"Kok bisa!?" -Hendra Setiawan
Basel, 29 Maret 2022Ahsan menatap Leo dan Yere secara bergantian, kemudian mereka bertiga kompak menggelengkan kepala. Sudah 15 menit mereka berdiri menunggu di luar. Sesekali juga Leo atau Yere mengintip ke dalam. Celingak-celinguk seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Tingkah mereka yang mencurigakan rawan sekali dicurigai oleh orang sekitarnya.
Daniel mematung cukup lama di depan sebuah etalase. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Semua roti yang terhidang terlihat cukup lezat, sampai-sampai ia sendiri bingung untuk memilih. Beruntungnya toko roti ini cukup sepi. Pegawai yang ada di depannya masih sabar menunggu Daniel menentukan pilihannya sambil tersenyum.
"Ah," Daniel sudah menentukan pilihannya. Ia menunjuk sebuah kue wafel dengan krim putih dan potongan buah raspberry di atasnya.
Tampilan kue tersebut cukup menggiurkan, apalagi buah raspberry yang berwarna merah meronanya. Ia hampir bisa merasakan perpaduan rasa manis dan asamnya buah itu di dalam mulutnya. Tak tanggung-tanggung, Daniel langsung membeli empat potong kue tersebut. Setelah pesanannya siap ia segera membayarnya dan pergi ke luar.
Ahsan, Leo, dan Yere menghela napas panjang setelah melihat Daniel keluar dari toko. Di tangan kanannya ada papper bag yang sudah bisa ditebak isinya.
"Lama banget sih, Niel. Ngapain aja di dalem?" protes Yere sambil menjitak kepala Daniel.
"Tuh Bah, Yere nakal!" adu Daniel yang gak terima atas perlakuan Yere kepadanya. Leo hanya terkekeh melihat tingkah dua temannya.
"Hee, loh kok berantem kayak anak kecil?" ujar Ahsan. Daniel memeletkan lidahnya, meledek Yere. Sosok yang diledek hanya bisa diam, tapi wajahnya seperti tidak terima.
"Awas lu Niel!" -Yere
Mereka berempat kembali melanjutkan jalan. Siang ini matahari di atas bersinar cukup terik. Cuaca sedikit hangat, sehingga mereka gak perlu memakai jaket tebal. Yere yang masih dendam dengan Daniel berusaha menjailinya. Namun dengan cepat Daniel mencari perlindungan dengan berdiri di sebelah Ahsan. Yere berdecak kesal.
"Apa yang kalian cari udah didapetin semua?" tanya Ahsan seraya menatap ketiganya secara bergantian.
Leo mengangguk, "Kalo Leo sih gak beli apa-apa, Bah. Cuma nemenin Daniel doang buat cari makanan. Masih laper katanya," ucapnya.
"Loh, emang tadi siang masih belom kenyang?"
"Babah kayak gak tau aja. Perutnya Daniel kan kayak karet. Melar banyak muatan," celetuk Yere. Semua tertawa, kecuali Daniel yang menatap Yere dengan tatapan mengintimidasi. Sepertinya selepas ini akan ada perang antara Daniel dan Yere.
"Kalo Babah tadi beli apa aja?" giliran Daniel yang bertanya. Ahsan mengangkat papper bag yang dibawanya. "Cuma beberapa jajanan aja. Titipan anak-anak. Kasian ditinggal sebulan sama Babahnya, hahaha."
"Kalo buat istri gak lupa kan, Bah?"
Ahsan tertawa, "Kalo itu sih udah pasti gak bakal lupa ya. Sebelum berangkat aja udah dititipin."
Mereka berempat tertawa.
***
Hendra melipat baju terakhirnya dan kemudian dimasukkannya ke dalam koper. Ia menghela napas lega. Sudah setengah jam ia menata isi kopernya. Masih ada satu tas kecil yang isinya masih berserakan. Tas itu digunakannya sebagai tempat surat-surat atau hal penting lainnya. Hendra melirik ke arah koper Ahsan yang tergeletak di atas tempat tidur. Masih lumayan berantakan. Tangannya gatal. Ada rasa ingin merapikan barang-barang Ahsan.
Hendra melirik jam di ponselnya. Sudah dua jam pria itu pergi. Selepas makan siang tadi, Hendra belom sekali pun ketemu dengan Ahsan. Mereka pisah tempat duduk. Fajar menariknya untuk makan bersamanya, sedangkan Ahsan akhirnya makan bersama Leo.
Tok-tok-tok..
Hendra menoleh dan segera membukakan pintu. Ahsan, sosok yang sedari tadi ditunggunya akhirnya pulang. Wajahnya tampak berseri. Senyumnya merekah. Hendra mempersilahkan Ahsan masuk. Di dalam, ia melihat kalau Kokohnya sudah hampir selesai merapikan barang bawaannya. Sementara barang miliknya masih berhamburan di tempat tidur. Sepertinya malam ini ia akan lembur merapikan barang bawaannya.
"Pesanan saya ketemu, San?" tanya Hendra.
"Ketemu, Koh," jawab Ahsan seraya memberikan sebuah papper bag kecil ke Hendra. Pria itu tersenyum.
Ahsan memasukkan barangnya secara asal ke dalam koper, kemudian berbaring tepat di sebelahnya. Ia hanya ingin merebahkan diri, meluruskan badan dan kakinya yang lelah karena pergi terlalu lama. Hendra duduk di lantai, kembali membuka koper dan memasukkan papper bag tadi ke dalamnya.
"San, coba kamu cek tiket pesawat kita. Besok kita berangkat jam berapa?" pinta Hendra. Ahsan mengangguk dan segera meraih ponsel Hendra untuk mengecek kembali tiket pesawat pesanan mereka. Ya, untuk urusan ini memang segalanya Hendra yang mengurusinya. Ia hanya cukup duduk manis dan terima beres.
Ahsan membaca dengan cermat tiket yang mereka pesan. Namun seketika matanya menajam ketika mengetahui ada sesuatu yang salah dengan tiket mereka.
"Koh," panggilnya.
"Kenapa, San?"
"Kohen belinya buat tanggal 31?"
"Hah!?" pria itu terkejut dan cepat-cepat merebut ponselnya dari tangan Ahsan. Ia mengamati dengan serius layar ponselnya.
"Astaga, San," ucap Hendra sambil menepuk keningnya. "Padahal kemarin waktu beli saya yakin udah booking buat tanggal 30 biar barengan sama anak-anak. Tapi kok ini..." Hendra mengamati lagi layar ponselnya. Ahsan tersenyum tipis dan mengangkat kedua bahunya.
"San, maafin saya ya. Saya gak tau kalau saya salah pencet tanggal," kata Hendra meminta maaf. Raut wajahnya terlihat menyesal.
Ahsan tersenyum, "Udah, gak papa Koh. Mau tanggal 30 atau 31 kan yang penting sama-sama berangkat. Sama-sama sampe Korea juga," ucap Ahsan. Nadanya terdengar datar. Namun Hendra masih dengan raut wajah menyesalnya. Jujur, dalam hatinya ia merasa gak enak dengan Ahsan. Memang, baik 30 atau tanggal 31 pun itu gak masalah. Cuma yang ada dalam pikiran Hendra adalah adanya waktu 1-2 hari bagi Ahsan di Korea untuk beristirahat sebelum kembali memulai latihan.
Ahsan bangkit dari rebahnya, kemudian memasukkan semua barang bawaannya yang masih tercecer di atas tempat tidur ke dalam koper. Setelah kopernya tertutup, ia meletakkan kopernya di lantai. Entah mengapa tubuhnya hari ini meminta untuk diistirahatkan lebih cepat. Ahsan menatap Hendra yang masih berdiri sambil melihat isi ponselnya.
"Koh, saya tidur duluan ya," kata Ahsan sambil bersiap-siap memposisikan dirinya untuk tidur.
"Ah, iya San," ucap Hendra. Ia mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
Setelah mengucapkan selamat malam, Ahsan mulai terlelap. Hendra yang merasa bingung pada akhirnya juga ikut menyusul Ahsan ke alam mimpi.
"Selamat malam juga, San."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala (The Daddies story)
Fanfiction"Koh, terima kasih sudah menerima dan menjadi tempat ternyaman buat Ahsan." -Mohammad Ahsan. "San. Apapun yang terjadi saya akan selalu ada buatmu. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik buat saya." -Hendra Setiawan (((Sandyakala: Cahaya merah s...