Hari itu, langit terbentang cerah, dihiasi oleh hamparan awan yang lembut bak kapas. Namun, di balik keceriaan cuaca itu, sebuah tragedi menghantam Kerajaan Obelia dengan kekejamannya.
Pada hari nahas itu, Athanasia muntah darah dan hampir menemui ajal. Dengan kesetiaan tanpa batas, ia menemani Athanasia di kamar, tanpa sedikit pun keluh kesah. Claude, sang kaisar, tidak menolak kehadirannya. Kadang, ia menyaksikan para penyihir yang dihukum di hadapan Claude dan mendengar ucapan pedas yang keluar dari bibir sang raja. Setiap malam, ia setia mendampingi Athanasia, anak dari temannya yang harus ia lindungi dari kekejaman kaisar.
Namun, tanpa diduga, ternyata sang kaisar tirani masih menyimpan sekelumit kasih sayang di dalam hatinya untuk anak perempuannya.
Berhari-hari berubah menjadi berminggu-minggu, tanpa terasa sudah satu bulan penuh dirinya bermalam di kamar Athanasia. Ia mengganti pakaian Athanasia, merawatnya dengan penuh kasih sayang, dan memastikan setiap kebutuhan terpenuhi. Lily berkali-kali memohon dan mendesak agar ia beristirahat dan bergantian menjaga Athanasia, namun ia tetap teguh. Hingga akhirnya, ketika Claude memerintahkannya dengan tegas untuk berhenti menjaga putrinya, ia terpaksa berganti dengan Lily dan berpindah tugas menjaga kaisar tirani yang tengah dilanda depresi.
"Ada apa?" tanya (name), terduduk di sofa kamar Claude, dengan kepala Claude terbaring di pangkuannya. Ia tidak mampu menolak permintaan sang raja. "Aku bermimpi tentang perempuan itu..." suara pria itu terdengar teduh, mata berliannya melirik wajah perempuan yang berada di atasnya. (Name) hanya menghela napas panjang, merasa terbebani oleh beban Athanasia dan kini juga ayahnya. "Sudah kukatakan, bukan? Ka-" "Jangan menasihatiku dengan kalimat itu lagi," potong sang kaisar dengan tegas. Tatapannya kini menajam sebelum memejamkan mata dengan paksa, seakan ingin melarikan diri dari kenyataan.
"Claude, apa kau tidak khawatir dengan anakmu...bagaimanapun juga..."
Waktu telah berlalu, dan akhirnya seorang penyihir dengan kekuatan sihir yang luar biasa tiba di Kerajaan, berhasil menyembuhkan sang putri dari tidur panjangnya. Kini, seorang perempuan berambut cokelat dengan surai panjang sedang berada di dapur istana. Ia diperintahkan untuk memilih makanan untuk sang penyihir cilik yang menjadi buah bibir hari ini, lebih sering dihubungi oleh para pelayan yang sering bekerja di sekitar istana daripada dirinya yang hanya menemani Athanasia dan menggantikan Lily.
Dengan hati-hati, ia memilih cemilan yang disukai oleh anak-anak, dan tidak lupa merekomendasikan makanan favorit yang pernah ia curi dari dapur istana.
"Minumannya terserah kalian saja, saya akan membawakan cemilan ini sekarang," ucap (name). Para pelayan junior yang lain hanya mengangguk dan kembali fokus pada tugas mereka.
Ketika berjalan di lorong-lorong istana, kadang-kadang (name) mendengar teriakan dari para penyihir yang gagal menyembuhkan sang putri. Di istana Obelia, hukuman mati bagi mereka sudah menjadi hal biasa. Pemimpinnya memang dikenal kejam.
Menelusuri lorong yang panjang dan mendaki ribuan anak tangga, perjalanan dari dapur ke kamar sang Putri terasa jauh. Orang-orang istana ini pasti memiliki betis yang kuat. Sesampainya di depan pintu kamar sang Putri, (name) mengetuk pelan pintu yang besar itu sebelum dengan penuh tenaga membukanya. Pintu istana memang berat untuk dibuka, namun ia berhasil melakukannya.
"(Name)? Ah, syukurlah..." batin Athanasia.
Seperti kejadian sebelumnya, tatapan mereka saling bertemu, menciptakan perasaan aneh yang tidak bisa (name) jelaskan lebih lanjut. Baginya, yang tidak terbiasa dengan perasaan dan denyut jantungnya ketika menatap sang penyihir cilik yang begitu imut. Saat memperhatikan lebih dekat fisik sang penyihir, ia merasa ada kefamiliaran dengan anak laki-laki yang berada di hadapannya. Ataukah ini hanya perasaan déjà vu belaka?
(Name) masih berdiri terdiam, menatap sang penyihir. Ia masih memegang nampan yang berisi cemilan enak. "(Name)..." panggil Athanasia, menarik sedikit gaun pelayan yang dikenakannya.
Ketika menyadari perilakunya yang kaku di hadapan sang putri dan penyihir, (name) merasa sedikit canggung saat meletakkan cemilan tersebut. "Terima kasih, nona cantik!" ucap Lucas dengan senyum manis ala anak-anak.
Kedua perempuan di hadapannya terdiam, terutama Athanasia yang terlihat aneh dan merasa jijik. (Name) merasa berada dalam frekuensi yang sama dengan majikan dan temannya dalam hal ini.
(Name) membalikkan badannya, menghadap sang putri yang duduk dengan anggun. Ia sedikit membungkuk dan berbisik pada sang putri, "Kita sepertinya pernah bertemu dengannya? Apakah Anda ingat, Tuan Putri?" Bisikannya halus, sementara matanya tetap terpaku pada gerak-gerik sang penyihir imut yang sedang menikmati cemilan tadi. "(Name), dia itu kakak pe-!" Kalimat Athanasia terpotong tiba-tiba. (Name) menunggu dengan ekspresi heran, memandang Athanasia yang tiba-tiba berhenti bicara.
Tentu saja, hal ini berkaitan dengan rahasia antara Athanasia dan penyihir cilik bernama Lucas. Bagaimanapun juga, sang tuan akan mendekati perempuan itu dengan cara yang tepat, meskipun sosok mungil seperti ini tidak masalah baginya.
Tatapan tajam Athanasia dilemparkan ke arah Lucas, namun Lucas tampak acuh dan hanya tersenyum licik dengan gayanya yang khas.
"Ada apa, Tuan Putri? Apakah Anda baik-baik saja?" ucap (name). Athanasia hanya menjawab dengan senyum manis dan mengangguk, belum bisa mengeluarkan suara.
(Name) kembali berdiri tegak dan hendak pergi dari situ. Namun sebelum itu, ia sekali lagi bertatap mata dengan Lucas. Perasaan aneh kembali muncul, rasa penasaran terhadap penyihir muda itu semakin besar. "Siapa nama Anda, penyihir muda?" tanya (name), kalimat yang keluar begitu saja dari bibirnya.
"Lucas, salam kenal ya nona cantik."
Apa itu termasuk dari sihirnya?
selebihnya buat yang belum ngerti iris mata (name) yang selalu saya deskripsi; iris mata biru seperti langit malam seperti ini ya.
Revisi selesai
12-07-24
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐔𝐏𝐄𝐑𝐅𝐈𝐂𝐈𝐀𝐋 𝐋𝐎𝐕𝐄 : Lucas -𝐄𝐍𝐃-
FanficADA CERITA LAIN BUAT FANFIC LUCAS Kehilangan sosok yang dicintai adalah luka yang begitu besar, bahkan seorang penyihir pun tidak dapat mengatasi hal itu. Semua ia lakukan hanya untuk menghilangkan rasa sedihnya, bahkan ia rela tertidur seribu tahun...