ten

259 57 7
                                    

Jangan lupa vote :))

----

Dengan perasaan marah dan merasa dilecehkan, Key mengangkat hastanya ke udara, hendak mendaratkan sebuah tamparan sebagai bentuk umpan balik atas apa yang telah dilakukan Rangga sebelumnya. Ini tidak etis!

Namun dengan gerakan pelan dan pasti, sebuah telapak hangat menahannya. Membenamkan amarahnya dalam sentuhan berkonten afeksi.

“Lo apaan sih?!”

Netra mereka beradu lebih dari kata kata. Rangga mengubah pegangannya menjadi sebuah genggaman.

“Saya harap kamu ingat, kamu itu pacar saya.”

Decihan terdengar mencemooh Rangga di muka, Key pelakunya.

“Pacar pura-pura lebih tepatnya,” koreksi Key kemudian.

“Terserah, yang penting orang luar tau kamu punya saya. Jadi jangan seenaknya deketin cowok kaya tadi. Kelihatan murahan tau ngga.”

Darah Key mendidih mendengar celaan itu. “Denger ya! Gue dari awal emang bukan siapa-siapa lo! Dan begitupun sebaliknya. Jadi gausah sok ngatur-ngatur kehidupan gue deh. Urus urusan lo sendiri! Ga usah ikut campur!”

“Really?”

“Ya!” gertak Key, “Gue ga akan narik statement bahwa gue benci lo. Cylania akan terus membenci Rangga sampai barat dan timur jadi satu! Inget itu!”

Dengan berakhirnya pembicaraan menegangkan itu, Key menghempaskan tangan Rangga dan meninggalkan raga muda itu sendiri. Termenung di depan nabastala Yogyakarta yang menggelap ditinggal sang Surya.

“Saya akan dapetin kamu, saya janji.”

-

Turunnya Key membuat atensi menyatu padanya. Rindi menatapnya dengan tatapan menelisik, mencari-cari kesalahan gadis itu. Tio menghampirinya, “Kenapa?”

“Ga papa kok, Kak. Hehe. Biasa,” ujarnya menyamarkan ekspresi dengan senyum lebar.

Pemuda tampan itu hanya bisa mengangguk. Saat maniknya menangkap notasi jam di tembok, ia berpaling pada Genta, memberi isyarat. Ini lah saat mereka pulang.

“Kamu pulangnya kapan? Kalo sekarang bareng kita aja,” tawar Genta saat mereka selesai berpamitan pada Bunda.

Bibirnya baru akan berucap ketika Rindi menyela, “Gue dianterin Rangga.”

Si dara menghela napas lantas menentukan pilihan. Sepertinya lebih baik ia ikut bersama Tio dan Genta daripada menunggu Rangga kembali setelah mengantar Rindi pulang.

Lagi pula ia masih marah atas perlakuan Rangga sebelumnya, ditambah lagi sikap Rangga yang selalu saja membuatnya naik darah.

“Oke deh, Kak. Aku bareng aja. Bentar mau ambil tas sekalian pamit ke Tante.”

Rindi memutar bola matanya sinis, ia duduk di kursi teras sambil menyilangkan kaki. Tio dan Genta bersiap dengan motornya.

“Tante, Key mau pamit dulu. Makasih udah dibolehin main,” ujar Key lantas menyalimi Bunda.

“Loh, kok pulang? Kamu udah pamit sama Rangga, Nak? Iya sama sama, besok-besok main lagi boleh kok. Biar Tante ada temen masak.”

Memutar otak, mulut Key hampir melayangkan satu alibi untuk menghindari apa pun yang berhubungan dengan Rangga. Tertebak, Bunda mengulas senyum kemudian lekas-lekas memanggil sang putra.

“Ngga! Rangga!” serunya.

Dalam beberapa sekon selanjutnya, presensi pemuda Ardhani tampak mengalihkan mata. Key menatap Rangga yang sama sekali tidak menatapnya. Dia marah?

Rainy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang