“Bagaimana ini, Cal?”
Mereka bukan lagi berada di wilayah peri, melainkan ranah para Wizard. Tepatnya di hutan Warlock. Keduanya tidak tahu bagaimana Sarra mampu melakukan sesuatu sampai sejauh ini. Kali ini masalahnya lebih berat, selain risiko bertemu Warlock, pulang menuju wilayah peri harus melintasi laut. Bagi mereka bukan hal mudah, tetapi untuk bertahan hidup setidaknya sampai menemukan jalan ke luar masih bisa diusahan.
Cal memegang pedang tempaan orang kenalannya. Benda itu sudah ia beli untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu tak diinginkan. Pengunaan bubuk pada bilah pedang membuat senjata laras panjang itu cukup ringan saat digunakan. Meski Cal kesulitan meminta dibuatkan benda ini, sedikit wajah memelas mampu meluluhkan orang dewasa.
“Jangan takut, hatiku merasa akan ada pertolongan nanti. Kita hanya perlu mencari jalan ke luar. Kau membawa Mox, kan?”
Sesampainya mereka di tempat ini, tubuh kecil peri pun menyesuaikan perubahan menjadi tubuh manusia. Maka dari itu Cal menyadari, ketika Sarra membawa mereka ke luar wilayah Fairland. Tempat ini tidak jauh berbeda dengan Xac Lost, tetapi Cal rasa belum sampai ke tengah hutan tempat Warlock berkumpul. Ia mengetahui tempat ini adalah hutan Warlock karena lambang topi penyihir serta tongkat terukir di beberapa pohon.
Thea mengangguk, ia membuat Mox berbeda kali ini. Sedikit bantuan Mr. Vernon ciptaannya kali ini mampu membuat perisai kuat dengan bahan kristal. Thea juga harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli kristal terbaik. Pengalaman di Xac Lost membuat ia mengerti kalau perisai sangat dibutuhkan.
Gadis itu menyalakan Mox lainnya agar terbang ke udara memantau situasi. Di kelopak bunga, Thea memerhatikan rekaman yang ditangkap benda itu. Meski tidak ada keanehan di sini, mereka harus waspada. Mox itu pun sampai di pinggiran wilayah Warlock. Ternyata tempat kembar Talavir berdiri dengan perbatasan tidak begitu jauh.
“Kau mau menggunakan sayap, Mox, atau jalan untuk sampai ke perbatasan?” tanya Thea.
Cal melihat sekeliling. “Lebih baik kita jalan saja. Menggunakan sayap peri tidak menjamin kita aman, apalagi Mox berukuran besar,” jelas Cal.
“Baiklah.”
Keduanya berjalan sembari memperhatikan kelopak bunga yang terhubung dengan Mox. Setidaknya mereka tidak akan tersesat dengan petunjuk jalan. Thea mengernyit saat rekaman Mox memperlihatkan sebuah rumah yang tidak jauh dari perbatasan.
“Mungkin kita bisa singgah di sini? Penghuni rumah ini bisa saja penjaga perbatasan baik hati,” kata Thea.Cal tidak setuju, tetapi melihat wajah lelah kembarannya membuat ia mengangguk. Tiba-tiba, keduanya dikejutkan oleh suara seseorang.
“Kalian tersesat?”
Mereka bersiap siaga, Cal sudah memegang gagang pedang erat, sedangkan Thea bersiap dengan sulur tanaman. Seseorang itu tertawa kecil melihat dua anak berwajah mirip seolah takut padanya. Ia hanya bertanya. Apa mungkin tudungnya terlalu menyeramkan bagai kedua anak itu?
“Kalian takut karena wajahku tertutup tudung?”
Thea menggeleng. “Siapa pun kau, kami tidak akan lengah!”
“Baiklah, anak-anak.”
Seseorang itu membuka tudungnya. Wajah mulus tanpa luka, rambut serta pakaian unggu, dan dua iris berbeda warna. Ia juga membawa tongkat kayu, khas penyihir. Meski sudah menunjukkan identitasnya, kedua anak peri di depannya masih mempertahankan kuda-kuda untuk menyerang. “Masih ingin menyerangku?”
“Kau siapa?”
Penyihir itu merapikan rambutanya. “Perkenalkan, namaku Haza. Penjaga perbatasan. Jika kalian melihat rumah di dekat perbatasan, itulah kediamanku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[Journey to Escape Death] - [Fairland] [TAMAT]
FantasyCerita ini diikutsertakan dalam Arena Homebattle Anfight. ☠☠☠ Kematian menjadi garis akhir kehidupan. Warna-warni indah seketika menjadi hitam pekat, menyisakan ruang tanpa ujung. Berlari maupun berjalan, tak akan pernah sampai. Ketika dua manusia...