5

15K 138 0
                                    

Setelah area kewanitaanku menyemburkan cairan gara-gara ulah jari-jari nakalnya, aku terkulai lemas. Serangan nikmat itu menyerang jauh lebih dahsyat pada detik-detik terakhir karena jari jemari Roberto Mancini menggesek lubangku dengan kecepatan tinggi. Aku mendesah-desah seiring meningkatnya intensitas sodokan jarinya, sementara Roberto Mancini mengerang di telingaku dengan penuh gairah.

"Mmmhhh... sudah," aku menggeliat sambil berusaha melepaskan kedua tangan Roberto Mancini dari kedua belah dadaku. Namun, kekuatanku tak seberapa jika dibanding kekuatannya. Akhirnya, aku hanya bisa menyerah pasrah saat Roberto Mancini memutar-mutar buah dadaku, memantul-mantulkannya seperti bola, sambil bibirnya terus mengulum-ngulum daun telingaku.

"Kau tidak boleh mengadu pada ibumu, kau mengerti? Hm? Kau mengerti?" Roberto Mancini mengulangi ancamannya. "Kalau kau melakukannya, aku akan mengacaukan tubuhmu lebih dahsyat dari ini. Kau akan bertekuk lutut di kakiku. Aku akan membuat tubuhmu hanya bisa merasakan kepuasan dariku. Tak ada laki-laki yang bisa melakukannya untukmu lagi, kau akan menjadi budak nafsuku, dan percayalah, Nina... Demi Tuhan, percayalah, mmmhhh!!! Kau tak ingin menjadi budak nafsuku karena aku akan mengerjaimu semalam suntuk, setiap hari, sampai kau kurus kering." Roberto Mancini memelintir puncak payudaraku dengan sangat kencang hingga aku memekik. "Uhhh... Sial! Aku jadi ingin! Brengsek, aku jadi ingin benar-benar memperkosamu, Nina! Kau mau?! Kau mau kuperkosa?!"

Aku menggeleng-geleng, meski sebenarnya tubuhku saat ini bukan lagi meronta, melainkan menggelinjang nikmat merasakan sentuhannya yang sangat kasar dan memaksa. Tanpa sadar aku bahkan menggoyangkan pinggulku hingga pipi pantatku yang telanjang menjepit dan menggesek kemaluannya yang besar dan tegang. Aku membayangkan penisnya yang telanjang. Aku begitu ingin memegangnya, tapi aku takut.

"Oh sial!" Roberto Mancini mengumpat. "Di mana kamarmu?"

"Mhhh... jangan!" jawabku ketakutan.

"Jangan? Jangan katamu?" tanyanya. "Kau keenakan tapi masih bisa bilang jangan? Kau tak ingin melihat penisku lagi, hm? Hm? Aku sudah sangat bernafsu sekarang. Ayo, katakan di mana kamarmu atau aku akan membuatmu mengulum penis besarku yang sudah sangat tegang karena kau menggesekkan pantatmu di sana. Nina!" bentaknya sambil mengentak tubuhku, menggencet payudaraku kuat hingga aku merintih kesakitan. "Ayahmu akan segera pulang, kau ingin mereka melihat kita berbuat mesum di sini? Apa itu yang kauinginkan?"

Aku menggeleng. "Nggghhh... di lantai dua, di—ah, di ujung."

Roberto Mancini tak tahan lagi. Dia tak bisa menahan nafsunya kepadaku. Dengan cepat ia menaikkan celana bikiniku yang sudah melorot ke tempatnya semula dan membalik tubuhku menghadapnya. Tanpa turut membenarkan letak penutup dadaku yang disingkapnya, Roberto Mancini menunduk hingga pundaknya mendorong perutku. Tangan kirinya menangkap kedua pahaku dengan mudah, tangan kanannya meraup bokongku erat. Pada detik berikutnya, perutku sudah tersampir di pundaknya. Aku dibopongnya ke lantai dua. Bokongku ditamparnya keras saat aku meronta. Di dalam kamar, dia melemparku ke atas tempat tidur.

Menggunakan siku dan kakiku, aku menjejak mundur ke sisi tempat tidur yang paling jauh darinya. Aku bergeming ngeri menanti apa yang akan diperbuat Roberto Mancini kepadaku, tapi dia hanya diam tak bergerak sambil terus memandangiku. Perlahan, lidahnya menjulur, membasahi seluruh permukaan bibir seksinya. Dia memandangiku dengan tatapan lapar seolah aku ini sebuah hidangan lezat. Penisnya yang menonjol besar di balik bahan celana membuat ludahku tertelan.

Tiba-tiba, Roberto Mancini tertawa kecil. "Sudahlah, berhentilah berakting," suruhnya. "Kalau kau ingin lari, sejak tadi kau sudah menyikut penisku. Sekarang juga kau bisa turun dari tempat tidur dan berteriak. Kau tidak melakukannya, kan, Nina?"

Napasku tersengal. "Kau—kau tidak akan... memperkosaku?" tanyaku.

"Kau terdengar sangat kecewa untuk ukuran seorang perempuan yang tidak jadi diperkosa," kekehnya. "Tenang saja, aku hanya bercanda."

Beautiful DisasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang