Kencan

736 87 3
                                    

"Jadi, ayahmu akan menikah lagi?" tanya Haechan saat makan siang bersama Jeno.

Jeno mengangguk. "Iya. Dia mau mengenalkan calon istri barunya padaku hari Jumat minggu depan." Jeno menyuapkan kentang tumbuk ke mulutnya. "Kau juga diundang. Mark diundang, tapi dia tidak bisa datang."

"Keluarga Jung setuju?" Alis Haechan naik tinggi-tinggi.

"Ya. Bibi Soojung malah menyuruh Ayah agar cepat-cepat menikah," ucap Jeno.

Siang itu di hari Selasa, di tengah musim panas, hujan turun dengan lebatnya sehingga Jeno harus menghabiskan waktu makan siangnya lebih lama di restoran seberang kantor. Beruntung ada Haechan, ia jadi tidak perlu mati kutu sendirian tanpa ponsel yang tertinggal di meja kerjanya.

Perempuan itu baru pulang berbelanja. Dua bungkus paperbag tergeletak dekat kaki kursi. Jeno sempat mencuri lihat pada dua brand mewah dengan warna oranyenya yang khas dan menjadi favorit Haechan.

"Kau sendiri? Persiapan pernikahanmu dan Lucas bagaimana?"

Haechan meletakkan cangkir kopinya sambil membuang napas kesal. "Rumit. Aku ingin begini, dia ingin begitu. Belum lagi keluarganya ikut campur dan banyak mau! Harus pakai adat ini, upacara itu. Ugh! Aku bahkan tidak paham gunanya upacara minum teh! Nikah, ya nikah saja!" gerutu Haechan sambil memegangi kepalanya. "Rasanya kepalaku mau pecah kalau tidak ingat aku cinta padanya."

"Sesulit itu?"

"Sesulit itu. Terlalu banyak detail. Seberapa seringpun aku membaca buku panduan pesta pernikahan dan sudah dibantu oleh Wedding Organizer, tetap saja sulit. Setiap detail harus dipikirkan masak-masak. Kau tahu sendiri kan, aku paling tidak suka mengurus hal detail."

Jeno mengulum senyum tipis sambil meminum air mineral di gelasnya.

"Saranku, jangan menikah dengan orang luar negeri kalau kau tidak mau ribet."

"Akan kuingat saranmu."

Haechan kembali menuang sebungkus gula ke kopi hangatnya. Ia memutar sendok perak pada cairan pekat itu. "Kau sendiri? Kapan mau menikah? Masa kau keduluan dengan Paman Donghae?"

Jeno tergelak. "Benar juga. Ayahku sudah mau menikah dua kali, sedangkan aku pacaran saja tidak pernah."

"Mau aku carikan? Aku punya banyak kenalan perempuan cantik. Kau tinggal sebut saja, kriteriamu seperti apa."

Pikiran Jeno mendadak melayang, teringat pada Jaemin dan tangisannya di hari terakhir pertemuan mereka. "Yang cantik."

Haechan diam, ia pikir Jeno akan melanjutkan kalimatnya. "Hanya cantik?" Sebelah alisnya naik tinggi-tinggi lalu mendengus antara kesal dan penuh cibiran. "Wah... kau ini lelaki yang hanya mementingkan fisik, ya."

"Entahlah, kadang aku juga bingung kalau ditanya aku suka perempuan seperti apa."

"Mungkin karena kau jarang bertemu perempuan," tebak Haechan. "Coba saja ikut kencan buta. Mungkin dari sana kau akan tahu perempuan macam apa yang kau mau dan cocok untukmu."

Kencan buta tidak pernah ada dalam pikiran Jeno. Terlalu memalukan kalau orang sepertinya ikut hal remeh seperti itu.

"Jangan meremehkan hal seperti itu. Kau tidak akan pernah tahu kalau tidak mencoba. Lagipula, di jaman seperti sekarang, lumrah sekali untuk ikut kencan buta," oceh Haechan. "Kau ini, kerjaanmu hanya kerja ke kantor dan pulang ke rumah. Tidak pernah ikut organisasi, tidak pernah peduli pada orang. Bagaimana caranya bisa bertemu jodoh kalau tidak dipaksakan lewat hal-hal seperti kencan buta? Kaupikir, jodoh datang dari langit seperti di film-film? Jodoh harus dicari!"

.
.
.

Haechan mengenalkannya pada seorang perempuan bernama Julia Choi, temannya di perguruan tinggi. Kata Haechan, perempuan itu baru pulang setelah menyelesaikan pendidikan masternya dan sekarang bekerja untuk perusahaan keluarga.

Kalau dilihat dari fotonya saja, perempuan itu memang cantik. Ia memiliki kulit seputih salju dengan rambut hitam legam yang terlihat sehat. Pipinya tembam dan memiliki senyum yang khas.

"Halo," sapa Jeno ketika bertemu dengan perempuan itu di cafe yang sudah Haechan reserve untuk mereka.

Cafe itu ada di tengah kota. Kata Haechan, cafe ini terkenal karena interiornya yang cantik. Dan memang benar, cafe ini dihias dengan bunga sintetis, menjadikannya seperti taman hidup di dalam ruangan. Lampu-lampu ditata sedemikian rupa sehingga tidak terlalu menyilaukan mata namun menyorot pada bagian-bagian yang tepat. Sejak tadi, Jeno bisa melihat gadis-gadis yang mungkin masih SMA ribut sendiri dengan gerombolan mereka, saling bertukar posisi untuk berfoto di salah satu spot foto.

"Halo. Julia," sapanya sambil mengulurkan jabat tangan.

"Jeno."

Karena mereka seumuran, Jeno pikir akan mudah untuk mencari bahan obrolan. Nyatanya, ini jauh lebih sulit daripada yang ia pikirkan. Julia banyak bercerita tentang kopi, sedangkan Jeno, meskipun ia minum kopi tiap hari, tapi ia bahkan tidak pernah mencari tahu tentang asal-usul biji kopi. Selama itu bisa membuatnya terjaga seharian, maka Jeno tidak peduli darimanapun kopi itu berasal.

Julia jelas gadis yang pintar. Pengetahuannya luas. Dia banyak bicara dan punya kepercayaan diri setinggi langit. Agak tidak heran, mengingat ia adalah teman Haechan.

"Aku dan Haechan masuk tim paduan suara yang sama selama di perkuliahan," kata Julia. "Haechan punya suara yang bagus."

"Ya, sejak kecil dia selalu ingin jadi penyanyi."

"Iya, dia juga cerita padaku tentang hal itu. Katanya, ayahnya tidak mengijinkan dia jadi penyanyi, ya? Khas orang tua Asia sekali."

Satu-satunya yang Jeno rasakan sekarang hanyalah rasa tidak nyaman dan ingin segera mengakhiri pertemuan ini. Beruntung, ia tidak harus mengantar Julia pulang karena supir perempuan itu menjemputnya tepat di jam lima sore.

"Senang mengenalmu, Jeno. Sampai bertemu lagi," kata Julia sambil melambaikan tangan sebelum masuk ke sedan hitam mengkilap yang menjemputnya di depan cafe.

Jeno menghela napas.

"Bagaimana? Cantik, kan?" tanya Haechan di seberang panggilan telefon ketika Jeno sendiri pergi ke supermarket untuk membeli pakan Snowy.

"Cantik, tapi aku tidak suka dengannya," jawab Jeno.

"Kenapaaa? Dia itu salah satu gadis yang paling diincar di angkatanku. Dia juga juara ratu kampus."

"Berisik, banyak bicara, sepertimu."

"Huft... jadi kau lebih suka perempuan yang pendiam?" simpulnya. "Mungkin barena baru pertama kali bertemu, makanya rasanya masih canggung. Kau harus menilainya dengan lebih objektif setelah beberapa kali bertemu dengannya."

Jeno mengambil salah satu bungkusan dengan merek langganannya. Ia meletakkannya ke dalam trolley lalu pergi ke lemari es, hendak mengambil daging domba segar olahan untuk anjingnya

"Mungkin," jawabnya setengah setuju dengan pemikiran Haechan. Ia tidak boleh terlalu cepat menilai orang lain, kan?

Jeno pergi ke deretan suplemen tubuh, mengambil satu galon whey protein dari rak tanpa berpikir panjang.

"Kau sudah bertukar nomor ponsel dengan Julia, kan?" tanya Haechan.

"Nope. Lupa."

"Ugh... kau tidak niat!" keluhnya. "Akan aku aturkan lagi minggu depan! Kau juga harus aktif berusaha! Kalau tidak jadi pacar, paling tidak dia bisa memperluas koneksi bisnismu!"

"Ya, ya, ya..." jawab Jeno asal lalu memutus panggilan telefon.

Tidak sampai dua menit, Haechan kembali menelfonnya. "Mau apa lagi?" tanya Jeno malas.

"Aku mau tanya, kau sudah pernah bertemu dengan calon ibu tirimu, belum? Atau Paman Donghae cerita sesuatu padamu? Aku kebingungan mau memberikan hadiah apa."

Oh iya, pertemuannya hari Jumat minggu ini dan Jeno belum kepikiran akan memberikan apa.

.
.
.

Bersambung...

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang