Malam itu, sang penyihir muda diresmikan sebagai penyihir istana Kerajaan Obelia, sekaligus menjadi teman bicara Putri Athanasia, menggantikan (nama) untuk sementara waktu. Keputusan itu dibuat oleh Raja Claude yang sangat membutuhkan pelayan pribadinya setelah Felix, tangan kanannya, harus absen.
Dengan langkah gontai, (nama) kembali ke rumahnya yang berada tak jauh dari istana utama, masih dalam wilayah Kerajaan Obelia. Wajahnya pucat, matanya memerah karena kelelahan, dan lehernya dipenuhi memar-memar yang tidak jelas asal-usulnya. Seperti dedaunan yang layu diterpa angin malam, ia tampak rapuh dan terluka, seolah-olah beban dunia telah jatuh di pundaknya.
Memasuki kamarnya, ia menjalani rutinitasnya seperti biasa. Berendam dalam air hangat, menikmati makan malam yang sederhana, lalu bersiap untuk tidur. Ia tak memperhatikan keanehan hawa rumahnya yang terasa berbeda, dan mengabaikan perasaan canggung yang menyelimutinya.
"Kenapa terasa begitu aneh? Mungkin karena terlalu lelah. Setelah ini, saya akan tidur," gumamnya pelan. Dengan hati-hati, ia melepaskan gaun pelayanannya. Namun, ada perasaan ganjil yang menyelinap di hatinya-malu dan takut, meskipun ia berada di kamarnya sendiri. Gaunnya seperti beban yang harus dilepaskan, tetapi rasa aneh itu membuatnya ragu. Seolah-olah bayangan di sudut-sudut ruangan mengawasi setiap gerakannya, menciptakan ketidaknyamanan yang tak bisa ia jelaskan.
Mata biru malamnya kini begitu terang, disinari oleh cahaya bulan yang menerobos jendela. Ia melirik ke setiap sudut kamar, merasa asing namun... entahlah. "Ada yang aneh," gumamnya pelan. Tiba-tiba, angin masuk melalui celah jendela, membawa serta dedaunan yang berputar-putar mengelilinginya, membuat surai panjangnya melambai.
Seseorang tengah melihatmu...
Mata biru malam itu bergetar, menatap kembali ke setiap sudut kamar. Perasaan dingin merayap di punggungnya, seakan ada mata yang mengintai dari kegelapan. Namun, dalam sekejap, dedaunan itu jatuh ke lantai, angin lenyap dengan cepat, meninggalkan keheningan yang lebih mencekam. Ia berdiri di tengah kamarnya, terperangkap antara realitas dan bayangan, bertanya-tanya apakah rasa takutnya hanya ilusi atau sebuah peringatan.
"Apa itu tadi, nona cantik? Angin atau sesuatu yang lain?"
Wanita dengan iris biru malamnya menoleh, terkejut mendapati seorang anak kecil duduk di sofanya, dengan senyuman yang tampak polos namun mengandung aura menyeramkan. Bagaimana bisa? Ia hampir lupa bahwa anak itu adalah seorang penyihir-penyihir muda yang begitu pintar dan licik. "Sejak kapan Anda berada di rumah saya?" tanyanya dengan nada curiga, memincingkan mata pada anak kecil yang penuh tipu muslihat itu.
Mata sang tuan kecil yang semula menyipit karena senyum kini terbuka lebar, menatap dalam-dalam ke mata malam wanita di hadapannya, yang begitu indah dan memukau. Senyumannya masih terpampang, senyuman yang hanya ia tunjukkan di hadapan wanita ini. Betapa ia merindukan sosok wanita yang kini berdiri di hadapannya, seolah waktu dan jarak tak lagi berarti.
Ketika (nama) kembali bersitatap dengan sang penyihir, Lucas, perasaan aneh kembali muncul. Ia tidak mengerti apa yang menyebabkan perasaan itu, mencoba mengalihkan pandangan namun merasa sulit. Mungkin jauh di dalam dirinya, ia menyukai tatapan sang penyihir, meskipun ia belum menyadarinya.
"Sudah lama... Ngomong-ngomong, bisa bicara normal? Saya tidak bisa berbicara formal. Saya ini hanya rakyat biasa, bukan anggota kerajaan, apa Anda mengerti?" ucap Lucas dengan nada penuh sarkasme. Wanita di hadapannya mengernyit heran, menatap penuh kebingungan. Apakah penyihir ini meledeknya atau ada maksud lain?
"Baiklah, Penyihir Lucas, kenapa an-maksud saya, kenapa kamu ke sini? Apa kamu membutuhkan sesuatu?" tanyanya dengan nada yang mencoba terdengar santai meskipun masih terasa sedikit formal. Ia berusaha menyesuaikan diri, namun kebiasaan bicara formal sulit dilepaskan. Lucas hanya tersenyum, menikmati kebingungan dan usaha wanita itu.
Senyuman Lucas semakin lebar, pipinya bersemu merah dengan kilauan bunga-bunga di sekitarnya, membuatnya terlihat imut di mata siapa pun yang memandang. "Boleh tinggal bersama? Aku tidak memiliki rumah. Walaupun ada, aku terlalu takut untuk tinggal sendiri..." ucap Lucas dengan wajah memelas. Mata bulat merahnya menatap dengan kepolosan seperti anak anjing, bibirnya melengkung ke bawah, dan air mata mulai membasahi pipinya.
"Kenapa lari ke sini? Lucas bisa meminta Yang Mulia untuk tinggal di istana," jawab (nama), berusaha tegar meski hatinya sedikit tersentuh. Ia beranjak pergi ke kamar mandi, membawa handuk yang digantung dekat kasurnya.
"Jadi Anda mengusir saya?" tanya Lucas, nada mengejek terdengar dalam suaranya.
Lucas berlari kecil mendekati (nama) yang sudah hampir sampai di kamar mandi, memeluk perempuan itu dari belakang. Meski tubuhnya kecil, ia berusaha sekuat tenaga memeluk erat, namun hanya bisa mencapai pinggang perempuan itu. "Kumohon..." lirih Lucas. (nama) terbelalak, merasakan sentuhan yang membuatnya membeku-sentuhan sang penyihir. Apa ini termasuk sihir dari Lucas? Entah kenapa, ia merasa déjà vu.
"Tapi, di rumah ini hanya ada satu kamar," jawab (nama) sebelum membalikkan badan dan sedikit menunduk untuk menatap wajah Lucas lebih dekat. Ia melihat wajah Lucas yang bersemu merah dengan senyuman imut.
"Tidak apa, karena aku terlalu takut untuk tidur sendiri..." jawab sang penyihir, dengan wajah memelas yang membuat (nama) merasa sedikit tergerak.
"Baiklah..." jawab (name) dengan sedikit rasa tidak enak, hanya seorang anak kecil itu tidak masalah bukan? Itu mungkin bisa membantu, ia tak merasa kesepian lagi kali ini.
Lucas tersenyum malu-malu, wajahnya masih memerah. Ia melingkarkan lengannya di sekitar tubuh ramping perempuannya, menariknya dekat. Kepalanya bersandar di leher sang hawa, menikmati aroma yang begitu dikenal baginya. "Terima kasih," bisiknya penuh rasa terima kasih, suaranya hampir tenggelam di balutan leher lawan bicaranya. "Nona cantik begitu baik pada anak yang malang ini :(("
Aroma yang begitu dikenalnya dari penyihir itu membuatnya merasa seperti mengalami déjà vu. Tanpa disadarinya, tangannya mulai mengangkat untuk memeluk Lucas lagi. Sang penyihir tersenyum di balik pelukan itu, memperkuat rangkulan mereka sambil semakin menikmati aroma yang dikenalnya begitu baik. Namun, mengapa leher perempuan itu begitu memerah? Seperti ada bekas hal lain yang biasanya dilakukan olehnya.
"Bisakah kamu berhenti memeluk saya, Lucas?" Kalimat itu membangunkannya dari lamunannya. Nafas perempuan itu hangat di telinganya, suaranya begitu lembut. "Kenapa? Nona cantik tidak suka?" Lucas masih memeluk erat tubuh perempuannya, tidak ingin melepaskannya.
"Bukan begitu, saya harus mandi..."
"Kalau begitu ayo mandi bersama!"
24/4/22
Revisi 12-07-24
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐔𝐏𝐄𝐑𝐅𝐈𝐂𝐈𝐀𝐋 𝐋𝐎𝐕𝐄 : Lucas -𝐄𝐍𝐃-
FanfictionADA CERITA LAIN BUAT FANFIC LUCAS Kehilangan sosok yang dicintai adalah luka yang begitu besar, bahkan seorang penyihir pun tidak dapat mengatasi hal itu. Semua ia lakukan hanya untuk menghilangkan rasa sedihnya, bahkan ia rela tertidur seribu tahun...