"Apapun putusan kalian, saya percaya itu jalan yang terbaik. Saya yakin kalian yang jauh lebih paham dibandingkan orang lain." -Rudy Roedyanto
Basel, 22 Maret 2022Berkali-kali Ahsan melirik jam di dalam ponselnya. Sudah jam setengah sepuluh malam. Pria itu mulai gelisah. Hendra yang ditunggu belum juga pulang. Sejak mereka sampai di hotel tempat mereka menginap, Hendra yang baru meletakkan kopernya di pojok ruangan langsung meminta ijin ke Ahsan untuk pergi ke luar sebentar. Ada sesuatu yang pengen dibeli, katanya.
Ahsan sempat menawarkan diri untuk menemani Hendra, namun dengan cepat ditolak olehnya. Ia beralasan bahwa Ahsan harus banyak istirahat setelah perjalanan panjang tadi, apalagi besok mereka sudah harus kembali bertanding di Swiss Open 2022. Alasan tersebut cukup logis menurutnya dan ia pun mengiyakan ucapan Hendra meski dengan berat hati.
Tok-tok-tok
Ahsan mengangkat kepalanya. Senyumnya seketika mengembang. Sosok yang sedari tadi ditunggunya akhirnya datang. Dengan cepat Ahsan meraih gagang pintu dan membukanya.
"BABAH!!"
Seorang laki-laki berkepala botak tersenyum lebar berdiri di muka pintu. Di belakangnya ada dua orang lagi yang melambaikan tangan ke arah Ahsan. Salah satu di antara mereka membawa sebuah bingkisan makanan.
Ahsan terkejut melihat ketiga anak angkatnya itu. Ah, ternyata bukan sosok Hendra yang sedari tadi ditunggunya. Sejujurnya, Ahsan sedikit kecewa. Sampai detik ini Hendra belum memberi kabar padanya. Bahkan teleponnya susah dihubungi. Ahsan segera mempersilahkan ketiga anaknya masuk ke dalam kamar.
Ahsan menutup pintu kamar. Sesaat kemudian ia terdiam. Ia baru sadar, bagaimana mereka bertiga bisa tau kamar tempatnya dan Hendra menginap. Padahal sejak kedatangannya di Basel tadi sore, baik Ahsan maupun Hendra belum ada yang memberi kabar kepada siapa pun kecuali keluarga mereka di Indonesia.
"Babah nih ya, bikin panik banyak orang aja pake terdampar segala," protes Leo. Anak itu duduk di atas tempat tidur Ahsan sambil memeluk bantal. Sedangkan Bagas dan Pram duduk di sisi tempat tidur Ahsan. Sebuah bingkisan makanan yang tadi dibawa Pram diletakkannya di atas meja.
"Haha, panik ya? Panik ya?" ledek Ahsan sambil menunjuk ketiga anaknya itu. Bagas dan Pram terkekeh.
"Bah, tau gak sih? Tadi anak-anak geger pas ngeliat status Babah di Instagram. Kepikiran takutnya kalian kenapa-napa tau. Apalagi Babah kan lagi sakit gini," jelas Bagas. Pram mengangguk-angguk.
"Haha, iya deh iya. Maafin saya ya udah buat banyak orang khawatir, hihi."
Leo, Bagas, dan Pram mengangguk-angguk.
"Oh ya, kalian tau saya sama Kohen nginep di sini dari siapa? Soalnya sampe sekarang belom ada anak badminton yang saya kabari."
"Oh itu," Pram bangkit dari duduknya. Ia mengambil bingkisan yang tadi diletakkan di atas meja dan memberikannya ke Ahsan. "Tadi kami ketemu Koh Hendra di jalan. Trus dia nitip ini ke kami buat Babah. Katanya dia agak telat soalnya mau ketemu orang dulu," lanjutnya.
"Ah, oke deh. Makasih ya!"
***
"Ahsan gimana kabarnya?"
Pria itu menyeruput kopinya yang masih panas, "Baik, Koh," jawabnya. Diletakkan kembali gelas kopinya di atas meja.
Koh Rudy menghela napas lega. Pria itu bersandar pada sandaran kursi sambil memegang gelas kopi yang sama seperti apa yang dipesan Hendra. Sesaat terjadi kekosongan di antara mereka berdua. Hendra menggenggam gelas kopinya dengan kedua tangan. Pandangannya menerawang jauh ke luar jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala (The Daddies story)
Fanfic"Koh, terima kasih sudah menerima dan menjadi tempat ternyaman buat Ahsan." -Mohammad Ahsan. "San. Apapun yang terjadi saya akan selalu ada buatmu. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik buat saya." -Hendra Setiawan (((Sandyakala: Cahaya merah s...