Ketika jiwa menghilang, raga pun tak lagi berjalan. Kehidupan selesai, menyisakan kenangan tak berarti. Meski begitu, ditinggalkan oleh orang terkasih adalah hal berat, sehingga hidup tak boleh berhenti hanya karena orang terkasih telah pergi. Hidup hanya sekali, maka gunakan waktu untuk membuat dirimu mengerti banyak hal sebelum datang kematian.
Saat semuanya terasa sulit, hanya diri sendiri yang mampu menopang. Namun, tidak selamanya rasa sedih akan selalu menetap. Ada kalahnya bahagia terasa dekat, caranya adalah bersabar untuk menunggu. Semua hal baik akan datang pada waktunya.
Malam yang dingin, setelah bunga khas pemakaman dibersihkan, kembar Talavir tidur bersama. Tubuh mereka baik-baik saja, tetapi tidak dengan mental. Ramalan penyihir Zovela mulai muncul di permukaan. Sebuah malapetaka tidak lagi bisa dihindari, semua harus dihadapi.
“Thea, tidurlah.”
Gadis itu masih membuka mata, pikirannya melayang saat Elwanda mengembuskan napas terakhir. Ia tidak bisa melupakan saat itu, waktu terakhir mata ibunya terbuka. Kini, ramalan penyihir Zovela mulai berjalan satu per satu, Thea masih tidak siap jika kehilangan lagi. Kepergian Elwanda cukup mengguncang mental.
Cal bersandar sembari mengelus kepala kembarannya agar tertidur, tetapi sudah satu jam ia melakukan itu tetap saja Thea tidak tidur. Perjalanan mencari air mata Pii seolah sia-sia, ia terlambat datang. Salahkan saja dirinya karena terlalu lemah sampai tak sadarkan diri.
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, tidak ada yang menyangka kepergian Elwanda begitu menyisakan luka bagi kembar Talavir. Kini, tersisa Drake sebagai Ayah sekaligus Ibu untuk keduanya. Tidak akan ada Ibu pengganti, hanya ada Elwanda sebagai Ibu kandung.
“Saat Ibu mengucapkan kata terakhirnya, kau di mana, Cal?”
Akhirnya, pertanyaan itu muncul. Cal tak bisa berbohong, tetapi ia tidak mampu mengatakannya untuk saat ini. Terlebih kondisi Thea pasti begitu lemah karena kepergian Elwanda. Cal harus kuat untuk kembarannya, sebagai penopang dan tempat bersandar. “Kau … bisa menunggu sampai semuanya membaik, Thea?”
“Baiklah. Namun, Kau harus mengatakannya, janji?”
Cal mengangguk. “Janji.”
Thea pun tertidur setelahnya, Cal berpikir jika gadis itu memikirkan dirinya pergi di saat terakhir Elwanda. Ia tidak tahu bagaimana wajah ibunya sebelum pergi, jika saja Cal bisa lebih cepat dan tidak lemah, mungkin Elwanda masih ada sampai saat ini.
Semua salahnya terlalu lemah dan bodoh. Setelah ini Cal akan berusahan untuk menjadi lebih kuat. Cal pun membenarkan selimut gadis itu, kemudian tidur di samping kembarannya. Ia harap hari esok lebih cerah tanpa awan hitam menghiasi.
Maaf, Bu. Cal terlalu lemah.
Tanpa Cal tahu, Thea sebenarnya hanya pura-pura memejamkan mata. Hati serta pikirannya masih melayang entah ke mana. Ia tak yakin semua akan baik-baik saja setelah ini, kepergian Elwanda seolah pembukaan dari berbagai malapetaka yang akan terjadi. Meski hanya perasaannya saja, tetapi bersiap untuk kemungkinan terburuk adalah jalan yang tepat.
Tiga puluh menit berlalu, Thea masih belum bisa memejamkan mata. Gadis itu mengembuskan napas pelan, kemudian turun dari kasur. Tenggorokannya terasa kering, persediaan air di kamarnya juga sudah habis. Thea menutup pintu sepelan mungkin agar tidak membangunkan Cal.
Lantai rumah terasa dingin, cahaya bulan menyinari tangga. Thea pun turun dengan langkah lemas, tetapi di anak tangga terakhir ada sesuatu yang membuat ia berhenti. Penglihatannya tidak mungkin salah, ia melihat jika Sarra memberikan sesuatu pada Drake.
“Sarra … apa yang wanita itu lakukan pada Ayah?”☠☠☠
Thea berjalan di lorong Academy, beberapa siswa lain mengucapkan kata ‘sabar’ untuk menghiburnya. Cukup sulit memang menerima semuanya begitu cepat, tetapi Thea tidak akan menyerah begitu saja. Elwanda memberi pesan untuk Cal juga dirinya.
Setelah seminggu, kembar Talavir baru menginjakkan kaki di Academy karena Drake menyuruh mereka untuk beristirahat lebih dulu. Meski begitu, mereka lebih nyaman saat Sarra tak sedang berkunjung. Wanita itu walau suka memasakan di rumah seolah mengantikan Elwanda, kembar Talavir tetap tidak suka perangai Sarra.“Selamat sore, Mr. Olyver,” sapa Thea saat berpapasan.
Guru muda itu terlihat gelisah, ia mengembuskan napas. “Selamat sore, Thea. Kau … mau menemui Cal? Anak itu berada di ruang ramuan, sulit sekali mengajaknya pergi. Hari makin sore, ajak anak itu pulang.”
“Baik, Mr. Olyver.”
Mr. Olyver merasa bersalah, ia tidak membantu banyak. Semuanya terlambat. Keluarga Talavir kehilangan salah satu penopangnya. Maaf, Cal.
Sementara, Thea sudah berada di depan ruang ramuan, ia membuka pintu lantas masuk. Bisa ia lihat jika Cal hanya menatap keluar jendela tanpa melakukan kebiasannya, yaitu membuat ramuan aneh. Efek kepergian Elwanda sangat berpengaruh.
“Kau tidak ingin pulang, Cal?”
Pemilik sayap air itu tersentak, ia tak sadar jika Thea berada di ruangan ini. “Ah, kau. Mungkin lima menit lagi.”
Thea mengangguk, kemudian duduk di salah satu bangku kecil. Ia melihat satu meja penuh dengan berbagai macam tumbuhan aneh, cairan di tabung reaksi, serta tanaman layu. Eksperimen yang Cal lakukan memang menggunakan tumbuhan kecil untuk melihat apakah ramuannya berhasil atau tidak.
Tangan Thea berada di atas tanaman layu tersebut, ia mengucapkan selarik mantra. cahaya hijau membungkus serta menyembuhkan tumbuhan kecil itu, hingga bewarna hijau muda lagi. Meski terlihat sederhana, Thea bersyukur bisa menyembuhkan tanaman tersebut.
“Sepertinya kekuatanmu sudah berkembang pesat,” komentar Cal setelah kembarannya menghidupkan kembali tumbuhan layu bekas eksperimennya. “Nanti akan kuberikan gelas air untukmu.”
Thea mengangkat bahu. “Yeah. Kau selalu memiliki barang-barang aneh, contoh saja gelang berbentuk air. Apakah nanti di gelang itu akan ada ikan kecil?”
Tawa Cal mengudara, sederhana sekali membuat dirinya merasakan bahagia setelah bersedih. Mereka saling menguatkan meski batin terluka. Bahkan, ke mana-mana saja harus tetap saling mengabari apapun caranya.
Cal mengambil sesuatu di tas, kemudian memberikannya pada Thea. “Mungkin kunciran ini terlihat aneh. Mr. Olyver yang mengajariku membuatnya, semoga kau suka.”
Kunciran bewarna cokelat berupa jalinan akar. Kemudian, disempurnakan dengan bunga kecil yang menutupi seluruh bagian. Terlihat manis dan sederhana. Thea pun menggunakannya, ia suka dengan warna bunganya, putih.
“Ini cukup bagus. Nanti kubuatkan kue untukmu.”
Cal mengangguk. “Ayo, pulang.”
Keduanya tidak menggunakan SkyBot, melainkan balapan terbang menuju rumah. Sesekali hampir menabrak pengguna jalan yang melintas. Pusat kota tengah ramai sekali hari ini, meski tidak ada acara atau perayaan apapun.
Setelah lima menit terbang, akhirnya Cal memenangkan kontes terbang cepat. Ia tertawa kecil melihat Thea kelelahan. Mereka pun masuk ke dalam rumah, tetapi ada berbagai tas daun untuk berbelanja mengisi ruang tamu.
Tas daun khusus untuk berbelanja, semua itu terisi oleh pakaian, sepatu, dan rias wajah. Keduanya bingung memlihat semua itu. Namun, suara langkah kaki di ujung tangga menjelaskan banyak hal. Mereka melihat Drake memegang pinggang Sarra, serta dua remaja seumuran Cal dan Thea berada di sisi Sarra.
“Cal. Thea. Ayah akan menikah dengan Sarra.”
☠☠☠
KAMU SEDANG MEMBACA
[Journey to Escape Death] - [Fairland] [TAMAT]
FantasyCerita ini diikutsertakan dalam Arena Homebattle Anfight. ☠☠☠ Kematian menjadi garis akhir kehidupan. Warna-warni indah seketika menjadi hitam pekat, menyisakan ruang tanpa ujung. Berlari maupun berjalan, tak akan pernah sampai. Ketika dua manusia...