Beberapa tahun berlalu, dan dirinya tetaplah seorang pelayan setia di kerajaan, terjebak dalam bayangan dinding istana yang megah. Kini, seperti biasanya, ia sibuk merapikan buku-buku di perpustakaan sang putri. Ia menempatkan dengan cermat buku terbaru yang akan dipelajari oleh Athanasia.
Senandung pelannya mengalun lembut di ruang yang sunyi dan luas itu, suaranya bagai angin sepoi-sepoi yang membawa nuansa campur aduk kepada siapa saja yang mendengarnya. Hanya ada dirinya di sana, hingga tiba-tiba Sang Putri menerobos masuk dengan gemuruh pintu yang menggelegar. Suara keras pun mengisi ruangan. "Kau di mana, (Name)?" seru Athanasia, suaranya bergema lebih kuat daripada senandungnya.
"Tuan Putri, saya di sebelah sini," jawab (Name) dengan lembut. Nyatanya, mereka begitu dekat, hanya terpisah oleh beberapa tumpukan buku. Sang Putri yang menyadari keberadaan mereka begitu dekat hanya tersenyum kaku, wajahnya memerah dan berkeringat.
Athanasia melangkah mendekat ke tempat di mana (Name) berada. Suara hentakan sepatu haknya terdengar bergema di seluruh ruangan. "(Name), kata Felix... kau bisa berdansa," ucap Sang Putri. Sang pelayan tersentak, gerakannya terhenti. Kini, pendengarannya terfokus pada suara Athanasia. "Bisakah... kamu... mengajariku?" tanya Sang Putri dengan nada penuh harap.
Ia sedikit menghela nafas, sebuah senyuman terukir di wajahnya. Ia baru ingat bahwa Athanasia belum pernah berdansa, bahkan belajar pun belum. "Bisa, jika Tuan Putri membantu saya merapikan buku-buku Anda," ucapnya dengan nada bercanda. Tetapi setelah melihat Sang Putri benar-benar melakukan keinginannya itu, ia tersenyum tipis, menyadari betapa tulusnya Sang Putri.
"Hanya bercanda. Setelah saya selesai, kita akan belajar berdansa." Sebuah binar bintang terlihat di sudut mata Sang Putri, wajahnya sedikit bersemu. Tanpa ragu, tangannya memeluk siku (Name) dengan erat, lalu tersenyum senang.
"Kamu tahu, (Name), aku memintamu karena Lucas tidak ingin menolongku! Dia laki-laki yang begitu jahat pada temannya," gerutu Athanasia. Suaranya bergema di ruangan, dan (Name) hanya bisa tersenyum mendengarnya. Mengapa begitu? Bukankah mereka adalah pasangan teman yang begitu lucu? Setiap saat ia selalu mendengar pertengkaran mereka dari bibir Athanasia sendiri.
Setelah selesai merapikan buku-buku tersebut, Athanasia langsung mengajak (Name), meskipun sebenarnya masih ada beberapa buku yang tersisa.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga sore pun tiba. Mereka bahkan belum selesai sampai sekarang. Athanasia selalu gagal dalam melangkah, menginjak kaki pasangan dansanya terus menerus sampai sore pun tiba.
Lucas melihat semua itu, dirinya terduduk santai sembari menikmati camilan dan menertawakan Athanasia yang selalu gagal. Selama latihan dansa berlangsung, tatapannya terus tertuju pada mata indah milik perempuannya dan gerakannya yang begitu anggun. Bukankah sudah lama mereka tidak berdansa bersama? Makan malam dan menikmati indahnya rembulan bersama bintang-bintang.
"Sudah, pergi sana berdansa dengan orang-orangan yang kubuat. Jangan terus menginjak kaki cantiknya," ucap Lucas sembari mengunyah sebuah chip. "Berisik, kau ini tidak membantu malah berkomentar," jawab Athanasia dengan penuh penegasan.
Di tengah pertikaian yang tak berkesudahan, tiba-tiba saja pintu kamar Athanasia diketuk seseorang. Yang tidak lain adalah Felix, tangan kanan sang raja, pria tampan dan tulus yang paling dikenal di kerajaan Obelia.
"Maaf, saya sedang mencari (Name)." Ucapannya bergema di kamar sang Putri, dengan senyuman manis terukir di wajahnya. Senyuman pria berambut merah itu mampu membuat perempuan lain terpesona, jika mereka tidak terbiasa menghadapi ekspresinya.
Semuanya menoleh kepada Felix, terutama (Name). Ia sedikit tersentak ketika mendengar namanya disebut oleh Felix. "Iya, ada apa Felix?" sahut (Name) dengan penuh pertanyaan. Felix pun menoleh dan tatapan mata mereka langsung bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐔𝐏𝐄𝐑𝐅𝐈𝐂𝐈𝐀𝐋 𝐋𝐎𝐕𝐄 : Lucas -𝐄𝐍𝐃-
FanfictionADA CERITA LAIN BUAT FANFIC LUCAS Kehilangan sosok yang dicintai adalah luka yang begitu besar, bahkan seorang penyihir pun tidak dapat mengatasi hal itu. Semua ia lakukan hanya untuk menghilangkan rasa sedihnya, bahkan ia rela tertidur seribu tahun...