Jeno terpaku di tempatnya.
Matanya tidak lepas dari sesosok perempuan ramping dengan dress hijaunya yang indah. Kulitnya sepucat cahaya rembulan. Matanya bulat dengan sepasang iris karamel menawan yang dinaungi bulu mata panjang dan lentik. Pipi gembilnya merona alami di atas permukaan kulit sepucat cahaya rembulan. Begitu juga dengan belah bibir yang memiliki lengkung menarik berwarna merah muda cerah itu. Rambutnya yang hitam mengkilap jatuh lembut dengan gelungan indah di ujungnya.
Na Jaemin masih secantik yang Jeno ingat di belakang kepalanya.
"Jeno, kenalkan. Ini calon istri ayah," ucap Donghae mengembalikan kesadaran Jeno ke dalam tubuhnya.
Jaemin menyulingkan senyum kecil. "Halo, Jeno. Lama tidak bertemu."
Udara musim gugur yang dingin jadi terasa semakin dingin dan kering. Tengorokan Jeno keluh, tidak bisa mengucapkan barang satu katapun.
Donghae memandangi anaknya yang masih syok, lalu beralih pada Jaemin. "Jaemin ingin bicara denganmu. Kita akan mulai makan malam setelah kalian selesai bicara," katanya sambil merangkul bahu Jaemin, meremasnya lembut seakan sedang memberikan kekuatan tak kasat mata pada perempuan itu. "Ambil waktu kalian."
Donghae lalu berbalik, meninggalkan ruang kerjanya dengan pintu tertutup.
Tidak sekalipun nama Na Jaemin terlintas di kepalanya ketika Donghae berkata bahwa ia akan bertemu dengan calon ibu sambungnya.
Na Jaemin tidak pernah masuk hitungan.
.
.
.Bunyi detik jam yang berlalu seperti bunyi bel kematian. Jaemin duduk di sudut sofa panjang sambil meremas kedua tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak tak karuan. Berapa kalipun ia menarik napas dalam, mencoba menahannya sambil menghitung satu sampai sepuluh, semuanya tidak berhasil.
Teh hangat yang disajikan kepala pelayan Kim sudah dingin, tidak mampu lagi mencairkan es yang menyumbat tenggorokan Jaemin.
"Kau mau bicara apa?" tanya Jeno membuka pembicaraan di antara mereka.
"A... Aku..." Jaemin meremas rok di depan lututnya, menyalurkan gugup. Ia menunduk dalam-dalam, menghindari tatapan dingin Jeno.
Kenapa? Kenapa sesulit ini?
Padahal ia hanya perlu meluruskan salah paham yang membuat Jeno jadi begitu membencinya. Begitu lurus, semua selesai.
Kenapa sulit sekali hanya untuk jujur? Toh semua sudah jadi terlalu jelas di depan mata Jeno. Tidak ada lagi image yang perlu Jaemin jaga. Tidak ada lagi yang perlu Jaemin lindungi.
Mendadak Jeno mendengus, menarik perhatian Jaemin. Lelaki itu menyulingkan senyum miring yang menyebalkan, seolah sedang mengejek Jaemin.
"Benar juga," ucapnya. "Ini kan cita-citamu, menikah dengan pria kaya."
Bulu kuduk Jaemin meremang. Ia kembali menunduk dalam malu.
"Selamat, ya. Kau mendapatkan cita-citamu," kata Jeno. "Kau hanya ingin aku mengatakan itu, kan?"
"Tidak," jawab Jaemin lirih.
.
.
.Jeno tidak habis pikir, bagaimana Ayahnya dan dia bisa jatuh cinta pada perempuan yang sama.
Sekelibat ingatan masa lalu menghantamnya telak. Memang itu cita-cita Jaemin. Entah apa yang sudah ia dan ayahnya lakukan sampai ayahnya berani untuk mengambilnya sebagai istri, Jeno tidak tahu dan tidak mau tahu.
Semua ini hanya semakin menguatkan pikirannya tentang Na Jaemin.
Memang hanya perlu uang untuk mendapatkan Na Jaemin, bukan cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge
Fanfiction[END] Bagaimanapun cara Jaemin mengelak, nyatanya ia adalah perempuan bayaran. Perempuan yang datang karena uang, yang lebih memilih pria kaya dibanding cinta. . . . warning : jaemin, jeno, haechan, donghae, gs, harsh word, age gap Start : April 12...