Harga Diri

812 94 4
                                    

Perlukah sebuah harga diri untuk seorang wanita seperti Jaemin?

"Maksudmu tarif?" tanya Jungwoo balik. Perempuan itu bersandar di tembok rumah sambil mencemili biji bunga matahari dalam kemasan.

Jungwoo menunduk. Tangannya dengan cepat mengupas biji yang barusan ia gigit. "Aku ingin bilang, kita juga punya harga diri. Tapi sering kali orang menganggap remeh orang-orang seperti kita dan merasa bahwa harga diri kita bisa di bayar."

"Yah... pikiran mereka tidak salah. Kalau tubuh saja kita jual untuk bertahan hidup, bukan tidak mungkin kitapun menjual harga diri kita demi uang," lanjutnya.

Jaemin menunduk, meraih kain basah dari dalam embernya untuk disangkutkan pada tali jemuran yang membentang di depan rumah. Ia masih sama seperti Jaemin kemarin yang mengerjakan pekerjaan rumahnya di waktu kosong.

Sabtu siang ini, ia tidak memiliki pekerjaan.

Donghae tidak menghubunginya untuk kencan. Jaemin juga tidak ingin menghubunginya lebih dulu. Mungkin pria itu memiliki pekerjaan yang harus di selesaikan.

Ada setitik rasa takut ketika mengingat ajakan hidup bersama yang secara tidak langsung terdengar seperti Jaemin tolak itu. Bagaimana kalau Tuan Lee tersinggung? Apa ini artinya Jaemin harus mengembalikan seluruh kenyamanan yang pria itu berikan padanya? Apa Jaemin siap melepas semua kenyamanan yang terlanjur ia nikmati?

"Kalau ada pria yang ingin menikahimu, apa kau akan menikah lagi?" tanya Jaemin pada Jungwoo.

"Tergantung. Kalau dia kaya, aku akan menikah lagi. Jadi istri simpanan juga tidak masalah." Jungwoo mengedik bahu, acuh tak acuh.

Hah... semakin jadi saja kekhawatiran Jaemin.

"Kenapa?" tanya Jungwoo menyadari air wajah Jaemin. "Apa Tuan Lee mengajakmu menikah?"

Jaemin menghela napas. "Dia mengajakku untuk hidup dengan dia. Tapi aku tidak yakin, hidup bersama maksudnya menikah atau sekedar kumpul kebo."

"Wah... aku ingin bilang nasibmu bagus sekali," Jungwoo menatap Jaemin penuh kagum. "Kalau aku jadi kamu, aku kan langsung mengiyakannya tanpa pikir dua kali. Kau mengiyakannya, kan?"

Jaemin menunduk. Ia meraih gagang ember lalu pergi ke teras, duduk di sebelah Jungwoo. "Tidak kujawab."

"Dasar bodoh!" Jungwoo menepuk punggung Jaemin keras-keras. "Kau dapat kesempatan mengubah hidup malah disia-siakan. Kesempatan seperti itu tidak datang dua kali. Apalagi kau selalu bilang kalau pria ini bukan setipe pria hidung belang."

Iya, Jaemin memang bodoh. Dia selalu menyia-nyiakan kesempatan. Ia menyia-nyiakan uang yang ditawarkan Jeno. Dia juga menyia-nyiakan tawaran hidup kaya bersama Tuan Lee. Ia terlalu memikirkan harga diri dan perasaan orang lain.

Kenapa dia tidak bisa jadi egois saja, ya, seperti orang-orang?

Jungwoo menatap Jaemin kasihan. "Kau terlalu memakai hati nurani, kau tahu? Hidup ini jahat dan memaksa kita memakai otak ketimbang hati."

Jaemin menekuk lututnya di depan dada dan mengistirahatkan dagunya di sana. "Sulit ya jadi orang baik di dunia yang jahat."

"Memang."

Perempuan cantik itu mendongak, menghadap matahari musim panas yang bersinar terik di langit.

.
.
.

Tuan Lee menghubunginya lagi. Kali ini terasa lebih lain karena ia mengajak Jaemin pergi makan ke sebuah restoran mewah di salah satu hotel yang Jaemin lihat di internet punya dekorasi yang menyilaukan mata. Entah apa maksudnya Tuan Lee membawanya ke tempat ini, yang jelas Jaemin jadi panik dan kepanikannya menular pada Jungwoo.

"Astaga! Kau harus belanja!" seru Jungwoo melihat dress-dress di lemari Jaemin tampak menyedihkan. "Jangan kelihatan terlalu murahan!"

"Apa kau punya pakaian bagus?"

Jungwoo mendengus. "Yang aku punya hanya pakaian tidur dan dress mini dengan belahan dada rendah. Akan bagus kalau kau sedang merayu Tuan Lee naik ke ranjangmu!"

Jaemin tersipu. Ia langsung mengeliminasi lemari Jungwoo dari kepalanya. "Kak Baekhyun?" gumamnya tiba-tiba teringat salah satu LC cantik di tempatnya bekerja yang selalu berpakaian modis setiap hari.

"Siapa?"

"Baekhyun. Kau kenal?" tanya Jaemin balik. Tapi ia buru-buru menggeleng mengingat betapa judes perempuan itu padanya. "Tidak, lupakan saja. Sepertinya aku lebih baik pergi berbelanja selagi ada waktu."

Karena Tuan Lee mengajaknya pergi besok malam, Jaemin buru-buru pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sepotong dress baru berwarna hitam (tentu saja atas saran Jungwoo). Gaunnya membelit tubuh indah Jaemin dengan tali spageti dan kerah cowl yang cantik. Ia pun turut membeli sepasang sepatu perak mengkilap dengan heels setinggi tujuh senti untuk melengkapi penampilannya.

"Kau harus pakai kalung perak!" kata Jungwoo girang seperti sedang mendandani boneka Barbie ketika Jaemin bersiap di depan meja riasnya.

Rambut Jaemin dibuat bergelung seperti biasa. Kemarin, ia sudah memotong ujung rambutnya yang bercabang dan tidak sehat sehingga rambutnya sekarang tidak lagi sepinggang, melainkan sepunggung.

Wajahnya yang pucat dibiarkan dengan bedak dasar tipis dengan sedikit krim contour dan perona pipi warna merah muda yang samar. Alisnya yang sudah tebal dirapikan bentuknya oleh Jungwoo. Bulu mata lentiknya dibuat mengangkat seperti ekor burung merak dengan maskara. Bibirnya yang memiliki lengkung cantik itu diwarnai dengan gincu merah.

Dari belakang, Jungwoo tersenyum puas melihat hasil karya tangannya di wajah Jaemin. Sejak kecil, ia tahu Jaemin akan jadi perempuan cantik. Perempuan itu lahir sebagai orang kaya yang terjebak di tempat kumuh ini.

Jaemin tidak mengerti kenapa ia berusaha begitu keras malam ini. Padahal, ajakan Tuan Lee pun terdengar biasa saja. Tanpa berusaha keraspun, Jaemin sepertinya tahu di mana posisinya di mata Tuan Lee. Ia hanya seorang wanita penghibur.

"Hah..." Jaemin menghela napas begitu kenyataan menghantam lamunannya.

Dia sebenarnya sedang mengharapkan apa?

.
.
.

Bersambung...

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang