“ Satu kebohongan akan melahirkan kebohongan lainnya. ”
- Rainy Days -
Pukul 5 sore, Key beserta pasangan om dan ponakan— Jaya & Alma, berjalan-jalan di Taman Candi Plaosan. Emang ga seterkenal Candi Prambanan, tapi situs ini juga termasuk dalam sejarah juga. Kata guru sejarahnya Jaya, candi ini adalah bukti cintanya Rakai Pikatan pada istrinya yang beragama Buddha.
Mereka duduk duduk cakep sambil makan jajanan yang udah dibeli tadi. Sebenarnya Key yang maksa beli pas di Alfamart tadi, katanya lebih hemat beli di luar soalnya kalau di sana pasti harganya dimahalin.
Jaya mah iya-iya aja. Uang bukan masalah besar buat tuan muda.
Alma menatap senang lampu-lampu lampion yang tergantung. Di tangan kanannya ada wafer rasa stroberi yang tadi Key beli.
“Dah cocok, mending adewe rabi sisan deh, ndes. Ngko anake mesti lucu kek aku,” kata Jaya.
(Dah cocok, mending kita nikah sekalian deh, ndes. Nanti anaknya mesti lucu kaya gue.)
Key merotasi bola matanya malas, ogah banget. Cewek itu lantas menyendok kembali nasi goreng yang ia pesan dan menikmatinya dengan tenang.
Omong-omong, Rangga sedang apa ya? Dari kemarin, tak ada pesan masuk dari cowok itu. Bukannya apa-apa, Key cuma khawatir saja.
Drrt!
Sebuah pesan masuk, membuat ponsel Key bergetar kecil di atas meja. Tangannya yang bebas lantas segera meraih benda pipih itu.
“Pacarmu?”
Bukan, bukan pesan Rangga yang masuk. Melainkan direct messenger dari Mas Arta. Gusar menjadi ekspresi utama wajah cewek itu sekarang, Jaya yang melihat ketidakberesan yang terjadi lantas merebut ponsel cewek itu.
“Jay!” pekik Key tak terima.
“Lo disuruh ke Bandung? Minggu depan?”
“Jay, balikin ponsel gue,” pinta cewek itu.
Tanpa banyak basa-basi, Jaya mengembalikan benda pintar itu ke sang pemilik. Key mendengus kesal lalu membalas pesan kakaknya itu dengan tolakan seperti yang biasa ia lakukan.
“Napa sih, Key?”
Kalau sudah manggil nama, artinya Jaya sedang mode lembut plus serius. Jadi ga ada esensi becanda yang boleh dikeluarkan.
“Lo tau, ga usah nanya.”
+++
Pukul setengah 5, gadis yang tengah terlelap itu mendadak terbangun. Suara kokokan ayam membuatnya terjaga. Key mengubah posisi menjadi duduk. Melihat jam yang menghiasi tembok bagian selatan, sebentar lagi subuh.
Ia turun dari kasur yang semalam digunakannya untuk tidur. Dirinya masih berada di rumah Jaya. Tapi tenang saja, dia tok yang tidur di kamar Jaya. Si pemilik memilih tidur di depan TV sambil nonton sepak bola.
Benar saja, bahkan TV nya masih menyala, gantian menontoni Jaya yang tidur anteng sambil memeluk bantal sofa. Kakinya tertutup sarung wadimor. Key mengambil remot dan mematikan layar kaca berukuran 21 inch itu.
“Wah, udah bangun, ndhuk? Rajin e. Bedo karo anakku lanang iki.” Babeh menggeleng melihat Jaya yang tidur nyenyak.
Key cuma nyengir, “Babeh mau ke langgar ya?”
Orangtua Jaya itu mengangguk singkat lalu mengambil sandal dari rak sepatu dan menentengnya sambil berjalan keluar. Peci hitam khas bapack-bapack menutupi rambutnya yang setengah kepala sudah beruban. Sajadah halus berwarna biru tersampir di pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Days
RandomThey deserve this, right? - Rangga tidak membenci Key, dia tidak punya alasan untuk itu. Tetapi Key merasa Rangga selalu menatapnya dengan esensi mengancam.