"Terima kasih," ucap Jaemin ketika mobil Jeep Donghae berhenti di bahu jalan di depan belokan sebelum mengarah ke rumah Jaemin.
Meski berusaha tersenyum, namun hal itu tidak lekas membuat kesedihan yang memayungi wajah Jaemin hilang. Donghae mengerti kekhawatiran wanita itu. Tapi iapun tidak mampu berbuat banyak. Harus Jaemin dan Jeno sendiri yang menyelesaikan masalah mereka.
Jaemin belum beranjak dari tempat duduknya. Matanya memandangi wajah Donghae. Ia memikirkan ulang, apakah keputusannya mengiyakan lamaran Donghae adalah sebuah keputusan tepat ataukan tidak.
"Katakan saja kalau itu masih membebanimu, Jaemin," kata Donghae.
"Seandainya... seandainya masalahku dan Jeno tidak berakhir dengan baik, apa yang akan kau lakukan?" tanya Jaemin. Ia mengulum senyum tipis. "Kita tetap harus bersiap dengan kemungkinan terburuk, kan?"
Yang terburuk adalah rencana pernikahan mereka batal dan akhirnya Donghae memilih menjauh, atau Jaemin yang lebih dulu pergi.
Mudah saja bagi Donghae, ketika pernikahan ini batal, maka ia bisa pergi mencari perempuan lain untuk menggantikan posisi Jaemin. Perempuan yang secara latar belakang lebih baik, yang lebih cantik, yang bisa dengan mudah diterima oleh anak dan keluarganya.
Sedangkan Jaemin, iapun sudah berpikir untuk kembali bekerja sebagai LC. Memang mau apa lagi?
Mungkin kehidupan normal itu memang hanya sekedar angan untuk Jaemin.
"Aku akan tetap mencintaimu."
Lagi-lagi Jaemin tidak bisa menjadi egois untuk kepentingannya sendiri. Ia kembali memikirkan orang lain. Jawaban Donghae membawanya pada kesimpulan sepihak. Bagaimanapun juga darah lebih kental daripada air, apalagi sekedar cinta yang diucapkan mulut. Kalau Jaemin ada diposisi Donghae pun ia akan mengutamakan anaknya, darah daginginya sendiri, lebih dari apapun.
.
.
.Jaemin diam memandangi buku tabungannya yang menggendut. Donghae masih mengiriminya uang. Ditambah kartu kreditnya yang masih ada di tangan Jaemin.
Ia duduk di kasurnya sambil memeluk lutut. Benaknya berkontempelasi.
Kenapa ia mengiyakan ajakan menikah Donghae? Apakah murni karena uang? Jika memang hanya karena uang, bukankah akan lebih mudah bagi Jaemin untuk menjajakan dirinya kepada pria manapun yang mau membayarnya ketimbang menemani seorang pria yang tenggelam dalam duka. Yang menemui Jaemin hanya untuk melepas rindunya pada mendiang istrinya?
Cinta, kah?
Tapi Jaemin juga tidak merasakan getar sayap kupu-kupu yang dulu pernah hinggap di perutnya. Tidak ada. Ia tidak merasakan apapun ketika bersama Donghae kecuali rasa senang yang ia sendiri tidak bisa bedakan apa penyebabnya. Apakah karena kehadiran Donghae sendiri, ataukah karena uang pria itu.
Jaemin tidak tahu.
Ia menyimpan kembali buku tabungannya ke dalam laci meja. Lantas membaringkan diri di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang polos.
Sebenarnya apa yang sedang Jaemin harapkan dari bersama Donghae?
Pertanyaan itu berputar di kepala Jaemin seperti bumi yang tidak pernah berhenti mengitari matahari.
Ia lantas mengingat-ingat kehidupannya sebelum bertemu Donghae. Hidupnya yang kelam dan penuh malu. Yang dilecehkan secara verbal maupun non-verbal. Perlahan hidupnya berubah setelah bersama Donghae. Ia tidak perlu lagi khawatir soal uang. Bahkan jika ia mau berhenti menjadi LC sekarang pun, uang dari Donghae sudah lebih dari cukup untuk menghidupinya.
Seketika Jaemin tersadar.
Saat bersama Donghae, ia seperti melihat semburat fajar setelah malam yang gelap dan panjang. Harapan di tengah hidupnya yang kacau.
Dan sebagian dirinya takut kalau ia harus kembali ke dalam kegelapan.
.
.
.Jaemin memutar-mutar sendoknya dengan tidak selera. Ia menghabiskan siang tengah minggu itu bersama Jungwoo di salah satu rumah makan di tengah kota, jauh dari siapapun yang mungkin mampu mengenali mereka.
"Jadi, anak sambungmu nanti adalah laki-laki yang pernah kau tolak?" ulang Jungwoo, menyimpulkan pemahamannya.
Jaemin mengangguk lemah. "Tuan Lee memintaku menyelesaikan masalah kami. Padahal akupun juga tidak mengerti kenapa dia jadi begitu marah hanya karena kutolak waktu itu. Aku juga bukan menolaknya dengan kasar. Aku menawarkan solusi lain untuk kami tetap berteman."
"Kau tahu, Jaemin? Laki-laki dan egonya itu adalah dua kombinasi menyeramkan."
Jungwoo meraih gelas minum untuk membersihkan bekas lemak sapi di mulutnya. "Dan setelah itu dia berniat membayarmu untuk kencan seharian, tapi kau tolak?"
Jaemin mengangguk.
Perempuan cantik itu menarik napas begitu dalam, berharap bebannya juga akan ikut hilang bersama napas yang ia embuskan.
Tapi tidak, beban itu masih di sana dan masih menjadi benang kusut.
Jungwoo menatap Jaemin kasihan. Ia meraih tangan Jaemin. "Orang berubah, Jaemin. Waktu muda, kita cenderung naif dan percaya dengan idealisme sendiri.
Nyatanya dunia memang tidak ideal, kan? Yang dulu kita anggap benar, bisa saja salah. Dan kebalikannya."
Jaemin membalas tatapan Jungwoo, berusaha mencari arti kalimatnya.
"Maksudmu, tidak apa-apa menjilat ludah sendiri?" tanya Jaemin.
"Iya. Kadang kita harus mengakui kalau apa yang kita percayai di masa lalu adalah kesalahan." Jungwoo mengulas senyum. "Jangan kemakan ego. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa kalau menjunjung tinggi ego."
Jaemin menarik tangannya dari genggaman Jungwoo, mengembunyikannya di balik meja. Ia melempar pandang pada kaki meja lain. Tidak tahu, apakah pilihannya untuk menceritakan hal ini pada Jungwoo benar atau tidak, karena sebagian hatinya jadi tidak nyaman.
Jungwoo lebih dari mengerti tentang kegalauan Jaemin. "Kau mendapat kesempatan besar untuk mengubah hidupmu, Jaemin. Tuan Lee mau menerimamu dengan semua latar belakangmu. Tidak banyak orang seperti itu.
Bahkan jika kau tidak mencintai Tuan Lee sekalipun, itu bukan hal yang penting. Cinta bisa dipupuk dan tumbuh, tapi uang tidak seperti itu. Mencucurkan keringat, darah, dan air mata saja tidak serta merta membuat uang datang. Tanpa uang, cintapun akan hilang."
Jungwoo tersenyum masam, mengingat kegagalan pernikahannya lalu.
"Kalau yang menjadi hambatanmu adalah Jeno, hadapi saja Jaemin. Katakan kejujuran yang dulu tidak bisa kamu katakan. Karena Jeno yang kamu hadapi hari ini berbeda dari Jeno yang kamu hadapi di SMA. Dia juga berhak mendapat penyelesaian darimu."
Binar iris karamel Jaemin menjadi redup. Tiba-tiba ingatan masa lalu berlomba-lomba menyesakkan dada dan pikirannya. Rasanya genggaman tangan Jeno, tawa Jeno, bahkan punggung besar beraroma parfum yang bercampur keringat itu perlahan menarik air mata Jaemin untuk meledak dalam tangis yang iapun tidak pahami.
Jaemin tahu, hatinya milik siapa. Tapi akal membuat langkahnya jadi begitu berbeda.
.
.
.Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge
Fanfiction[END] Bagaimanapun cara Jaemin mengelak, nyatanya ia adalah perempuan bayaran. Perempuan yang datang karena uang, yang lebih memilih pria kaya dibanding cinta. . . . warning : jaemin, jeno, haechan, donghae, gs, harsh word, age gap Start : April 12...