Jeno

839 96 9
                                    

Jaemin tidak bisa berhenti membuka mulutnya penuh kagum begitu mobil Jeep Donghae berhenti di depan bangunan besar yang lelaki itu sebut sebagai rumah.

"Ini sih istana..." gumam Jaemin masih tidak habis pikir bagaimana Donghae menyederhanakan bangunan megah ini dengan sebuah kata rumah. Pantas saja lelaki itu bilang kalau rumah di tepi pantai itu kecil, karena ia sendiri tinggal di sebuah istana.

Jarak dari pagar depan sampai ke bangunan utama sangat jauh dan perlu melewati taman luas. Bangunan utamanya sendiri terdiri dari dua lantai yang melebar ke sisi timur dan barat. Rumah itu didominasi oleh warna putih dan lantai marmer. Di tengah foyer ada meja bundar besar dengan sebuah vas bunga hidup membuat ruangan itu beraroma wangi. Ke sebelah kiri, ada ruang tamu. Ke kanan entah ada ruangan apa, pintunya tertutup. Lurus ada lorong besar yang ditutupi pintu-pintu dengan mozaik kaca.

Jaemin melangkah mengikuti Donghae masuk ke bagian dalam ruang keluarga dengan sofa melingkar yang mungkin bisa menampung dua puluh orang. Ruangan itu bahkan jauh lebih luas daripada ruang VIP di tempat karaoke. TV besar di ruang keluarga membelakangi taman luas yang berhadapan dengan rumah kaca yang menyimpan beragam bunga beraneka warna.

Langkah Jaemin memelan ketika melihat salah satu dinding rumah dengan sebuah foto keluarga berukuran besar menggantung di dalam bingkai emas yang mewah.

"Ini anakmu?" tanya Jaemin tanpa bisa melepaskan matanya dari foto seorang anak laki-laki berusia remaja.

"Ya, namanya Jeno. Ini foto terakhir yang kami ambil sebelum Sooyeon kecelakaan."

Donghae ikut mengamati foto itu dari sebelah Jaemin. Foto itu diambil sepuluh tahun lalu. Jeno masih SMP. Ia berdiri di belakang Donghae dan Sooyeon yang duduk di sebuah sofa merah. Ia tersenyum tipis dan terlihat seperti duplikat dari Donghae.

Rasanya Jaemin jadi serba salah.

Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Mendadak teringat dengan penghinaan yang Jeno lakukan padanya di masa lalu. Ia lalu melihat dirinya sekarang.

Apa bedanya? Ia tetap menerima lamaran Donghae karena pria itu kaya, kan? Lalu ia jadi begitu munafik dengan menolak uang dari Jeno.

"Jaemin?" panggil Donghae menyadari Jaemin tidak menanggapi kata-katanya. "Kau baik?"

Ia memandang Donghae melalui kedua netra karamelnya. Sedih mencabik-cabik hatinya bahkan sebelum ia sendiri berhasil mengecap impiannya.

Jaemin harus apa sekarang?

"Aku kenal Jeno," aku Jaemin.

"Oh? Di mana?" tanya Donghae agak sedikit terkejut.

Jaemin menelan ludahnya gugup. "Dia anak laki-laki yang aku ceritakan padamu."

Donghae diam seribu bahasa.

.
.
.

Katanya, dunia ini luas dan patut untuk dijelajahi.

Nyatanya dunia tidak seluas itu. Sejauh-jauhnya Jaemin melangkah, pada akhirnya ia harus kembali menghadapi Jeno. Jaemin sama sekali tidak siap menghadapi Jeno. Tidak dalam mimpinya sekalipun.

Jaemin sudah menceritakan seluruh kejadiannya bersama Jeno pada Donghae. Lelaki itu hanya diam. Ruang kerjanya terasa dingin menyengat permukaan kulit Jaemin. Ia berharap, daripada diam lebih baik Donghae mengucapkan sesuatu padanya.

Donghae pun bingung bagaimana ia harus menghadapi hal ini. Diamatinya Jaemin yang duduk di ujung sofa ruang kerjanya lamat-lamat. Wanita itu lebih memilih menunduk, memilin tangan di pangkuannya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia dan anaknya sendiri akan jatuh pada wanita yang sama.

"Perasaanmu sendiri bagaimana sekarang?" tanya Donghae pada akhirnya.

"Pada Jeno? Tentu saja aku tidak lagi memiliki perasaan apa-apa. Mungkin yang tersisa sekarang adalah rasa kesal dan sakit hati," jawab Jaemin jujur. Ia mengulum senyum penuh sesal pada Donghae yang bersandar di tepi meja kerjanya. "Maaf jadi membuatmu terjebak dalam keadaan yang tidak nyaman."

Donghae menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan.

"Bagaimanapun juga, setelah kita menikah, statusnya akan menjadi anak sambungmu," kata Donghae berusaha hati-hati.

Donghae tidak ingin melepas Jaemin. Ia pun tidak ingin anaknya menjauh darinya hanya karena perempuan.

Ia mendekat, duduk di sebelah Jaemin lantas meraih tangan wanita itu, menggenggamnya sambil mengamati cincin bertahtakan batu emerald yang terlihat menyala di atas kulit putih Jaemin. "Selesaikan masalahmu dengan Jeno. Bicarakan baik-baik dengannya."

Jaemin mendongak, membalas tatapan lembut Donghae dengan keraguan yang terlihat begitu nyata.

"Menurutmu itu akan berhasil? Bagaimana kalau tidak?"

"Kita tidak akan tahu sebelum dicoba, Jaemin," ucap Donghae. "Aku juga tidak bisa tiba-tiba datang di tengah masalah kalian seperti pahlawan kesiangan demi keuntungan pribadiku sendiri. Kesalahpahaman kalian terjadi di masa lalu antara kalian berdua. Dan sekarang kalian sudah sama-sama dewasa. Aku hanya bisa berharap kalau kalian bisa menyikapi selisih paham itu dengan dewasa juga."

Jaemin menggenggam tangan Donghae erat. Bibirnya terkatup, sementara kepalanya begitu penuh dengan berbagai macam skenario untuk mengadapi Jeno.

Perutnya mendadak mulas. Jantungnya berdetak begitu kencang. Kepalanya jadi pusing.

"Kurasa aku tidak siap kalau harus menghadapi Jeno hari ini," bisik Jaemin lirih. Ia menatap wajah Donghae dengan mata yang merengek, lalu menggeleng. "Ini terlalu tiba-tiba untukku."

Tangan Donghae mengusap kepala Jaemin, menenangkan perempuan muda itu. "Tidak apa-apa. Kita bisa makan malam lain kali."

Jaemin berusaha mengulum senyum di bibirnya. "Aku ingin pulang."

.
.
.

Dahi Jeno mengerut. "Batal?"

Padahal Jeno sudah buru-buru pulang di jam enam sore, mengumpat di sepanjang jalan yang macet, dan berlari dari pintu utama ke ruang makan hanya untuk mendapati ruangan itu kosong.

Kepala Pelayan Kim menunduk penuh hormat. "Nona Na kelihatan tidak enak badan, jadi Tuan Besar membatalkan makan malam dan mengantar pulang Nona Na."

"Nona?" Dahi Jeno semakin mengerut. "Dia masih muda?"

Dia sama sekali tidak tahu perempuan macam apa yang ayahnya kencani. Ayah juga tidak cerita masalah umur atau latar belakangnya. Yang ia tahu, ayah selalu cerita kalau dia perempuan yang cantik, jujur, dan baik. Tidak ada alasan bagi Jeno untuk menolak kalau Ayahnya jadi kelihatan bahagia karena perempuan itu. Malah, Jeno mau berterima kasih karena Ayahnya jadi kelihatan lebih baik sekarang.

"Saya kira begitu, Tuan," jawab Pelayan Kim.

Meski agak kesal karena agenda yang sudah tersusun dibatalkan sepihak, paling tidak Jeno jadi punya tambahan waktu kosong di akhir pekan.

"Siapkan makan malamnya," perintah Jeno kemudian duduk di salah satu sisi meja makan. Ia menyerahkan sebuah kotak champagne mahal yang awalnya ingin ia berikan kepada pacar ayahnya itu ke tangan Pelayan Kim untuk disimpan.

"Siap, Tuan."

.
.
.

Bersambung...

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang