22 - Believe Me

118 21 46
                                    

Under 12 Star | 22 - Believe Me

Jangan lupa vote dan komen, happy reading 😘

•°•°•°•°•

Hari berganti minggu, berganti bulan, dan lalu berganti tahun. Waktu yang menggerus masa, nyatanya ikut menggerus senyum tulus yang selalu terukir indah dibibir tipis Kenziel. Mempunyai proporsi tubuh yang jauh lebih jangkung ketimbang remaja seusianya, membuat Kenziel tampak menonjol dari yang lain. Namun, tinggi seratus delapan puluh sentimeter tersebut berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kelewat kurus, nyaris terlihat seperti kekurangan gizi.

Lalu lalang pejalan kaki yang melewati Manhattan terasa asing bagi remaja yang memanggul ransel pada bahu kirinya. Puluhan Billboard New York Times Square pun tak memberi kesan menakjubkan hingga ekspresi datar itu tak kunjung luntur.

Kenziel membuka dan menutup telapak tangan kanannya hingga embusan napas lega terlontar. "Thanks, God. Kukira permanen dan aku selamanya menggunakan tangan kiri."

Pandangan Kenziel mengarah pada bangunan pencakar langit. Lagi, tak ada senyum kekaguman yang terbit. Bahkan setiap toko yang Kenziel lihat dari kaca transparan, tak menarik minatnya. Ia lewati begitu saja. Tubuhnya tampak pasrah pada langkah kaki yang menuntun tanpa arah. Entah apa penyebabnya, tak sesekali ia menarik napas panjang.

Kenziel berhenti di persimpangan jalan. Lampu pejalan kaki yang menampakkan warna merah membuat ia lagi-lagi mengembuskan napas panjang.

Kedua mata Kenziel tanpa sadar menutup. Pikiran dan hati yang gusar, membuat ia berjongkok. Ia menutup wajahnya tanpa peduli perubahan warna pada lampu. Tak ada satu orang pun peduli pada Kenziel yang tenggelam dalam kalutnya diri.

Baru diembusan napas yang dalam, Kenziel kembali bangkit. Lampu kembali menampakkan warna merah. Pandangan yang kini tertuju pada arah berlawanan, seketika membuat bola mata Kenziel membulat. Ia menoleh sekitar, tak banyak kendaraan roda empat yang melintas, tetapi jantungnya berpacu. Terlebih saat wanita dengan rambut sebahu yang menutupi seluruh wajahnya, berjalan gontai menyebrangi zebra cross.

Dengan sesekali menoleh ke kanan kiri, Kenziel ikut menembus jalanan melawan kendaraan. Ia menarik lengan kurus wanita itu dan membawanya ke tepi, hingga spontan dekapan khawatir ia salurkan.

Kenziel membiarkan tubuhnya membeku sejenak. Ia perlu menetralisir degup jantung dan napas yang tak beraturan. Saat semua normal, ia melepaskan wanita setinggi dagunya dari dekapan.

Kenziel sibak rambut hitam sedikit memutih yang menutupi wajah wanita berusia empat puluh lima tahunan itu sebelum berkata, "Mom, are you okay?"

Sayangnya tatapan datar Keinara berubah tajam. Wanita itu juga menepis tangan Kenziel, lantas meninggalkan putranya begitu saja.

Belum tiga langkah, tetapi hak stiletto setinggi lima senti yang dikenakan Keinara patah saat Kenziel menoleh. Kenziel langsung menghampiri sang ibu yang berjalan pincang meninggalkan satu hak. Lagi lagi tepisan Kenziel dapatkan. Namun ia tetap menuntun Keinara pada bangku terdekat usai memungut hak stiletto yang ibunya tinggalkan.

Kenziel mendongak usai melepaskan stiletto tanpa hak berbahan kulit sedikit mengelupas dari kaki Keinara. "Your heels broken, Mom."

Remaja berambut legam itu mencoba memasangkan hak yang patah, tetapi gagal. Lantas melepas sepatunya sendiri. "Pakai saja sepatu Ken, nanti Ken akan memperbaikinya di rumah," tutur Kenziel diiringi senyum lembut.

Masih dengan wajah tanpa ekspresi, Keinara menatap bergantian Kenziel dan sepatu yang berlubang di bagian ujungnya. Namun, yang dilakukan Keinara justru melemparkan sepatu usang tersebut jauh ke jalanan. Wanita itu mendengkus, lalu berjalan dengan satu alas, meninggalkan Kenziel yang termenung menatapnya.

Under 12 StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang