Siapa yang tidak terpukau ketika melihat Jaemin?
Mustahil kamu tidak berhenti dari kegiatanmu dan menoleh padanya barang sejenak. Karena keberadaan Jaemin tampak seperti peri yang tidak nyata. Ia bersinar bahkan ketika bayangan di balik punggungnya begitu kelam.
Begitu juga Jeno. Ia berhenti menendang bola di kakinya ketika Jaemin melintasi jalan setapak di tepi lapangan sepak bola.
"Heh! Lee Jeno! Cepat tendang bolanya!" seru Hyunjin dari sisi lain lapangan.
Seketika kesadaran Jeno kembali. Ia mengambil dua langkah ke belakang, mengambil ancang-ancang untuk menendang bola.
Bola sepak itu melambung begitu tinggi, diperebutkan kedua tim yang dibedakan oleh warna baju mereka, hitam dan putih.
.
.
.Jaemin tersentak di meja jaga ruang UKS. Ia mendongak dari novel fiksi yang sedang ia baca, bersitatap dengan sepasang mata sipit Jeno yang berdiri di ambang pintu.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Jaemin setelah melipat ujung novelnya sebagai penanda. Ia pergi mengitari meja, memandang Jeno yang berdiri kaku di tempatnya. Matanya terbelalak saat melihat cucuran darah dari lutut Jeno.
"Duduk saja. Aku ambil obatnya dulu," kata Jaemin menunjuk salah satu kasur kosong di ruangan itu.
Kata orang, ruang UKS itu tempat paling horror di sekolah. Selalu ada kejadian aneh setiap tahunnya yang kemudian diceritakan turun-temurun ke angkatan berikutnya. Namun buat Jaemin, ruang UKS adalah ruangan paling nyaman di mana ia bisa membaca novelnya dengan tenang. Makanya, ia tidak keberatan saat Arin menghampirinya, untuk bertukar jadwal jaga.
Ia pergi ke lemari kaca di belakang meja jaga, mengeluarkan sebotol iodin, kapas, dan plester, lalu pergi ke laci lain untuk mengambil cairan alkohol dan nampan besi.
Jaemin menarik kursi untuk duduk berhadapan dengan luka di lutut Jeno.
"Kalau sakit, bilang, ya?" kata Jaemin sambil menuangkan alkohol ke kapas.
Jeno mendesis ketika sengatan alkohol menyerang sarafnya.
Jaemin berhenti menyentuh lukanya untuk mendongak pada Jeno yang menunduk menatapnya.
"Itu refleks. Lanjutkan saja," ucap Jeno sambil kembali menahan perih.
Jaemin dengan cekatan menutup luka itu dengan kapas lain yang sudah ditetesi iodin lalu menempelkan plester agar kapas itu tetap pada tempatnya.
"Habis latihan sepak bola, Jeno?" tanya Jaemin basa-basi sambil merapikan kembali gulungan kapas yang tercecer.
"Kau kenal aku?" tanya Jeno tanpa sadar.
Jaemin malah mendengus geli. Ia mengerling pada Jeno. "Tentu. Kita sekelas, dan kamu juara kelas. Siapa yang tidak kenal kamu?" tanya Jaemin balik lalu pergi ke lemari untuk mengembalikan perlengkapannya ke tempat semula.
Untuk anak yang nilainya tidak seberapa, Jaemin sudah kenyang mendengar guru-guru selalu memuji prestasi Jeno.
"Kamu harus seperti Jeno!"
"Jeno saja bisa, kenapa kamu tidak?"
Seandainya jadi Jeno semudah yang guru-guru katakan, Jaemin juga mau. Tapi seberapa keras pun usaha Jaemin belajar hingga larut malam. Membaca dengan teliti setiap menjelang ulangan. Tetap saja, tangannya tidak berhenti gemetar ketika memegang bolpoin dan dihadapkan dengan lembar ujian.
Keringat dingin langsung bercucuran. Perutnya melilit. Seluruh materi yang sudah ia pelajari buyar.
"Lagi-lagi Na Jaemin..." keluh Guru Kim, wali kelasnya, ketika mendapat laporan dari guru mata pelajaran lain soal nilai Jaemin.
Jaemin hanya mampu menunduk dengan kesepuluh jemarinya yang saling bertaut di balik punggung.
"Maaf, Pak..."
"Tidak usah minta maaf padaku. Kau harus minta maaf pada dirimu sendiri," ucap Guru Kim. Ia melepas kacamatanya lalu memijat dahi. "Kalau terus seperti ini, kau terancam tidak naik kelas."
Jaemin segera menjatuhkan dirinya di atas lutut. "Saya mohon, Pak. Tolong luluskan saya," pinta Jaemin semakin mengigil dengan air mata yang mendesak keluar.
Guru Kim, tetangga seberang rumahnya, menatap Jaemin prihatin.
.
.
.Jaemin pulang dengan mata bengkak habis menangis. Ia menunduk, menyembunyikan mata sembabnya dari sang ibu yang duduk di sofa usang ruang tamu.
"Kau baru pulang?" Suara ibunya menghentikan langkah Jaemin menuju kamar.
"Tadi aku ada kelas tambahan."
Ibu mendengus. "Apa kelas tambahan bisa menambah uang? Daripada buang waktu di sekolah tidak berguna itu, lebih baik kau ikut denganku menghasilkan uang."
Jaemin menggenggam kenop pintunya erat. Tidak menjawab, tidak juga bergerak. Tubuhnya mendadak kaku.
Ia melirik dari cela surai rambut. Ibunya mengembuskan asap rokok ke udara, sedangkan tangan kanannya sibuk menekan layar ponsel.
"Aku pergi malam ini. Mungkin sampai dua tau tiga hari ke depan. Uangmu masih cukup, kan?"
"Masih, Ibu."
Perempuan itu mengangguk lalu kembali menyedot puntung rokoknya dan melepaskan asapnya ke udara.
Jaemin segera masuk ke kamar, dan menguncinya dua kali. Ia membiarkan kunci menggantung pada lubang kunci agar tidak ada orang lain yang bisa membuka pintunya.
Ia berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar.
Kadang sepintas pikiran itu muncul.
Bagaimana rasanya hidup normal? Tidak perlu jadi kaya. Hidup saja sederhana dengan seorang ayah dan seorang ibu yang punya pekerjaan biasa saja. Yang penting cukup makan, hidup layak. Yang tidak harus menanggung malu karena pekerjaan ibu untuk memenuhi kebutuhannya.
Rasanya bagaimana, ya?
.
.
.Bersambung...
Kalo cerita ini stuck, nanti aku unpublish chapternya selain chapter 1 wkwkk...
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge
Fanfiction[END] Bagaimanapun cara Jaemin mengelak, nyatanya ia adalah perempuan bayaran. Perempuan yang datang karena uang, yang lebih memilih pria kaya dibanding cinta. . . . warning : jaemin, jeno, haechan, donghae, gs, harsh word, age gap Start : April 12...