Pernikahan

1.2K 109 19
                                    

Pernikahan itu akhirnya dilaksanakan di penghujung musim semi, saat udara masih sejuk menjurus ke hangat. Saat bunga-bunga mekar, dan seluruh tanaman menjadi hidup.

Pestanya diadakan dengan sangat sederhana di taman belakang rumah. Hanya dihadiri keluarga besar Donghae, keluarga Jung yang diwakilkan oleh Mark dan Renjun, dan Jungwoo sebagai pihak dari keluarga Jaemin.

Jaemin hanya mampu mengulum senyum kecil ketika Haechan terbelalak melihatnya.

"Hai, Haechan," sapanya, mencairkan canggung yang menguasai udara.

Haechan kehilangan kemampuan bicaranya. Ia hanya diam melihat Jaemin kemudian berlalu bersama Donghae, menyapa keluarga yang lain.

Jaemin tidak peduli pada apapun lagi. Meski kernyitan dahi masih menguasai seluruh orang. Melihatnya sebagai lintah darat yang menempel pada Donghae karena uang. Jaemin tidak peduli. Semua orang punya cerita masing-masing, dan tidak perlu mereka tahu. Kalaupun tahu, mereka belum tentu bisa mengerti.

Seperti Jeno.

Ia pergi meninggalkan rumah sejak hari itu dan tidak pernah kembali. Ia berdalih memulai usaha dengan salah seorang temannya di luar negeri.

Bahkan di hari inipun ia tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Padahal, undangan sudah dikirim sejak tiga minggu lalu. Hanya karangan bunga anggrek putih yang wakili kehadirannya. Tanpa surat. Tanpa ucapan apapun.

"Kau baik-baik saja?" tanya Donghae menghampiri Jaemin yang masih berdiri dekat meja bundar di tengah foyer. Perempuan itu masih memandangi anggrek yang sudah dipindahkan ke vas bunga ke atas meja.

"Yah, aku baik-baik saja," jawab Jaemin. Ia menoleh, menatap laki-laki yang hari ini resmi menjadi suaminya. "Maaf, Jeno jadi meninggalkan rumah gara-gara aku."

Donghae menghela napas. Ia meraih tangan Jaemin. "Jangan merasa bersalah. Jeno baik-baik saja. Hubungan kami juga baik. Tadi pagi dia menelfonku, mengucapkan selamat untuk pernikahan ini."

"Oh, benarkah?"

"Iya, dia menelfonku saat subuh karena perbedaan zona waktu. Kami berbicara agak lama. Ia bilang, ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, makanya tidak bisa datang."

Jaemin berharap hal itu benar. Bukan sekedar alasan untuk menghindarinya.

Lupakan semua yang sudah terjadi. Toh tidak ada yang bisa mengubah masa lalu. Jaemin hanya perlu melihat ke depan, membangun masa depannya bersama Donghae.

Cukup.

Bahkan jika cibiran itu tidak berhenti berbisik di balik punggungnya, atau pun kenyataan bahwa foto besar Sooyeon masih menggantung dan terawat di ujung ruang kerja Donghae. Jaemin tidak peduli. Ia akan tutup telinga dan mata rapat-rapat. Berjalan seperti dunia ini baik-baik saja.

Ia hanya perlu memainkan perannya dengan baik. Menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Yang membuat Donghae terhibur setelah penatnya kerja.

Jika dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada bedanya pekerjaan Jaemin sekarang ataupun dulu. Ia masih menjadi seorang penghibur.

"Aku mencintaimu," bisik Donghae di tengah pergumulan mereka di atas kasur.

Semua terdengar sangat tawar. Berapa kalipun Jaemin mendengarnya, ia hanya akan tertawa dalam hati atau pura-pura tersipu sambil membalas pria itu dengan sebuah lumatan di bibirnya.

Memang itu kan tujuannya dinikahi?

Ini hanya sebuah pertukaran.

Jaemin menukar perasaannya untuk hidup yang lebih baik. Untuk masa depan yang lebih terjamin.

Dan Donghae menukar uangnya untuk sebuah perasaan senang. Sebuah usaha untuk mengisi lubang hatinya yang kosong dengan bentuk lain yang serupa.

Ia sendiri tidak tahu, apakah ia sedang menjadi Jaemin ataukah Jasmine.

.
.
.

Jaemin menghidupi perannya dengan sangat baik. Ia menjalani hari-harinya dengan sangat terstruktur. Ia mendapatkan impiannya untuk memiliki keluarga utuh dan masa depan yang terjamin. Ditambah kelahiran kedua anaknya membawa tawa mengudara ke seisi rumah yang sudah seperti kastil mati.

Jimin, putrinya yang paling tua, yang cantik dan kata orang mirip Jaemin. Ia memiliki sepasang mata hitam besar dan senyum yang cantik. Rambutnya hitam lebat dibiarkan memanjang hingga sepinggang. Jaemin akan dengan senang hati membantu menata rambutnya setiap pagi di depan cermin.

Gadis dengan banyak mimpi yang tahu apa yang dia lakukan dan dengan tekun melakukannya. Ia jarang mengeluh. Ia selalu berusaha tampil baik di depan Jaemin dan Donghae, meski ada kalanya Jaemin akan menemukan gadis itu menangis di kamarnya.

Jaemin akan memeluknya, menemani putrinya yang bercerita soal kesulitannya tentang kecewanya ia pada usahanya sendiri yang kurang maksimal.

"Tidak apa-apa. Kamu bisa mencoba lagi besok," hibur Jaemin.

Gadis mandiri yang dewasa sebelum waktunya. Yang tidak pikir panjang untuk menolong Jaemin di dapur, ataupun membantu Jaemin menjaga Jisung, adiknya, yang lebih muda tiga tahun.

"Ibu! Ibu! Aku mau ke sana!" seru Jisung ketika mereka tiba di rumah mereka yang berada di tepi pantai.

Rumah yang dulu Donghae kenalkan sebagai rumah pertamanya. Satu-satunya tempat yang Jaemin anggap sebagai rumah. Sebagai istananya. Di mana ia menyimpan foto keluarga mereka yang terdiri dari Donghae, dia, Jimin, dan Jisung. Rumah yang selalu mereka datangi di libur musim panas.

"Sebentar, Jisung," kata Jaemin yang masih kesulitan menenteng tas berisi pakaian liburan mereka.

"Taruh saja, Jaemin. Biar pelayan yang membawakannya," kata Donghae yang turun dari kursi kemudi.

"Biar aku saja yang menemani Jisung, Bu," kata Jimin lalu pergi lebih dulu ke dalam rumah, masuk ke pantai melalui pintu belakang, menyusul Jisung yang sudah bermain di bibir pantai dengan tidak sabaran.

Donghae memandangi istri mudanya yang masih kelihatan cantik meski usia mulai memakan mereka. Dengan mata karamelnya yang cantik dan memancarkan kelembutan, yang membuatnya perlahan jatuh hati lebih dalam daripada yang pernah ia kira.

"Jaemin," panggil Donghae ketika ia mengikuti Jaemin masuk ke dalam ruang makan yang berhadapan langsung dengan pantai. Mereka bisa melihat Jimin dan Jisung berlarian di atas pasir. Pekikan mereka merpadu dengan suara debur ombak, burung camar, dan hembusan angin.

"Ya?" Jaemin menutup pintu lemari pendingin setelah memindahkan bahan-bahan makanan yang mereka beli di perjalanan.

Lengan Donghae melingkari pinggang ramping Jaemin dari belakang. Ia mengistirahatkan dagunya di bahu sempit Jaemin.

Perempuan itu menoleh lalu tertawa. "Kenapa? Kau ingin sesuatu untuk cemilan sore?"

Donghae menggeleng. Ia mengeratkan pelukannya. "Aku mencintaimu," ucapnya lalu mengecup pipi Jaemin.

Jaemin tidak tahu, di titik ini apakah cinta menjadi satu yang penting di tengah hubungan mereka? Kalaupun Jaemin harus mengakui, iapun memiliki perasaan pada Donghae, terlebih setelah anak-anak mereka lahir. Tapi Jaemin tahu, itu bukan cinta.

Mungkin sayang?

Atau balas budi?

.
.
.

Bersambung...

Next chap : closure dari Jeno

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang