seven

298 67 14
                                    

“Hujan itu punya variasi, ada hujan salju, hujan air, hujan meteor bahkan hujan ikan. Begitupula air mata, ia bisa merupakan tanda kebahagian, ketakutan atau malah kesedihan seseorang.”

-Rainy Days-

Hari Minggu pukul 05.30, Key yang sedang mencuci kasutnya mendecak ketika panggilan dari Yudha masuk. Pemuda asal Kebumen itu memaksanya untuk datang ke rumahnya untuk mengambil kue buatan ibunya.

“Ngomong ae males ngeterke!” (Bilang aja males nganterin!) ketus cewek itu.

Yudha cuma mengendikkan bahu dan lanjut mengerjakan ban bocor milik Pakdhe Suparman yang semalam diantarkan ke rumahnya. Key melenggang kembali ke rumahnya yang berjarak dua rumah di seberang jalan.

Ibunya pulang dari pasar dengan becak. Key lantas menyalaminya dan membantu Ibu membawa keranjang berisi sayuran segar itu.

“Minggu minggu nggak dolan, ndhuk?” (Minggu Minggu nggak main, nak?)

Key menggeleng, “Mboten enten sing ngajak, Buk. Lagian tugas sekolah Kula nggih dereng rampung. Paling mangkih Kula ten nggene Lasmi. Nglajengaken nyanthing mori.” (Nggak ada yang ngajak, Buk. Lagian tugas sekolah saya juga belum selesai. Paling nanti saya ke tempat Lasmi. Ngelanjutin membatik.)

Ibu manggut-manggut, Key lantas pamit untuk melanjutkan kegiatannya yang tadi belum usai.

Selesai dengan urusan sepatu, gadis Jawa itu melangkah kembali ke rumah. Melihat ibunya yang sedang bersantai dengan tangan sibuk memainkan alat rajut kesayangannya, Key beringsut untuk duduk di karpet merah yang tergelar. Ia meraih sepotong kue pemberian Bulik Ratri— ibu dari mas Yudha, dan mengigit bagian ujungnya.

“Gimana sekolahnya? Baik baik aja toh?” tanya Ibu.

“Baik kok, Buk.” Senyum palsu ia sematkan, bohong kalau ia baik-baik saja. Nyatanya, belum kelar dengan masalah Rangga, kini ia harus berhadapan dengan tawaran guru olahraganya yang menawarinya untuk mengikuti lomba pencak silat.

Tak banyak yang tahu, tapi memang Key pernah memenangi lomba pencak silat tingkat provinsi, tapi karena saat itu ia tengah dirundung ujian persiapan untuk UN, Key memilih mundur dari seleksi tingkat nasional.

“Kemarin Ayahmu telfon, katanya liburan suruh ke sana. Mau dijemput sama Mas Arta. Kamu mau?” tawar Ibu.

Key diam dan menatap ibunya. Wajah cantik yang termakan usia itu tetap tak mau menampakkan raut selain senyum.

“Ngga ah, Buk. Ngapain ke sana,” ujarnya menunduk.

“Ndhuk, Ayahmu kangen sama kamu. Terakhir kali kamu kesana udah 2018 loh. 4 tahun lalu. Ngga kangen Ayah?”

“Ngga,” jawab Key malas. “Lagian udah ada Kemala. Ngapain aku ke sana.”

Kemala adalah adik tirinya. 10 tahun lalu orang tuanya bercerai dan ia harus berpisah dengan kakak laki-lakinya. Cello Artadanu Satriya. Selang 3 tahun, Ayahnya menikah kembali dan lahirlah adik tirinya, Giselle Anindya Kemala.

“Key,” panggil Ibu lembut.

Hatinya sesak, Key menahan gemuruh yang menggelegar di dadanya. Beningnya air mata memenuhi kelopak indahnya. Key berdiri dan memasuki ruang tidurnya dengan tangis yang jatuh. Di balik pintu, tubuhnya luruh.

🌬️  🌀    🌀

Buana Yogyakarta memasuki waktu pergantian antara siang dan malam. Artinya, sore akan berkelana untuk sementara.

Rainy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang