4. Threats

7 3 0
                                    

“Ibu!”

Thea segera terbang ke bawah menuju sumber suara. “Bu, kau di mana?” Saat terdengar isak tangis di kamar orang tuanya, ia bergegas ke sana. Thea terkejut saat jendela kamar ibunya pecah, menyisakan beberapa beling. Angin berembus kencang, terakhir ia melihat Elwanda terduduk sambil menangis. “Bu!”

Cal tersentak saat suara Elwanda terdengar, tak lama Thea pun berteriak. Remaja itu meruntuki dirinya karena emosi selalu membuat ia kacau. Menuju kamar orang tuanya, dua perempuan paling disayangi Cal sudah terduduk sembari berpelukan.

Kamar itu seperti diserang sesuatu, padahal ia merasa aman saat di kamar. Tak ada badai atau apapun. Para pekerja pun tak berteriak atau mengunjungi rumah. jika ada badai mereka akan melapor ke Cal atau ibunya. Namun, kejadian ini seperti tanda bahaya atau ancaman.

“Jangan sentuh pecahan kaca.” Cal memperingati Thea, kemudian membereskan semua pecahan itu lantas membuangnya. “Cal akan memanggil Ayah dan healer!”

“Jangan!” sela Elwanda.

Cal mengernyit. “Bu, tanganmu terluka!”

“Panggilkan saja Drake,” lirih Elwanda.

“Baiklah. Thea, jaga Ibu.”

Gadis berambut merah itu tertegun, ia mengangguk singkat, masih memeluk sang Ibu. Setelah kepergian Cal, Thea pergi mengambil air untuk membersikan jari Elwanda. Secara hati-hati, ia membersihkan darah segar yang terus mengalir. Di hati kecilnya, ia tidak tega melihat jemari yang selalu menyisir rambut lurus miliknya terluka. “Apakah sakit?”

“Tidak. Jangan menangis. Lihat, kakakmu sudah tidak marah, kan?” Elwanda berusaha menghibur meski dalam hatinya tak baik-baik saja. Anak-anak tak boleh tahu kejadian sebenarnya. Hanya Drake dan dirinya saja.

Tak lama terdengar suara gaduh di depan pintu utama. Thea dan Elwanda saling tatap. Mereka takut jika ada sesuatu, entah bagaimana kejadian ini membuat mereka seperti dihantui sesuatu meski baru sekali terjadi.

“Elwanda!”

Drake langsung memeluk istrinya. Sedangkan, Thea membereskan peralatannya dan meletakkan di dapur. Hari ini begitu berat. Sebuah ramalan, kemarahan Cal, dan terakhir teriakan sang Ibu. Rasanya ucapan sang Penyihir terasa nyata. Tanpa sadar, Thea kembali menangis. Ia tidak ingin menjadi gadis cengeng, tetapi semua kejadian ini terasa beruntut dan membuatnya tertekan.

Cal keluar dari kamar orang tuanya untuk memberikan privasi. Saat ia mengabari ada hal aneh di rumah, Drake terbang cepat menuju rumah pohon. Pria itu seolah kehilangan hal paling berharga. Cal saja tertinggal jauh karena tak bisa menyeimbangkan kecepatan sayap ayahnya. Memasuki dapur, ia medengar suara tangis Thea. Cal melihat gadis itu menangis di meja makan. Perasaan bersalah langsung menyelimuti hati Cal.

“Thea.”

Gadis itu melirik ke arah kembarannya. “Cal.”

Cal segera memeluk Thea. Ikatan batin keduanya cukup membuat Cal paham apa yang dirasakan Thea. Sikapnya beberapa jam lalu juga membuat gadis itu pasti tertekan. “Maaf. Jangan menangis. Cal berjanji pada Ayah untuk membuat Thea selalu tersenyum. Maaf.”

Dalam pelukan hangat itu, Thea menangis. Ia harap kejadian ini tak terulang lagi. Namun, seolah kenyataan menolak harapannya, bau amis darah menyengat indra penciuman  keduanya. Seketika, Cal melepas pelukan Thea. Mereka terbang menuju ke luar rumah pohon. Tak ada apapun selain para peri yang bekerja dan berlalu-lalang.

“Bau amis darah, tetapi di mana?” Cal memegang tangan Thea erat. Takut kejadian serupa datang kembali. Bau darah itu tidak hilang selama beberapa menit. Mereka tidak berani mengganggu orang tuanya di kamar.

“Cal. Thea!”

☠☠☠

Setelah peristiwa aneh tersebut, keluarga Talavir sering mendapat teror aneh. Mereka tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat, sehingga datang hal semacam ini. Kejadian harum darah waktu itu bertahan sampai malam tiba, Tuan dan Nyonya Talavir menyuruh Thea dan Cal untuk tidur di kamar mereka. Saat jam dua belas tepat, barulah bau amis itu menghilang. Saat bertanya pada peri penghuni rumah jamur, tidak ada keanehan yang terjadi. Semua ini seperti misteri.

Tiga hari kemudian, mereka kembali kedatangan sesuatu tak terduga. Kotak dari peri pengantar surat memberikan kiriman. Padahal mereka tidak memesan apapun dari toko di pasar. Merasa curiga dan ingin tahu, Thea membukanya tanpa sepengetahuan Cal, Elwanda, dan Drake. Gadis itu begitu terkejut saat pakaian ibunya berada di dalam kotak dengan darah amis melumuri. Setelah itu, Thea tidak masuk sekolah beberapa hari karena terlalu syok.

Bukan hanya Thea, tetapi seluruh anggota keluarga. Mereka seperti diawasi oleh seseorang, tiap hari mereka didatangi bau amis darah dan akan hilang pukul dua belas malam. Setelah itu, terdengar suara benda dijatuhkan atau lainnya. Namun, semua hal itu tak terjadi pada peri yang tinggal satu batang pohon dengan keluarga Talavir. Hanya mereka saja.

“Cal, kau percaya jika ramalan itu benar-benar nyata?” tanya Thea takut. Ramalan penyihir seolah benar terjadi. Saat Thea secara diam-diam mengunjungi kembali tempat Zovela, tenda tersebut hilang. Tidak ada apapun di sana. Saat bertanya pada peri lain, mereka mengatakan tak pernah mengenal Penyihir Zovela dan tak pernah ada tempat ramalan di Arnstey. Seolah semua ramalan tersebut tak nyata juga Zovela sendiri. Namun, sayap daun di punggungnya menyadarkan Thea kalau semua itu adalah benar dan nyata.

Pukul satu malam, kembar Talavir belum memejamkan mata. Bau amis darah sudah hilang satu jam lalu. Mereka seolah terbiasa dengan hal itu, dua atau tiga pengharum ruangan yang Cal buat di Academy ia letakkan di sudut rumah pohon. Namun, semua itu tak berguna. Bau amis darah tetap saja menguar seolah ada pengendalinya. Ingin melakukan sesuatu, tetapi selalu tertahan. Akhirnya Tuan Talavir membiarkan semua ini.

“Kau sudah tahu sejak awal, jika ramalan adalah satu dari sekian banyak yang kubenci.”  Cal menatap tajam Thea. Gadis itu menyembunyikan sesuatu. “Katakan dengan jujur, jangan berbohong, Thea. Kau tak pandai melakukannya.”

Thea menumbuhkan sayap daun. Ia melihat sekilas lantas menyentuhnya. “Jika Penyihir Zovela tak nyata, mengapa sayap ini ada. Kalau semua orang tak mengenal atau ingat pada sosok peramal Arnstey, bagaimana tanda di pergelangan tangan masih terukir?”

“Apa maksudmu?” Cal duduk setelah meletakkan buku di meja. “Kau melakukan sesuatu?”

Sayap daun Thea mengepak beberapa kali sampai ia terangkat, terbang. Gadis itu juga menunjukkan tanda yang dibuat oleh Penyihir Zovela di pergelangan tangan. Sulur tanaman mulai tumbuh dari telapak tangan dan menyingkap sedikit pakaian Cal untuk membuka tanda miliki kembarannya. “Di pergelanganmu terdapat tanda. Kita melihat sendiri jika penyihir memang ada. Namun, semua orang mengatakan jika tak pernah ada nama Zovel sebagai seorang peramal!”

“Bagaimana mungkin? Jelas sekali ia nyata. Bahkan, kita dibuat pingsan!” Cal merenung. “Kau mendatangi tempat itu saat kita tak pulang sekolah bersama?”

Thea mengangguk pelan, takut jika Cal marah.

“Kau!” Cal gusar. “Kita seolah sedang diteror, jangan melakukan hal bodoh jika tidak ingin celaka!”

“Maaf, Cal.”

Saat Cal ingin menatakan sesuatu, kertas ajaib masuk lewat jendela kayu. Di sana tertulis ‘besok kita akan pindah. Bereskan semua barang-barang kalian, jangan sampai ada yang tertinggal’. Cal mengembuskan napas, mengontrol emosi agar tidak meledak. Ketakutannya seolah diuji oleh Thea, jka gadis itu terluka, maka Cal akan merasa bersalah. “Kau tidur saja. Biar barang-barang kubereskan.”

Maaf, Cal. 

☠☠☠

[Journey to Escape Death] - [Fairland] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang