nine

284 65 10
                                    

Senja mulai mengukir senyum di kanvas dirgantara Yogyakarta. Selendang awan putih mengambang tampak ramping di langit-langit. Cuaca cerah, tak ada tanda-tanda akan terjadi proses presipitasi beberapa saat ke depan.

Key yang sedang menemani Bunda menyiapkan hidangan makan malam untuk seluruh penghuni rumah. Sesekali pemudi cantik itu mencuri pandang ke ruang tamu yang tersekat udara hampa.

Di antara orang-orang itu, ada Kak Tio yang fokus ke layar monitor. Crushnya datang untuk kerkel, lumayan pencuci mata.

“Kamu kelas berapa?”

“Eh, saya? Saya kelas 10, Tante. Hehe,” jawab Key sedikit gelagapan.

Bunda tersenyum singkat kemudian mengangkat talenan dan menyerok isinya dengan pisau agar masuk ke wajan berisi tumisan bumbu halus yang sudah Key bantu haluskan sebelumnya. Menunya kali ini adalah sayur oyong dan rolade ayam.

Key diberi tugas untuk menggoreng rolade, tapi ia menyambi cuci piring. Awalnya Bunda menolak, tapi Key menggunakan jurus muka melasnya agar diberi izin, dan berhasil tentu saja.

“Tolong panggilin Rangga sama yang lain ya, Nak! Ini udah Mateng. Biar Bunda yang mindahin ke piring. Kamu ke depan dulu gih,” cetus Bunda.

Sebelum terbit protes dari Key, Bunda lebih dulu mengalihkan pandangannya. Gadis itu akhirnya mengalah dan melangkahkan tungkainya menuju dimana para adam berkumpul. Tapi matanya mendadak membeli melihat absensi seorang perempuan yang bersandar pada Rangga.

Rindi tentunya.

“Dipanggil Tante suruh ke belakang. Udah siap,” jelasnya singkat.

“Yang sopan kek!” cerca Rindi. “Ga sopan banget jadi adek kelas. Cari muka, Dek?”

Rangga mendengus, “Gausah berisik.”

“Kamu nyalahin aku?” tanya Rindi, Key menahan untuk tidak muntah di mukanya. Alay.

“Dah ayo ke belakang,” ajak Rangga tanpa memperdulikan ucapan Rindi. Tio dan Genta hanya mengikuti dalam diam.

Saat di meja makan, Rangga duduk di meja paling pojok. Bunda menyimpan tanda tanya besar di hatinya melihat Rindi mengisi kursi di sebelah Rangga. Tio duduk di sisi Key, sedangkan Bunda dan Genta berseberangan.

Acara menyantap hidangan dibuka dengan membaca doa. Semua orang lantas mulai mengangkat sendok dan menyuapkan makanan ke mulut masing-masing. Mencerca ragam rasa yang tertuang. Key menanti opini.

“Enak banget, Bunda. Ini bumbunya apa?” Ternyata Rindi yang pertama mengomentari.

Bunda menoleh ke arah Key yang menatap datar ke arah Rangga yang juga menatap dingin ke arahnya. Perang laser mata!

“Yang masak pacarnya Rangga. Tadi Tante cuma bantu dikit.”

Semua mata kini mengamati gadis yang duduk di samping Tio. Tio sendiri ikut tersenyum dan mengiyakan, “Wah, kamu bisa masak juga ternyata. Hebat!”

Segurat senyum tersembul dari wajah Key, tak bisa menampik rasa indah yang meletup di dada. Ia membalasnya singkat, “Makasih.”

Tiba-tiba Rangga berdehem, membuat kontak mata yang terjalin putus antara Key dan Tio. Mereka melanjutkan acara makan dalam perbincangan hangat. Dengan Rindi yang berusaha mengambil hati Bunda dan Bunda yang terlihat sedikit menyingkirinya. Key sendiri sedang tertawa atas guyonan dari Tio.

Tanpa sadar, sepasang mata terus menatapi gerak geriknya. Kunyahan Rangga memelan, entah mengapa ia tak menyukai muatan bahagia yang terlukis di wajah Key.

Atau mungkin karena bukan ia penyebab senyum riang itu?

“Makasih ya, Tante. Makanannya enak. Hehe,” ujar Genta.

Bunda mengangguk,“Anggap aja rumah sendiri, Gen. Kaya sama siapa aja. Kakak kamu gimana? Udah pulang belum dari Jerman?”

“Eh?” Genta menggantung, “Udah, Tante. Sekarang lagi ngurus penelitian di Swedia. Katanya sih akhir tahun mau pulang buat natalan di sini.”

Anggukan paham Bunda berikan. Beliau lantas berpindah atensi kepada putranya yang tampak diam saja di sebelah Rindi yang terus mengoceh. Satu arah.

Dalam kalbu, ia paham betul apa arti tatapan itu. Penuh kobaran cemburu yang membuat pandangannya menggelap. Rangga yang selalu ingin dinomorsatukan.

“Key, tolong ambilkan tikar di belakang ya. Biar Bunda beresin mejanya.”

“Aku aja Bunda!” potong Rindi.

Bunda mengangguk. Tio dan Genta membantu Bunda membersihkan meja. Key pun hampir ikut mencuci piring, tapi Rangga buru-buru menarik tangannya dan menyeretnya ke lantai atas. Mata Tio mengikuti perginya dua insan itu. Bunda yang menyadarinya lantas menyeru, seolah membaca pikiran Tio. “Gapapa, Rangga ga bakal macam-macam.”

Sedangkan kedua insan yang kini berhenti di balkon itu saat ini sedang bertatapan, yang satu memancarkan aura gelap dan yang lain tampak bingung.

“Apa sih?!” bentak Key geram.

“Nggak,” ujar Rangga dingin.

Tangannya terlipat di depan dada dengan raga menyandar pada tiang teralis. Key mengernyit, apaan dah ni orang? Ga jelas banget.

“Yaudah aku turun—”

“Ga boleh!” potong lelaki itu cepat menahan pergerakan gadis Jawa yang hendak pergi dari sana.

“Dih! Kenapa sih?”

“Ga papa! Emang ga boleh minta pacar buat nemenin duduk-duduk?” tanya Rangga yang membuat sang dara mematung dalam otak yang berkerja keras mencerna maksud ucapan pemuda itu.

Aneh. Tangan Key terangkat dan menyentuh dahi Rangga beberapa kali.

“Ga panas tuh, ngelindur apa gimana sih? Wah, ini! Pasti kerasukan tadi di jalan! Wah, ga beres!”

“Saya waras ya!” gertak Rangga.

Key berkacak pinggang, ia menatap nyalang ke arah Rangga yang tengah menikmati raut kesal cewek itu. Menggemaskan? Ah, sepertinya Key mulai bisa menggantikan posisi boneka Annabelle yang dihadiahkannya untuk sepupunya, Somi, beberapa bulan lalu. Bukan boneka setan, tapi memang seram.

“Eh, Ranggawarsita! Lo tuh ya, bisa ga sih? Sehariiiiiii, aja gausah bikin gara-gara! Gue tuh lelah ngeladenin tuh para dayangnya mantan pacar lo! Gue cuma pengin hidup normal. Main dengan santai, gausah keliatan bersaing sama Rindi. Makan di kantin tanpa jadi tatapan siswa lain. Gitu aja, simpel kan?”

“Ditambah lagi sekarang, dengan lo bawa gue pulang, dan gue jadi kenal sama keluarga lo, apa lo ga malu? Sedangkan Rindi juga dateng ke sini. Dan apa? Dia panggil Bunda lo dengan sebutan yang sama? Gue bisa apa?”

Paru-paru Rangga berekspirasi, hastanya lepas dari dada dan langkahnya terayun menyingkat jarak antara keduanya.

“Kamu tau kesalahan kamu apa?”

Key mendelik, “Ga tau dan ga mau tau!”

“Saya ngga peduli. Kamu salah, dan kamu harus minta maaf.”

“Hah? Apaan? Ogah banget! Gue ga salah dan—”

Dan frasanya yang selanjutnya hilang ditelan langit merahnya senja yang menyaksikan Rangga baru saja menyapukan bibirnya pada permukaan pipi Key.

“One mistake, one kiss.”

🌬️   🌀      🌀       🌧️🌧️🌧️

Follow for more info !

Rainy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang