Penolakan

1.1K 133 4
                                    

Jaemin semakin terbiasa dengan kiriman-kiriman surat kaleng di lokernya. Sebagian surat cinta, sebagian lagi surat ancaman. Jaemin hanya menghela napas ketika melihat lokernya penuh dengan surat berbagai warna. Karena pada akhirnya surat-surat ini tidak akan ia baca dan berakhir di tempat sampah.

Setiap Hari Jumat sore, ketika sekolah sudah sepi, Jaemin akan menarik bak sampah ke depan lokernya lalu membuangi surat-surat itu tanpa membaca siapa pengirimnya. Toh, jawaban Jaemin sama pada semua orang. Ia menolaknya.

"Sebanyak itu?" ucap suara berat menginterupsi.

Jaemin menoleh, dua loker dari lokernya, ada Jeno berdiri di depan lokernya sendiri yang terbuka.

Lelaki itu kelihatan kaget dengan apa yang Jaemin buang.

Jaemin mengulum senyum simpul. "Sebanyak ini."

Padahal ini bukan Valentine. Kalau Valentine, bisa lebih banyak lagi.

Jeno tersenyum miring. "Kenapa tidak dibalas?"

Jaemin diam, matanya mengawang pada sebuah surat merah muda. Tiba-tiba sakit di masa lalu terasa kembali menyengat jantungnya. Buru-buru ia menggeleng, melenyapkan perasaan itu sekaligus menjawab pertanyaan Jeno. "Terlalu banyak untuk dibalas satu-satu."

Begitu lokernya kosong, Jaemin mengunci kembali lemari besi itu. Ia menarik bak sampah ke tempatnya semula lalu kembali ke depan lokernya hanya untuk mengambil tasnya lagi.

Ia menyempatkan diri menoleh pada Jeno. "Aku duluan, ya," pamitnya lalu pergi.

.
.
.

Jeno tidak tahu, kenapa matanya selalu tertuju pada Jaemin.

Oke, fine. Dia cantik dan menarik. Ia mengingatkan Jeno akan ibunya yang kini terbaring lemah di rumah sakit

Perempuan itu punya senyum cantik yang mengalahkan cerahnya matahari musim panas. Sepasang mata berwarna karamel hangat, ditambah bulu mata letiknya yang seperti sedang merayu semua orang.

"Jaemin?" suara Haechan mengganggu Jeno. "Kau suka padanya?"

"Tidak," kilah Jeno lalu melempar pandang pada objek lain.

Untungnya, Haechan percaya. Perempuan itu duduk di sebelah Jeno sambil mengemut es krimnya. Jeno kembali menekuni makan siangnya. Sepiring nasi dan ayam panggang ditambah beberapa lembar sayur.

"Aku kemarin membeli muffler ini." Haechan menunjukkan layar ponselnya pada Jeno. "Bagus, kan?"

"Musim dingin masih jauh."

"Harus disiapkan dari sekarang! Kamu tidak tahu ya, fashion show fall winter diselenggarakan di musim panas?" gerutu Haechan.

"Omong-omong, sepupumu yang dari Kanada akan datang tidak musim dingin ini?" tanya Haechan.

Dahi Jeno mengerut. "Mark?"

"Hu um. Dia datang?"

Mark Jung, sepupunya dari pihak ibu. Secara garis keluarga, Haechan dan Mark masih berkerabat melalui perkawinan ayah dan ibu Jeno (berhubung Haechan adalah sepupunya dari pihak ayah). Sejak kecil Haechan sibuk mengatakan pada semua orang kalau dia menyukai Mark. Tidak ada yang menanggapi ucapan anak 10 tahun dengan serius. Yang mereka tidak tahu, perasaan itu terus dipupuk Haechan hingga hari ini.

"Tidak tahu. Kau saja yang tanya. Kalian sering chatting, kan?"

Pipi Haechan memerah.

Jeno tidak tahu sejauh apa hubungan kedua sepupunya itu. Tapi Mark adalah tipe orang yang menyenangkan semua pihak. Ia pasti akan tetap meladeni seluruh ucapan konyol Haechan.

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang