Part 21 - Deep Talk

583 36 10
                                    

Suncheon, 10 April 2022

"Saya tau ini semua gak akan mudah. Tapi kalau Ahsan mau, saya janji akan mengurus semuanya untuk kamu."

Hingga hari ini,

empat tahun sesudahnya,

pria jangkung itu benar-benar menepati janjinya.

.
.
.

"Koh, gimana kalau kita berhenti sampe sini aja?"

Satu kalimat meluncur bebas dari mulut Ahsan, membuat Hendra hampir tersedak ludahnya sendiri. Bagaimana tidak? Tiba-tiba sekali pria itu mengucapkan kalimat yang sama sekali tidak pernah terpikir olehnya. Jangankan dipikir, bahkan melintas sepersekian detik saja tidak pernah ada dalam benaknya.

Hendra mengatur napasnya, mencoba untuk membuat dirinya tenang. Meski pria di hadapannya menunjukkan sikap yang sama sekali enggan untuk ia lihat. Tertunduk lemah sambil memainkan setusuk odeng di dalam mangkuk kertas.

Hendra mengingat-ingat peristiwa dua jam sebelum ia pergi meninggalkan Ahsan sendirian di dalam kamar. Seingatnya, pria kecil itu masih tampak baik-baik saja duduk di depan TV. Bahkan ia masih sangat bersemangat meminta dibelikan odeng oleh Hendra. Lalu, mengapa tiba-tiba sekali pria dihadapannya itu berganti kepribadian 180 derajat?

Tidak! Ini bukan Ahsan yang Hendra kenal!

"Kamu bicara apa sih, San? Apanya yang berhenti?" tanya Hendra dengan tatapan heran. Nadanya sedikit meninggi karena kesal. Bukan, bukan kesal pada Ahsan. Tetapi dengan apa yang baru saja diutarakan pria itu.

"Ya itu," jawab Ahsan singkat.

"Ya apa?" tanya Hendra lagi.

"Berhenti."

"Maksudmu?"

"Kita berhenti main,"

"Hah!?"

Tunggu, tunggu, tunggu.

Ini beneran Mohammad Ahsan kan?

Rasanya Hendra ingin menampar wajahnya sendiri untuk membuktikan bahwa semua hanyalah mimpi. Tapi sensasi dingin yang ia rasa melalui kulit kakinya saat menyentuh lantai kamar membuatnya tersadar bahwa semua ini adalah nyata. Ya, Mohammad Ahsan yang dikenalnya saat ini masuk ke dalam fase sedang tidak baik-baik saja. Tapi kenapa?

"Kamu beneran, San?"

Ahsan hanya membalas dengan senyuman. Entahlah. Ia sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya. Mungkin tadi ia hanya ngelantur saja. Atau mungkin terbawa emosi dan suasana.

Terbawa emosi dan suasana?

Ya, sepertinya empat kata di atas sangat cocok untuk menggambarkan kondisi hatinya saat ini.

Barangkali larangan untuk tidak membuka sosial media selepas bertanding adalah sesuatu hal yang tepat. Tentu, aturan ini juga berlaku untuknya. Seharusnya. Namun apa daya, rasa penasaran yang tinggi membuatnya melanggar aturan tersebut. Pada akhirnya ia harus menanggung segala konsekuensinya sendiri.

Sejujurnya, ia sudah sangat terbiasa dengan berbagai macam komentar pedas yang ditujukan padanya maupun kepada mereka berdua. Saking terbiasanya, ia sampai hapal betul kata-kata yang sering digunakan oleh netizen untuk 'menyerang' mereka berdua. Pensiun, penghambat, sudah waktunya, bukan eranya lagi, dan kata-kata semacamnya sangat sering ia jumpai. Komentar-komentar seperti itu bagaikan template yang akan terus digunakan oleh netizen selama mereka berdua berkarir di lapangan.

Sandyakala (The Daddies story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang