Pasangan

786 96 2
                                    

Jeno sudah merelakan ibunya bahkan ketika perempuan itu masih berbaring di ranjang rumah sakit dengan bergulung-gulung selang dan kabel yang menopang kehidupannya. Ia tidak lagi kaget ketika layar EKG menunjukkan garis lurus dengan bunyi nyaring yang menyayat hati. Sedih, namun ia tahu kalau hari itu akan tiba.

Ia sudah siap melepas ibunya.

Tapi tidak dengan ayahnya. Ayahnya masih lelaki penuh cinta yang mengasihi ibu dengan segenap hatinya. Pria lurus yang menghabiskan begitu banyak waktu merenung di samping tubuh kaku ibu. Ia yang sekarang terlihat bagaikan pohon mati dan tinggal menunggu waktu untuk ditebang ketika ibu tidak ada.

"Mau sampai kapan Ayah seperti ini?" tanya Jeno dingin pada suatu malam ketika ia mendengar bunyi denting piano mengisi kekosongan malam.

Ia menemukan ayahnya duduk di balik grand piano putih yang ia hadiahkan untuk ibu. Pria itu memainkan lagu-lagu favorit ibu seperti tidak memiliki lagu lain.

Donghae menoleh pada anaknya yang sudah dewasa. Jeno, anak lelakinya satu-satunya, mendekat padanya dengan rahang mengeras.

Donghae menunduk pada tuts piano. Kadang lucu, ia seperti sedang dimarahi sekarang. Ini karena Jeno sudah jengah melihat ayahnya seperti mayat hidup. Ia tahu, mereka semua sedih, tapi bukan berarti mereka berlarut-larut dalam kesedihan yang mengganggu seluruh sendi-sendi kehidupan. Ibu sudah bahagia di kekekalan. Sedangkan mereka masih harus menjalani hidup dan menunggu sampai kekekalan menjemput.

Wajah ayah kelihatan pias di sorot oleh cahaya lampu teras. Ia membiarkan ruangan itu gelap, sedang cahaya menelisik dari jendela yang gordennya dibiarkan terbuka.

Sudah setahun berlalu. Ayahnya tidak bisa terus-terusan seperti ini.

"Pergi, cari hiburan, Ayah."

Donghae menoleh lagi pada anaknya dengan mulut terkatup.

"Aku juga tidak masalah kalau kau mau menikah lagi," ucap Jeno.

Jeno memandangi wajah ayahnya dengan dahi berkerut penuh permohonan putus asa. "... Jangan seperti ini, Yah..."

Hidup terlalu panjang untuk disia-siakan hanya untuk duduk merenung di depan piano. Karena pada kenyataannya ibu tidak akan pernah kembali. Dan mereka yang masih di dunia harus tetap melanjutkan hidup.

.
.
.

"Ayahmu jadi rajin ke tempat hiburan malam," kata Mark ketika menemui Jeno di kantor.

"Tidak masalah, selama dia tidak kelihatan seperti mayat hidup," ucap Jeno sambil memeriksa detail design lace terbaru yang barusan diberikan salah seorang tim design padanya. Kacamata bulan me gantung di pangkal hidungnya, membantunya untuk melihat setiap detail lebih jelas.

Siang itu, Mark sengaja nyempatkan diri untuk menemui sepupunya di kantor. Kantornya berada di lantai teratas sebuah ruko empat lantai yang terletak di pusat sentra busana. Dua lantai paling bawah dipakai untuk area display kain dan juga tempat konsultasi pelanggan-pelanggan penting yang biasanya adalah pemilik butik ataupun designer ternama bersama klien mereka masing-masing. Lantai tiga tempat seluruh back-office berada, mulai dari bagian puchasing, accounting, finance, dan marketing, semua ada di sana. Di lantai paling atas, ada ruangan Jeno beberapa ruang rapat, dan juga ruangan HRD dan tim legal.

Dari sekat-sekat kaca, Mark bisa melihat Paman Donghae di ruangannya sedang berkutat dengan telefon dan dokumen di tangan. Ia lantas kembali menatap Jeno yang juga sedang menatap layar laptopnya.

"Kau tidak khawatir kalau ayahmu kenapa-kenapa?"

Jeno mendongak.

"Ayahmu pergi ke tempat prostitusi," ucap Mark. "Well, bukan prostitusi dalam artian sebenarnya. Itu tempat karaoke malam, tapi semua orang tahu kalau LC di sana bisa dibayar untuk cinta satu malam."

"Yah kalau dia mati, aku akan melanjutkan usahanya," jawab Jeno acuh tak acuh.

Mark menghela napas.

Sepupunya ini kelihatannya saja acuh tak acuh, tapi Mark yakin dalam hatinya iapun peduli dengan ayahnya sendiri. Mark menggelengkan kepala.

"Kau sendiri, kenapa tidak cari pacar?"

Jeno mendongak lagi dari pekerjaannya. Ia menyandarkan punggung pada busa kursi yang empuk. "Untuk apa?"

Lelaki yang lebih tua setahun itu mengedik bahu. "Melakukan norma masyarakat?"

"Jadi itu alasanmu menikahi Renjun?" tebak Jeno.

"Tidak seperti itu..." Mark menepuk pucuk kepala Jeno dengan undangan perak di tangannya. "... aku hanya merasa, mau apa lagi selain menikah sekarang."

"Kau terdengar putus asa."

Mark malah tertawa. Mark bekerja di salah satu kantor firma hukum, memulai karier pengacaranya dengan baik, dan bulan lalu baru mendapat izin praktek sebagai pengacara. Dia memiliki milestone hidup yang tertata rapi sampai-sampai keputusannya untuk menikah muda terdengar aneh di telinga Jeno.

"Renjun hamil. Sudah tujuh minggu."

"Makanya pakai pengaman," celetuk Jeno.

"Habisnya lebih enak raw," canda Mark. "Oh iya, kan kau tidak tahu bedanya raw dan tidak."

Wajah Jeno berubah masam, menuai lebih banyak tawa dari Mark.

"Cari pacar sana," ucap Mark lagi mengembalikan pembicaraan mereka pada topik utama.

Jeno berdecak. "Kenapa semua orang yang menikah jadi menyebalkan sepertimu?"

"Habisnya kau aneh." Mark meletakkan undangan pernikahannya di meja. "Kau tampan dan kaya, tinggal tunjuk perempuan manapun pasti bisa. Tapi sampai hari ini kau bahkan tidak pernah kelihatan suka dengan seseorang." Mark terdiam beberapa saat. "Atau kau suka laki-laki?"

"Sumpah! Berteman dengan Haechan membuat mulutmu sama sampahnya seperti dia!" gerutu Jeno membuat tawa Mark semakin menjadi.

"Tapi serius, kenapa?"

Kenapa?

Kenapa, ya? Jeno juga menanyakan hal itu pada dirinya.

Seketika sekelibat wajah Jaemin terlintas di benaknya.

Jeno buru-buru menggeleng, membuat tanda tanya di kepala Mark semakin banyak.

"Kau tahu, kalaupun akhirnya kau menyukai laki-laki, aku akan tetap mendukungmu." Mark menepuk bahu Jeno yang menatapnya kesal. Ia tersenyum miring sebelum melanjutkan, "Jangan lupa datang."

Mark berlalu, meninggalkan Jeno sendirian di ruangannya. Bunyi sol sepatunya yang keras beradu dengan lantai kayu, menciptakan bunyi langkah kaki yang nyaring dan perlahan menghilang begitu juga kehadirannya dari pandangan Jeno.

Jeno duduk bertopang dagu dengan mata mengawang memandangi nama Mark Jung dan Renjun Huang tercetak di muka undangan. Sekelibat iri mencekik leher.

Mark sudah menentukan pilihannya untuk hidup bersama Renjun (meski harus diwarnai dengan masalah kehamilan lebih dulu). Haechan juga sudah berhasil melupakan cintanya. Ia bahkan sudah bisa bergonta-ganti pasangan. Terakhir kali, Haechan mengenalkan Jeno pada Lucas Wong, pria keturunan campuran Hong Kong dan Thailand.

Hanya Jeno yang masih berkutat dengan cinta dan egonya yang memuakkan.

Padahal sudah lewat 6 tahun dari kejadian itu, tapi rasanya masih seperti kemarin ketika ia ditolak Jaemin.

.
.
.

Bersambung...

A/n : maaf ya banyak crackpair di sini wkwk

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang