur dan menggenggam pisau di atas talenan, lantas memasukkannya ke dalam saku. Kini misinya adalah menemukan adik laki-lakinya. Terburu-buru Jocelyn keluar dari pintu belakang, jatuh berkali-kali saat menuruni tangga batu yang licin dan membeku. Bunyi teriakan terus terdengar, kali ini disertai suara lolongan serigala, dan lesatan anak panah dari busur.

Jocelyn membungkuk, berusaha menghindari jalanan utama yang dipenuhi cahaya lentera dan obor, mengendap-endap di balik bayang-bayang rumah, gudang, dan lubuk. Menghindari serigala-serigala yang entah bagaimana terlihat makin banyak saja. Tangan Jocelyn menyentuh pisau dingin dan sakunya, dia menelan ludah sembari berdoa bahwa tidak seekor pun menyadari keberadaannya. Jocelyn berhenti berlari saat jarak antara rumah tempatnya berada sekarang dengan rumah lain sejauh dua puluh langkah, sementara jalanan yang membelah kedua rumah tengah diisi oleh tiga ekor serigala yang sedang lahap memakan sesuatu yang Jocelyn harap hanyalah ternak. Bukan manusia. Namun, makin berusaha tidak dipikirkan hanya membuat bayang-bayang bagian dalam tubuh terburai menghantui kepala gadis tersebut. Dia terpejam, mengatur napas, dan selagi ketiga binatang karnivora itu teralihkan sepersekian detik akibat bola salju yang dilempar Jocelyn mengenai moncong salah satunya telak, gadis itu sudah berlari menuju seberang.

Matanya yang tidak terlatih dalam gelap, berusaha sebaik mungkin mencari-cari siluet tubuh sekurus boneka jerami milik adiknya.

Jaydon berjaga hanya satu gang jaraknya dari pondok, itu menjelaskan bagaimana teriakannya bisa terdengar. Dia tidak mungkin berlari ke arah Barat yang merupakan arah gerbang masuk Desa Hustle sekaligus jalur datang para serigala, pasti dia berlari ke arah sebaliknya.

Sambil terus menduga-duga ke mana larinya remaja tersebut, kedua tungkai kurus Jocelyn yang mulai melemah membawa tubuhnya melewati pekarangan-pekarangan belakang rumah, tak jarang dia jatuh berkali-kali akibat tidak melihat batang kayu maupun tumpukan salju menghalangi jalannya.

Harapan Jocelyn sependek udara yang bisa gadis itu ambil dalam satu tarikan napas, jemari tangannya sudah kaku akibat dingin udara bercampur salju. Giginya bergemeletuk dan tubuh yang tidak dibalut apa pun selain gaun usang menggigil tak karuan. Jocelyn meyakinkan diri untuk bersembunyi dan menjaga nyawanya tetap ada sampai esok pagi, sambil berharap Jaydon cukup kuat bersembunyi dan berkejar-kejaran dengan seekor serigala. Berbeda dengannya yang hanya dibekali satu pisau, Jaydon punya pedang dan pakaian hangatnya pun masih baru. Jangan lupakan kemampuan lari sekencang rusa.

Jocelyn mengangguk, adiknya pasti baik-baik saja. Dia berusaha menghibur diri dan menelan bulat-bulat rasa bersalahnya. Sambil terseok-seok mendekati gang dengan sedikit sekali penerang--banyak gang sengaja dibuat gelap sebagai tempat sembunyi dan penyerangan tiba-tiba yang dimaksudkan untuk si werewolf--gadis itu baru menyadari sejumlah luka di kaki dan tangannya. Dia berjalan pincang, menyandarkan bahu kiri ke dinding batu bata. Perlu waktu nyaris genap satu menit bagi Jocelyn untuk menyadari bukan hanya dia yang berada dalam gang gelap tersebut.

Geraman rendah terdengar lirih, suaranya menggema di gang gelap tersebut, menyebar rasa teror dan menimbulkan rasa takut. Jocelyn menahan napas, bermaksud kabur dari makhluk besar yang kini tengah membelakanginya tersebut. Namun, tubuh sang gadis bergeming saat menyadari bahwa hewan itu tengah menyudutkan seseorang.

Jaydon.

Jocelyn bahkan tidak tahu sejak kapan dia sudah berada di depan adiknya sambil mengacungkan pisau dapur. Makhluk di depannya bertubuh setinggi kuda, tetapi lebih besar dari beruang. Moncongnya saja sepanjang lengan orang dewasa, dan di bawah pantulan cahaya bulan merah, taringnya yang panjang tampak mengkilap.

Jika Jocelyn sendirian, dia tidak akan melawan dan pasrah saja menerima kematian, membiarkan cakar-cakar besar itu merobek tubuhnya jadi dua. Namun, dia tidak punya ruang untuk rasa ngeri di depan adiknya yang kini tengah memegangi kedua bahunya sambil bergetar. Jocelyn tidak mau menyisakan sedikit pun tempat untuk ketakutan, saat bukan hanya nyawanya yang berada di ujung tanduk.

Jocelyn tetap berdiri tegap sekalipun suara jantung mereka berisik di telinga, dan makhluk di depan kedua bersaudara itu membuka mulutnya yang penuh gigi taring. Serigala itu menggeram. Jocelyn menelan ludah, matanya menangkap pedang milik Jaydon berada tepat di bawah perut serigala raksasa tersebut.

“Pergi,” bentak Jocelyn. Bahkan jika ada celah sedikit saja untuk meraih pedang tersebut, dia bisa menusuk makhluk busuk ini dan memberi Jaydon ruang untuk melarikan diri. “Pergi, tinggalkan kami!” Dengan tangan gemetar Jocelyn nyaris tidak bisa memegangi pisaunya. Serigala di depan mereka meraung, tumpukan batu bata di punggung mereka bergetar.

“J-Jo.” Suara Jaydon bergetar, dia mengguncang bahu kakaknya pelan. “Jo-Jocelyn, hewan itu ... dia bicara pada kita.”

Jocelyn memutar kepalanya cepat. Mulutnya mengucap, “SEJAK KAPAN KAU BISA BAHASA SERIGALA?” Tanpa suara, sementara Jaydon menggeleng kuat-kuat. Makhluk di depan mereka menggeram tidak sabar, berat dan ganas.

“Di-dia ingin kita pergi bersamanya.”

“Apa? Jangan bodoh! Mustahil!” Jocelyn menoleh, berucap di depan wajah sang serigala. Seolah sedang mengomeli Seamus yang tidak merapikan biliknya. Jaydon ketar-ketir di balik tubuh sang gadis.

Binatang itu menyalak seperti tawa getir. “Pemuda itu harus ikut denganku.” Jaydon berbisik, menerjemahkan ucapan makhluk tersebut. Suaranya seperti tercekik.

“Aku.” Jocelyn mengumpat dalam hati, masih berusaha menemukan celah untuk merebut pedang ramping di bawah tubuh besar sang serigala. “Bawa aku.” Dia menatap mata serigala tersebut, berwarna cokelat berbintik kelabu. Bukan mata binatang, warna dan bentuknya menunjukkan itu.

Jaydon menggumamkan nama kakaknya, memperingatkan. “Kau membunuh kakakku, tidak akan kubiarkan kau membunuh saudaraku yang lain.” Pisau Jocelyn masih teracung ke depan, walau dia yakin gerakan hewan ini pasti lebih gesit dalam hal menebas kepala seseorang.

Bintang buas itu menciumi wajah Jocelyn, gadis itu tidak berkedip. Lebih baik mati dengan dagu tersangka daripada seperti anjing pengecut. “Bukan kau yang kubutuhkan.” Dalam sekejap, Jocelyn menancapkan pisaunya ke mata hewan itu--meleset--senjatanya hanya sedikit melukai bagian moncong serigala besar tersebut.

Jaydon sudah berlari dari belakang tubuh Jocelyn, sementara gadis itu merayap ke atas salju untuk meraih pedang. Namun, kaki depan besar makhluk itu menginjak badannya dan kuku besarnya melukai punggung sang gadis. Serigala itu menggeram, penuh kegusaran dan kemarahan.

Bedebah.”

Into the Red WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang