Bersemi

968 114 0
                                    

Cinta tumbuh seperti bunga ilalang. Benihnya terbawa angin, jatuh di tanah, lalu tumbuh begitu saja tanpa ada yang merawat.

Begitu juga perasaan Jeno.

Ia tumbuh begitu saja tanpa bisa Jeno cegah, seperti tanaman rambat yang membelenggu hati Jeno layaknya tawanan.

Tapi kadang Jeno berharap bahwa cintanya akan tumbuh seperti bunga sakura yang mekar di awal musim semi. Yang dinanti-nantikan, dan kelopaknya berusaha ditangkap semua orang. Dalam kasus Jeno, ditangkap oleh Na Jaemin.

"Aku suka bunga anggrek," kata Jaemin.

"Kenapa? Bunganya sulit untuk dirawat."

Ibu Jeno punya koleksi anggrek di observatorium belakang rumah. Koleksinya ada dari berbagai negara dan perlu perawatan khusus dan teliti untuk menjaga bunganya agar terus mekar dan tidak mati. Tapi ibunya begitu telaten. Ia mengingat karakteristik setiap bunga seperti mengingat kesukaan anaknya sendiri. Ia mempekerjakan ahli-ahli botani untuk membantunya merawat bunga itu.

"Karena sulit dirawat, makanya kamu akan lebih hati-hati ketika memperlakukannya," kata Jaemin.

Senyum Jaemin membawa getaran magis di hati Jeno tanpa perempuan itu sadari.

Bagi Jaemin, menyenangkan memiliki seorang teman lagi.

.
.
.

"Jujur padaku! Kau berkencan dengan Jaemin, ya?" tanya Haechan saat menerobos masuk ke kamar Jeno.

"Tidak ada yang berkencan," elak Jeno. Ia pergi mengambil dompet dan ponsel di meja belajar lalu dilesakkan ke saku celana.

Mata Haechan memicing.

"Semua orang membicarakan kamu! Mereka bilang, mereka sering melihat siluet kalian berdua di jendela ruang musik!"

Jeno memutar mata. Siapapun yang melihat mereka benar-benar punya mata yang sangat bagus

Ia berbalik, menatap Haechan yang masih mengikutinya seperti anak bebek. "Daripada mencurigai aku, lebih baik kau mencurigai Mark. Karena kudengar dia punya pacar orang China sekarang."

"HAH?! Gosip dari mana itu?!" pekik Haechan tidak siap patah hati. "Kau bohong, ya?"

"Tidak. Kau tanyakan saja padanya. Syukur-syukur dia akan mengenalkanmu pada pacarnya," seloroh Jeno sambil mengaitkan bagian belakang sepatunya ke tumit.

"Kau bohong, kan?" rengek Haechan. Matanya sudah berkaca-kaca, nyaris menangis saat itu juga.

"Tanya saja sendiri," jawab Jeno dingin. "Sudah, ya. Aku mau pergi."

Jeno pergi ke garasi rumahnya setelah mengambil kunci mobil Jeep di ruang kerja ayah. Ia mengendarai Jeep hitam itu menuju pusat kota, tempatnya berjanji untuk menemui Jaemin.

Akhirnya, setelah semusim selalu bersembunyi di balik ruang musik, Jeno berhasil mengajak Jaemin keluar.

Ia memarkirkan mobilnya di bahu jalan, pararel dengan mobil-mobil lain. Jaemin bilang, dia ada di sebuah toko hadiah di ujung jalan ini.

Toko itu didominasi oleh warna merah muda. Boneka dan pernak-pernik perempuan tersebar di seluruh penjuru. Jeno mendekati Jaemin yang berdiri memegangi sebuah boneka beruang warna putih yang memeluk sebuah hati warna merah.

"Sudah lama?" tanya Jeno.

Jaemin menoleh dengan senyumnya. "Tidak juga. Aku juga baru sampai," katanya lalu meletakkan boneka itu kembali di antara boneka-boneka lain.

Ia berkeliling seisi toko dengan diikuti Jeno. Kadang ia akan mengambil sesuatu, melihat tag harganya, lalu meletakkan kembali pada tempatnya dan pergi lagi berkeliling.

Jeno mengalihkan matanya ke arah lain ketika Jaemin menyentuh sepotong baju tidur yang dipakai sebuah manekin. Warnanya merah muda dengan bahan yang sangat tipis dan menerawang. Baju itu memiliki potogan dada rendah yang berhias lace dengan tali spageti yang diikat pada bagian atasnya.

"Eh, maaf, maaf, aku lupa kalau ada kamu," kata Jaemin buru-buru melepas tangannya dari baju tidur itu. Pipinya memerah padam lalu buru-buru pergi ke bagian lain. Diam-diam Jeno kembali bisa bernapas dengan lega.

Jaemin merutuki dirinya. Kenapa dia bisa sampai kelepasan tadi. Niatnya melihat itu karena ia pikir baju tidur itu akan cantik sekali untuk Jungwoo. Dan lagi, Jungwoo bisa memakai itu untuk kerja.

Jeno berdehem, memecah canggung di antara mereka.

"Kau mau membeli untuk siapa?"

"Ah... um... ada, seorang kenalanku," jawab Jaemin masih berusaha menekan malu.

Ia pergi ke bagian aksesoris, melihat sebuah anting kristal yang kelihatan mahal, terlepas dari bentuknya yang sederhana. Kalau ibunya yang dibelikan, pasti akan langsung dibuang. "Tidak mencolok," katanya. Karena ibunya suka dengan perhiasan yang memikiki batu-batu besar dengan warna mencolok seperti batu merah delima.

Mata Jeno melirik sebuah jepitan kecil dengan manik-manik mutiara yang ditempel. Ia menoleh pada Jaemin, memandang paras ayu perempuan itu.

"Aku mau ke kasir," kata Jaemin lalu membawa anting pilihannya.

.
.
.

Jaemin pulang ketika hari menjelang malam.

Seperti biasa, ia akan melihat ibunya berdandan di depan cermin, bersiap untuk bekerja.

"Dari mana?" tanya Ibu sambil mengaplikasikan maskara pada bulu mata lentiknya.

"Aku pergi ke pertokoan di pusat kota, membeli hadiah ulang tahun untuk Jungwoo," aku Jaemin sambil melepaskan mantelnya. Ia mengibas mantel itu sebelum menggantungkannya di lemari dekat mesin cuci.

"Bukan pergi kencan?"

Tubuh Jaemin menegang. Ia diam, mengantisipasi segala yang akan ibunya lakukan.

"Miihi melihatmu pergi dengan anak laki-laki yang memakai Jeep. Anak orang kaya, ya?"

Jaemin bahkan tidak peduli dengan merek mobil yang Jeno kendarai. Ia hanya tahu kalau mobil itu besar dan membuatnya kesulitan untuk naik.

"Kau harus memanfaatkan anak-anak seperti itu. Kuras saja uangnya."

Uang lagi. Uang lagi.

Tangan Jaemin mengepal pada fabrik mantelnya.

"Tapi jangan sampai ditiduri. Kau tahu kan, hargamu mahal," kata Ibu melukai hati Jaemin.

"Iya," jawab Jaemin hanya supaya Ibu tidak memakinya.

"Jadi, siapa anak itu?" Ibu menoleh dari cermin, menatap langsung pada sosok anak perempuannya yang kian hari kian cantik.

.
.
.

Bersambung...

Sejujurnya, this story concept is so mature. No sex scene. Tapi a lot of harsh word. Tolong diambil as a whole context of the story ya teman-teman :")

Cerita ini gak akan sepanjang With You kok hehe... (i hope so)

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang