"Kau tidak jalan-jalan dengan Jeno?" tanya Ibu ketika melihat Jaemin mengambil cucian dari mesin cuci untuk dijemur di luar.
"Tidak," jawab Jaemin.
Tidak ada lagi teman.
Hubungan cinta memang seharusnya dihindari, seperti kata Jungwoo. Karena pada akhirnya, Jaemin kembali kehilangan temannya karena perkara cinta.
Jeno menjauhinya seperti menjauhi virus.
Tidak ada lagi senyum jahil yang diam-diam mereka lontarkan satu sama lain. Yang ada hanyalah tatapan dingin dan buang wajah, enggan melihat dirinya.
Salah ya kalau Jaemin menolak Jeno?
Jaemin membentangkan kain, mengibasnya sebentar sebelum disangkutkan pada tali dan ditahan dengan jepitan di kedua sisi. Ibunya duduk di teras sambil merokok, memperhatikan anak gadisnya.
"Kau ditawar seharga 100 juta oleh Tuan Hong," ucap Ibu. "Aku sudah terima DP nya 20 juta. Tapi kudengar Tuan Park juga menawarmu seharga 200 juta."
Jaemin diam, tidak menjawab barang satu katapun. Ia sibuk menyangkutkan kain-kain beraroma pelembut itu.
"Kau tahu, aku berniat mengugurkanmu dulu."
Tidak heran.
Untuk seorang pekerja prostitusi, anak bukanlah keberuntungan. Itu kesialan. Artinya klienmu membuang benihnya di dalam, atau kontrasepsi yang kau gunakan rusak. Ujung-ujungnya, hanya mendapat beban tambahan mulut untuk disuapi.
"Sayang, dada dan bokongmu rata. Coba kalau mereka sedikit lebih berisi, kau pasti dihargai lebih mahal lagi."
Sebenarnya, harga seorang manusia itu berapa di mata ibunya?
"Kau kuat sekali di kandunganku. Aku sudah hampir meregang nyawa, tapi kau masih hidup saja."
Ibu bertopang dagu di lengan kursi. Memandang wajah cantik Jaemin yang kelihatan begitu menawan di bawah sinar matahari. Irisnya yang berwarna karamel, jelas adalah warisan dari laki-laki itu. Begitu juga lengkung bibirnya yang menarik.
Kombinasi gen yang indah yang melahirkan malaikat. Sayang, Jaemin harus lahir di tengah pemukiman tidak sehat seperti. Ini di tengah masyarakat yang menganggap kecantikan sebagai komoditas.
Seandainya Yoona ingat siapa laki-laki itu, ia pasti akan pergi meminta pertanggungjawaban. Atau paling tidak seharusnya ia mendapatkan kompensasi yang pantas karena mengorbankan rahimnya untuk melahirkan Jaemin.
Jaemin mengangkat embernya yang sudah kosong. Ia masuk ke dalam rumah. Ia sadar, Ibu masih mengikutinya. Ia pergi ke wastafel untuk mencuci tangan.
Pelukan ibu tidak pernah terasa hangat. Rasanya aneh, menyesakkan, dan menyisakan rasa sedih di sudut hati Jaemin. Ia memandang cermin yang memantulkan wajah mereka berdua.
"Kau tahu apa yang disukai oleh pria selain wajah cantik dan tubuh seksi?" tanya Yoona tanpa benar-benar mengharap jawaban dari Jaemin. "Seorang perempuan penurut yang menyediakan telinga untuk keluh kesah mereka, dan mulut manis yang menghibur telinga mereka."
.
.
.Jaemin memang bodoh di sekolah. Nilainya pas-pasan dengan syarat kelulusan (itupun masih harus ditolong orang lain). Tapi Jaemin tidak bodoh soal kehidupan.
Ia ditempa kehidupan seperti besi yang ditempa seorang ahli senjata. Diasa hingga tajam dan hanya perlu gerakan lembut untuk melukai lawan.
Jaemin pintar dengan ilmu jalanan, bukan ilmu buku cetak.
Di jalanan, skill lebih diperlukan daripada sekedar pengetahuan. Pengetahuan yang banyak hanya akan jadi barang rongsok kalau tidak bisa digunakan.
Jaemin melihat bagaimana perempuan-perempuan di pemukimannya bertahan hidup. Tidak semua dari mereka memiliki wajah cantik atau tubuh yang mengundang birahi. Tidak. Mungkin mereka tidak akan mendapat nilai seratus kalau mau di skor dengan standar kecantikan yang media gaungkan.
Tapi satu yang pasti, mereka punya mulut yang manis. Yang tahu apa yang perlu dikatakan dan apa yang tidak perlu mereka katakan. Mereka tahu cara menyenangkan orang. Mereka tahu apa yang customer mereka butuhkan. Bukan sekedar seks, tapi juga teman berkeluh-kesah. Companion.
Maka itu, mungkin Jaemin memang tidak pintar di sekolah, tapi Ibu mendidiknya agar bisa menyenangkan banyak pihak. Untuk tahu caranya berkata-kata. Untuk tahu caranya mengunci mulut. Untuk tahu caranya menjilat.
Karena mulut lebih dari sekedar senjata yang kuat untuk bertahan hidup.
Jadi ketika desas-desus itu mendadak keluar, Jaemin memilih bungkam.
"Dia memanfaatkan wajahnya dengan sangat baik," ujar Jeno yang ditangkap telinga Jaemin.
"Maksudmu?" Haechan bertanya balik.
"Kau pikir saja, bagaimana caranya dia bisa naik kelas dengan nilai seperti itu."
Hanya perlu percikan api kecil untuk bisa meledakan sebuah rumah. Apalagi kalau api itu menyambar gas. Ledakan sudah pasti tidak dielakan.
Tahu-tahu spekulasi yang tadinya berupa bisik-bisik berubah menjadi bola salju. Mereka tanpa ragu menunjuk wajah Jaemin sambil menyebutnya dengan sebutan pelacur.
Jaemin diam, bukan berarti tidak sakit hati.
Ia menyumpal telinganya dengan earphone.
Ia tidak tahu, mana yang lebih baik. Menjadi orang bodoh, atau menjadi orang jahat.
.
.
.Bersambung...
Happy Passover!
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge
Fanfiction[END] Bagaimanapun cara Jaemin mengelak, nyatanya ia adalah perempuan bayaran. Perempuan yang datang karena uang, yang lebih memilih pria kaya dibanding cinta. . . . warning : jaemin, jeno, haechan, donghae, gs, harsh word, age gap Start : April 12...