Uang

874 109 2
                                    

Minggu depan, Jaemin genap berumur delapan belas tahun.

Penawaran untuk keperawanannya sudah berakhir di angka 350 juta yang dengan senang hati dibayar oleh seorang pengusaha di kota. Entah darimana Ibu mendapat kenalan orang seperti itu. Ibu melakukan pekerjaannya dengan sangat baik dalam menjajakkan anaknya sendiri.

Ia memandangi pantulan dirinya di cermin. Dia jadi bertanya-tanya, apa kecantikan yang ia miliki ini sebuah anugerah ataukah kutukan. Karena semua orang hanya melihat wajahnya tanpa benar-benar ingin mengetahui tentang dia.

Ah... lagi pula, apa yang orang-orang perlu ketahui tentang dirinya?

Tidak ada hal bagus yang Jaemin miliki.

Tinggal di wilayah kumuh dengan Ibu seorang tuna susila.

Tidak ada yang bisa dibanggakan sama sekali.

Ia hanya punya wajah untuk dibanggakan.

.
.
.

Guru Gong mendelik, melihat hasil ujian Jaemin. Tidak ada yang bagus. Nilainya memang tidak pernah bagus.

"Na Jae Min, mau jadi apa kau dengan nilai seperti ini?" tanya Guru Gong.

Mau jadi apa? Jaemin bahkan tidak pernah memikirkan hal itu.

Pilihan pekerjaan apa yang bisa dia pilih ketika nilainya bahkan tidak bisa menopang kehidupannya?

Jadi tuna susila juga seperti ibunya?

"Jadi istri orang kaya," jawab Jaemin mengundang tawa mengejek dari seisi kelas.

Bagi mereka yang hidup dalam keluarga berkecukupan, mana mengerti sulitnya cari uang? Mana mengerti rasanya memelas belas kasihan orang.

Bagi mereka, jadi istri orang kaya itu jawaban orang bodoh. Orang mata duitan.

Tapi hidup memang perlu uang, kan?

Jaemin memiliki wajah yang pria-pria beruang itu inginkan, dan mereka memiliki uang yang Jaemin butuhkan.

Bukankah itu pertukaran yang impas?

Kenapa harus ditertawakan?

Ini tidak ada bedanya dengan membeli air mineral di toko kelontong. Kamu punya uang dan membutuhkan air mineral, sedangkan toko itu punya air mineral dan membutuhkan uang.

Apa salah Jaemin sampai harus dipermalukan seperti ini?

"Jadi, kalau aku punya cukup uang, kau mau menikah denganku?" celetuk salah seorang anak di kelas mengundang riuh anak-anak lain.

"Heh! Kim Hansol! Jaga mulutmu!" hardik Guru Gong.

Perempuan tua dengan kacamata plus yang menggantung di ujung hidung itu menghela napas. Ia memandangi wajah cantik siswinya. Entah dengan cara apa lagi ia dan guru-guru lain harus menolong Jaemin.

"Lee Jeno!" panggil Guru Gong.

"Ya, Bu?"

"Kau jadi mentor untuk Jaemin. Ajari dia setiap hari sepulang sekolah!" perintah Guru Gong mutlak.

.
.
.

Jaemin menahan napasnya ketika mendengar bunyi pintu perpustakaan digeser. Ia melihat Jeno meletakkan bukunya di meja, bersebelahan dengan Jaemin.

"Bagian mana yang kau tidak pahami?" tanya Jeno sambil membuka buku cetak.

Dingin. Rasanya dingin sekali. Padahal ini di tengah musim panas.

"Coba kerjakan yang ini." Jeno menunjuk satu paket soal yang mudah.

Jaemin membuka buku tulisnya, mulai mengerjakan dengan teliti. Tangannya berhitung sebentar lalu menulis jawaban.

Perlu lima belas menit untuk mengerjakan satu soal dengan tiga point anakan itu.

Jeno memeriksanya setelah Jaemin selesai.

Benar semua.

"Coba yang ini." Jeno menunjuk soal lain yang lebih sulit.

Jaemin kembali mengerjakannya. Kali ini sedikit lebih lama. Tapi lagi-lagi, Jeno dibuat mengerutkan kening. Jaemin mengerjalannya dengan baik. Cara yang anak itu gunakan pun rapi dan tersusun.

"Kau lagi bercanda, ya?"

"Ya?" Jaemin tersentak dari lamunannya.

"Kalau kau hanya menjelekkan nilaimu untuk mendapat simpati, itu tidak berlaku untukku." Jeno menutup buku cetaknya kasar. "Kau belajar saja dengan yang lain. Aku tidak mau jadi mentormu."

Jeno membawa buku cetak dan bolpennya meninggalkan Jaemin seorang diri di meja ruang perpustakaan.

Ia memandang sendu pada pintu yang ditutup Jeno.

.
.
.

"Kau tidak jadi mentornya Jaemin lagi? Bagaimana bisa?" tanya Haechan di tengan makan siang mereka di salah satu restoran hotel berbintang.

Haechan mendapat voucher beli 1 gratis 1 untuk makan buffet di restoran itu. Awalnya ia ingin mengajak Mark. Tapi seperti yang Jeno bilang waktu itu, Mark sudah punya pacar. Jadi Haechan tidak memiliki pilihan lain selain mengajak sepupunya itu bersama dia sebelum vouchernya hangus.

"Aku bilang ke Guru Gong," jawab Jeno sambil melahap daging asap di piringnya. "Dia bisa mengerjakannya. Buat apa aku mengajarinya lagi."

"Jadi, dia ternyata pintar?"

"Sepertinya."

Haechan mencebik. "Sepertinya?" ulangnya lagi.

"Aku juga tidak mengerti kenapa nilainya jelek. Tapi semua soal di buku cetak bisa dia kerjakan dengan baik. Jadi jangan tanya aku lagi kenapa dia bisa begitu," jawab Jeno kesal.

Matanya memendar ke sekeliling restoran cantik itu.

Dahinya mengerut melihat Jaemin berjalan bersama seorang pria dewasa yang bahkan mungkin lebih tua dari ayahnya sendiri. Gadis cantik itu kelihatan semakin cantik dengan pulasan dandanan tipis. Rambut panjangnya yang biasa dikepang, kini tergerai dengan bentuk melingkar di ujungnya. Ia kelihatan seperti gadis-gadis modis ibu kota.

Melihat bagaimana lelaki itu merangkul pinggang Jaemin tanpa ada penolakan dan mereka yang menghilang di lift menuju kamar membuat Jeno sadar akan sesuatu.

Memang hanya perlu uang untuk mendapatkan Na Jaemin, bukan cinta.

.
.
.

Bersambung...

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang