Sudah selesai.
Jaemin bukan lagi perawan.
"Pelayananmu payah. Berciuman saja tidak becus," komentar Tuan Choi setelah mandi. Ia memakai kembali pakaiannya, sedangkan Jaemin masih meringkuk di ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut.
Memang apa lagi yang ia harapkan dari seorang perawan yang tidak pernah bercinta selain vagina yang masih rapat?
Jaemin diam, menulikan telinganya sambil menahan perih dan nyeri di selangkangan.
"Hah... untung saja kau cantik..."
Lagi-lagi, karena Jaemin cantik. Memangnya kalau ia tidak cantik, kenapa?
"Nih, tips untukmu karena wajahmu membuatku senang. Kalau saja kau sepintar ibumu, aku akan memberikanmu lebih banyak lagi," ucap Tuan Choi, client pertama Jaemin, melemparkan beberapa lembar uang ke meja di samping kasur.
Jaemin diam, melupakan seluruh ajaran ibunya untuk selalu bersikap manis di hadapan client. Tidak ada, Jaemin tidak menginginkan apapun.
Dia hanya berharap setelah matanya terpejam, seluruh hancur hati yang kini memakannya perlahan, akan membuatnya bangun dalam kekekalan.
Entah itu surga ataupun bukan.
.
.
.Tapi sepertinya mengharapkan surga itu terlalu muluk.
Nyatanya Jaemin masih menapak di bumi. Masih berangkat ke sekolah setiap hari. Masih menjadi Jaemin yang cantik tapi bodoh.
Satu-satunya yang berubah dari Jaemin adalah statusnya.
Ia bukan lagi seorang gadis.
Matanya bersitobrok dengan mata sehitam jelaga milik Jeno di lorong depan loker. Jaemin segera menunduk, mengalihkan pandangan lalu fokus memutar kunci lokernya untuk mengeluarkan semua barang dari sana.
Hari ini, hari terakhirnya belajar sebagai siswa.
Akhirnya ia dinyatakan lulus oleh sekolah.
Ia menghela napas mendapati setumpuk surat cinta di sana. Tidak sebanyak sebelumnya, tapi masih ada yang mengirimkan. Ia memilah surat-surat itu, memisahkannya dari lembar hasil ujian lalu dibuang ke tempat sampah.
Ia memasukkan bukunya satu per satu sampai loker itu kembali kosong seperti semula. Saat akan mencangklekkan ranselnya dan berbalik, ia mendapati Jeno yang berdiri satu langkah di depannya.
Aroma parfumnya masih sama seperti yang Jaemin ingat.
Rasanya, kalau tidak ingat-ingat, Jaemin ingin memeluk tubuh pria itu, menyampaikan selamat tinggal. Karena semua orang tahu, Jeno akan melanjutkan sekolahnya ke Inggris. Sedangkan Jaemin...
Ah sudahlah. Punya ijazah SMA saja sudah bagus.
Pria itu menyodorkan sebuah amplop putih. Kelihatannya agak tebal. Itu membuat Jaemin penasaran.
Ia membalas tatapan mata hitam Jeno dengan sepasang iris karamelnya.
"Ini apa?"
"Uang." Napas Jaemin tertahan. Tangannya yang hendak meraih amplop itu melayang di udara. Ia diam, membiarkan Jeno melanjutkan kalimatnya. "Kencan denganku seharian. Aku akan membayarmu."
Keterdiaman Jaemin membuat Jeno bertanya lagi.
"Dua juta, apakah kurang?"
Apa perempuan memang hanya dihargai dengan uang?
Padahal Jaemin melihat Jeno lebih dari sekedar nilai uang. Ia menolak pria itu karena ia tahu, ia akan digunakan ibunya sebagai mesin pengeruk uang.
Kenapa sekarang laki-laki itu malah datang lagi padanya dengan menawarkan uang? Apa sekarang artinya pertemanan mereka hanya sebatas nilai uang?
Ah... tidak.
Jaemin paham sekarang. Di mata Jeno, dia tidak lebih dari sekedar perempuan bayaran. Perempuan yang datang karena uang. Perempuan yang juga akan pergi hanya karena uang.
Dia seorang jalang.
.
.
.Ketika Jeno menawarkan seamplop uang ke hadapan Jaemin, ia sudah bersiap dengan sebuah penolakan dan tamparan. Tapi ia tidak pernah menyiapkan diri untuk melihat air mata turun dari sepasang iris karamel Jaemin yang cantik.
"Bajingan."
Jeno memegangi pipinya yang masih terasa nyeri sehabis ditampar Jaemin.
Memangnya Jeno salah menawarkan uang pada Jaemin?
Bukankah perempuan itu sendiri yang lebih dulu menjajakkan tubuhnya untuk uang?
"Ini yang kau lakukan pada customer-mu?" Jeno berdecih. "Kau bisa minta lebih kalau dua juta masih kurang. Aku terbuka dengan negosiasi."
Ucapan Jeno seperti tusuk beracun yang ditancapkan pada hati Jaemin.
Bagaimana bisa lelaki itu mengatakan hal serendah itu dengan wajah terlampau datar?
Tangan Jaemin mengepal di kedua sisi tubuhnya, menahan emosi yang berubah menjadi kecewa dan benci yang bertubi-tubi.
"Simpan saja uangmu untuk perempuan lain. Aku tidak akan pernah menerima uangmu," tukas Jaemin lalu melangkah melewati Jeno begitu saja.
Jaemin juga tidak tahu kenapa air matanya harus turun seperti ini. Padahal ini Jeno, dan dia sama saja seperti pria-pria bajingan di luar sana.
Jaemin tidak seharusnya menangisi Jeno. Air matanya terlalu berharga untuk pria seperti dia.
Tapi tidak bisa.
Air matanya tidak mau berhenti.
.
.
.Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge
Fanfiction[END] Bagaimanapun cara Jaemin mengelak, nyatanya ia adalah perempuan bayaran. Perempuan yang datang karena uang, yang lebih memilih pria kaya dibanding cinta. . . . warning : jaemin, jeno, haechan, donghae, gs, harsh word, age gap Start : April 12...