fifteen

160 34 21
                                    

–Rainy Days–

Gulungan awan berarak arak menyeret diri dari arah Kulon Progo menuju ke tenggara. Lagi lagi mendung merajai cakrawala. Tak lama, tetes tetes rinai mulai berjatuhan. Berlomba lomba mencium aspal yang panas karena terik surya sebelum mereka tiba.

"Perasaan tadi panas deh," keluh Mahisa.

Gadis itu awalnya bermaksud membeli jajanan kaki lima di depan sekolah yang berjajar sepanjang jalan. Tapi hujan gini, Mahisa ga mau kalo seragamnya basah.

"Key!" Serunya menepuk kawan karibnya itu. "Malah ngelamun lagi."

"Nggak!" kilah Key lalu melemparkan pandangan ke ujung sana. Tanpa ancang ancang, perempuan itu melangkah begitu saja. Menerobos hujan yang tinggal gerimis ringan itu.

Mahisa melongo. Dia bingung mau ikutan nekad atau engga. Ini masalahnya seragamnya putih, you know lah masalah para ciwi dengan itu.

"Nih pake payung gue," suara seseorang tiba tiba sembari tangannya mengangsurkan payung. Mahisa menatap si empu, dan dihadiahi senyuman manis.

"E-eh, ngga usah deh." Mahisa menolak dengan wajah tak nyaman.

Helmi mengambil tangan Mahisa dan membalut pegangan payung dengan tangan cewek itu sebelum melepasnya, "Daripada lo sakit. Ga bisa hujan hujanan kan? Udah sana. Kejar tuh es batu udah sampe ke bakulnya."

Hati Mahisa menghangat, ck! Gini doang baper! Dia menyerukan kata terima kasih sebelum melangkah turun ke halaman, berperang dengan gerimis.

Mahisa nggak suka Helmi, tapi kok lama lama Helmi gemesin juga ya? Duh, ga aman deh jantungnya kalo deket deket tu cowok.

-

Sore ini, Key menyanggupi ajakan Rangga untuk hang out bersama. Cowok itu bilang ingin menjelaskan kesalahpahaman yang ada, tadi mau cerita tapi keburu bel istirahat, dan Rangga harus ke ruang guru buat ketemu Bu Olla.

Dia sudah siap dengan kaos hitam dan jeansnya.

Outfit tersimpel dan teraman, karena apa? kalo hujan ga nyeplak, dan kalo pake motor celananya ga akan kelibas jeruji. Beda cerita kalau pake kulot.

"Mau kemana ndhuk? Kok sudah rapi."

Ibu yang baru saja pulang dari salat asar berjamaah di musala kampungnya menanya anak gadisnya. Beliau sedikit heran, tumben tumbenan Key keluar rumah. Soalnya di hari hari biasa begini, kerjaan Key kalo pulang sekolah cuma ndhekem alias mengurung diri di kamar.

"Ajeng dolan, Buk."

(Mau main, Buk.)

Perempuan yang telah melahirkannya itu mengangguk angguk, "Diampiri kancamu?"

(Disamperin temenmu?)

Si putri mengangguk dengan agak tak tenang, salah tingkah istilahnya. Ibu langsung paham gelagatnya, pasti Key sudah terkena virus merah jambu.

"Ya sudah, hati hati. Ibu percaya kamu," tuturnya.

Kedua sudut bibir gadis itu terangkat, membentuk lengkungan indah serupa garis lengkung ke atas. Ia menggumamkan terimakasih berkali kali. Ibu mengangguk lalu berjalan melewatinya menuju ke dapur.

Kedua tungkainya melangkah susul menyusul satu sama lain. Ia minta untuk dijemput di perbatasan desa, biar ga kena cibiran mulut pedas tetangga. Jadi ia harus jalan dulu ke sana.

Yudha yang baru saja balik dari megawe aka ngurus sawah menatap perempuan itu naik turun lalu membandingkan dengan dirinya yang cuma pake celana kolor pendek yang sudah kotor dengan lumpur dan kaos putih gambar partai demokrat yang tersampir di bahu kanan. Kakinya hanya terbalut sendal hijau melly yang sudah tepos dan hampir jebat. (Putus)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rainy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang